Friday, August 16, 2013

Sapu Iblis


Tuhanku.. bila saja Engkau beri aku kekarnya tangan dan kaki.. pasti ku hajar para penghujat Bapak. Tuhanku.. bila saja Engkau beri aku dua kelopak mata yang sanggup tumpahkan air, pastilah tak henti aku menangis bilamana putaran kenanganku mundur pada masa Bapak masih mampu berdiri tegak.
          Tuhan! Tak kenal mereka dengan Bapak! Berhak kah mereka hujat Bapak sebegini rupa?. Tuhan! Aku lah yang dulu sering mengusap air di pipi Bapak ketika Bapak luka, marah dan senang. Aku yang dengar tiap- tiap rasa yang sesungguhnya di rasa Bapak, aku yang tahu tiap- tiap laku Bapak, bukan merek!. Jadilah aku tahu.. tak berhak Bapak di hujat.. apa lagi.. di hujat mereka- mereka yang tak pernah kenaldengan Bapak.
***
“Jadi, Kapten Muku ini lah pemimpin meletusnya pemberontakan di.. ,” ku dengar suara tegas seorang wanita muda dari balik kaca. Panjang lebar ia beri penjelasan di depan belasan anak- anak berpakaian putih merah. Tubuhku gemetar hebat semakin jauh kupingku ingin dengar penjelasan lanjutan wanita itu. Dia cerita soal Bapak seolah dia sungguh tahu kelakuan Bapak. Itu Bapakku.. kalau lah aku punya barisan cakar, sudah ku cabik habis mulut wanita itu.. biar kapok ia tak cerita sekenanya soal Bapak.
                                                    ***
“Kenapa sampeyan Dik? ,” tanya Mas Kris. Dia satu- satunya teman bicaraku semenjak aku pindah ke tempat ini. Mas Kris mendekati aku sambil menaikkan sarung miliknya yang mulai melorot.
“Tak ada yang bela Bapakku Mas. Aku lelah dengar hujatan Bapak soal Bapak. Aku yang tahu tiap laku Bapak, bukan mereka. Berhak apa mereka hujat Bapak? ,” hatiku sungguh menangis namun dua kelopak mataku tak pernah bisa keluarkan air mata.
          “Aku ingin sekali cabik bibir mereka yang sekenannya ngomong soal Bapakku. Tahu dari mana mereka? hingga kuat bibir mereka menghujat seolah kenal denagan Bapakku ,” lanjutku.
“Kisah dari buku Dik.. ,” Mas Kris menepuk pundak kananku.
“Kisah dari buku? Itu yang kuatkan mereka hujat bapakku? ,” aku menepis tangan Mas Kris kemudian menatap bola matanya dalam- dalam. Mas Kris kuakui masih setia dengan tubuh gagahnya juga sarung warna hijau lumut yang tak pernah lekang dari pinggangnya. Usia Mas Kris sungguh jauh lebih tua ketimbang aku, ia beberapa kali berganti Bapak. Kuakui banyak pengalaman dia hingga aku merasa mesti nurut pada tiap ucap dan laku dia.
“Buku itu, para pemenang yang pinta Dik.. ,” Mas Kris mengalihkan mukanya dari mukaku seolah tak tega ia pandang mukaku lama- lama.
“Kenapa Mas? Kenapa? ,” aku ikut memalingkan muka dengan napas terbata- bata.
“Biar orang- orang di masa itu dan masa mendatang kenal mereka sebagai juru sapu
iblis ,”
“Sapu iblis? Apa bapak.. ,”
“Iya Dik, Bapak Sampeyan dia anggap satu dari sekian juta iblis yang perlu di sapu biar tampak heroik kisah mereka ,”
“Bapaaaaaaaaaaaak ! ,” aku meraung, teriak dan menjambaki rambutku sendiri.
“Lebih baik aku hentikan saja ceritaku ini Dik. Agaknya sampeyan belum sepenuhnya siap ,”
“Tidak. Tidak Mas, aku mohon lanjutkan saja ceritamu ini ,” aku mencengkeram dua pundak Mas Kris kuat- kuat. Mas Kris membalas sikapku dengan tatapan teduh.
“Bapakmu salah satunya Dik.. ,”
“Berarti? Ada banyak lagi yang sesungguhnya tidak pantas di sapu seperti iblis tapi di kisahkan seperti iblis dalam buku- buku itu? ,”
“Sebagian memang pantas di sapu layaknya iblis. Sebagian lagi.. persis seperti yang Adik katakan barusan ,”
“Bagaimana dengan mereka yang di ceritakan jadi penyapu iblis di dalam buku- buku itu? ,”
“Sebagian memang penyapu iblis. Sebagian lagi, cuma pemenang hak bicara yang memposisikan diri sebegai penyapu iblis ,”
“Mas.. ,”
“Ya Dik? ,”
“Malam sebelum aku di pisahakan dengan Bapak. Aku mengusap air mata Bapak yang terakhir kalinya. Bapak waktu itu sendiri bersama aku dipinggiran kali. Bapak berceloteh bahwa ia sungguh kecewa dengan orang- orang atas. Setelah usai baku tembak dan bendera bangsa ini dengan bebas mampu di kerek ke pucuk tiang, mereka sogok bapak dengan satu kedudukan dengan syarat tak lagi bapak teriak soal hidup kawan- kawan yang bersama bapak baku tembak dulu biar tak repot orang- orang atas menyuapi mereka dengan makanan yang pantas ,”
“Iya Dik, lanjutkan saja ,” Mas Kris menyandarkan kepalaku di pundak kirinya setelah melihat badanku yang gemetaran hebat.
