Kamu kenali Gadismu sejak kupingnya
sedia mendengar kamu.
Kamu kenali Gadismu itu sejak
rambutnya yang ikal.
Satu
waktu, Gadismu bilang pada kamu, bahwa dia bisa melihat baik dan buruk
seseorang. Dia belum selesai berucap, tapi kamu sudah keburu menyelanya.
“Aku
tidak suka judge orang.” Potongmu.
Gadismu
menunjukkan mata terluka. Tapi dia tetap meneruskan ceritanya. Bahwa dia, sejak
kecil bisa mengetahui baik dan buruk seseorang; tiba-tiba. Tidak ada bisikan
pun gambar yang memaksa berkelebat. Semuanya; tiba-tiba.
Mulut
kamu katup. Kamu tahu, selaan kalimatmu tadi sungguh tidak tepat. Soal Gadismu,