“Aku malam itu juga mengusap tangan Bapak yang penuh darah. Bapak bela diri malam itu.. dia dan teman- temannya bela diri.. mereka bela kepantasan buat diri mereka sendiri. Orang- orang atas hendak serang Bapak dan teman- teman biar mereka semua tidak menuntut lagi. Jadilah dengan sisa senjata, Bapak memimpin teman- teman buat baku tembak dengan orang- orang atas.. ,”
“Apa yang terjadi selanjutnya hingga kalian terpisah malam itu? ,”
“Bapak di kejar, di maki kemudian di seret ke suatu tempat yang jauh lebih gelap. Badanku di tarik salah satu tukang jagal yang ada disana malam itu, seluruh mukaku di tutup dengan tangan besarnya hingga aku tak pernah tahu apa yang sungguh mereka lakukan pada Bapak malam itu ,” hatiku terasa panas, ingin meledak tapi memang lah dua kelopak mataku tak pernah bisa mengeluarkan air mata.
“Sudah Dik.. sudah.. berhentilah sebentar aku mohon.. ,” Mas Kris seperti turut mendengar letupan- letupan yang bikin hatiku sungguh panas.
“Aku mesti apa Mas? Ingin aku cerita depan muka semua orang di jaman ini soal Bapak.. ,”
“Tak bisa Dik. Tidak akan pernah bisa.. biacara di sini bukan hak mu ,”
“Itu tidak adil Mas! Mereka mesti tahu bagaimana sesungguhnya laku Bapak! Biar tak di hujat lagi Bapakku! Aku sesak tiap dengar satu- satu hujatan yang sungguh tak masuk dalam laku Bapak sama sekali! ,”
“Bapakmu terinjak disini tapi tidak di sisi Tuhan Dik ,” Mas Kris memeluk erat kepalaku dengan tangan kirinya.
“Aku ingin bantu Bapak Mas. Aku ingin! Bapak selalu baik memperlakukan aku sekaligus memperlakukan negeri ini. Sekali saja aku ingin bantu Bapak Mas! ,” teriakku sambil memejamkan mata.
“Kau bisa Dik. Tuhan mendengar saksi daari siapa pun yang pegang kebenaran ,” Mas Kris melonggarkan pelukannya di kepalaku.
“Mahluk seperti aku? ,”
“Iya Dik. Mahluk seperti aku dan kau pun pasti di dengar Tuhan sebagai saksi sekalipun kau tak bisa jadi saksi di dunia hari ini, di depan manusia- manusia itu ,”
“Kapan.. kapan aku bisa sampaikan ini pada Tuhan Mas? ,”
“Ada satu waktu, satu waktu Tuhan ingin bertatap denganmu Dik. Kau bisa bersaksi pada satu waktu itu.. ,”
“Benar Mas? ,”
“Iya Dik. Selama menunggu waktu itu, bersabarlah disini.. ,”
“Iya Mas.. aku pasti bersabar sebelum datang waktu itu. Aku tenang karena ternyata, aku bisa lakukan sesuatu buat bapakku ,” aku menarik telapak tangan Mas Kris ke arah bibirku kemudian menciumnya sebagai tanda terimakasih telah menenangkan jeritanku.
***
 “Sapu tangan ini merupakan sapu tangan terakhir yang dipergunakan Kapten Muku sebelum dirinya di eksekusi setelah terjadi pemberontakan ,” wanita paruh baya mulai berceloteh kepada puluhan anak- anak yang memakai pakaian putih biru sambil mengetuk kotak kaca tempatku di tempatkan.
Mukaku panas dan merah, aku marah sekali. Lagi- lagi aku dengar hujatan yang tak pantas melayang buat Bapak. Aku menoleh ke tempat Mas Kris duduk. Mas Kris mengedipkan sebelah matanya seperti menangkan aku dari jauh. Setelahnya, buru- buru ia
menghadap ke arah lain dengan senyum yang sangat manis. Ia tersenyum manis ke arah beberapa anak berpakaian putih biru yang menatap kotak kaca tempat ia di tempatkan sambil sesekali mengetuk kaca yang jadi pelindung badan Mas Kris.
Tahu- tahu sudut bibirku mengembang ke atas, aku ikut tersenyum dan berusaha memalingkan kepala ke arah depan, ke arah para penghujat Bapakku yang memang tak berdosa. Mereka cuma tak tahu apa yang sungguh terjadi.

Beberapa detik kemudian, aku mencuri lirikan ke tempat Mas Kris berada, dia tetap gagah.. gagah dengan sarung hijau lumutnya yang penuh ukiran cantik juga kepala gagangnya yang punya warna senada di tambah ukiran seekor naga. Mas Kris adalah sebuah keris tua yang nyata lebih tau soal jaman.. lebih dari aku.. lebih dari para penyapu iblis palsu yang ada dalam buku atau juga wanita paruh baya yang sibuk berceloteh soal aku dan Bapak di depan kotak kaca tempatku berada. Aku dan Mas Kris.. besok bakal jadi saksi depan Tuhan buat apa- apa yang terjadi di dunia, soal laku asli bapak- bapak kami dan lingkaran di sekelilingnya.

..SELESAI..

5 comments:

Einid Shandy said...

Sapu tangan terakhir?! Hmmph. , :D

Happy blogging Kaka!!

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

tenkiuu neneeek :D
hepi wedding eihh hepi blogging jg yaaa ;) muamuamuaaah

Anonymous said...

Maju terus
Merdekaaaaaaaaa

rm said...

happy bloging... :D


Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

makaciii :D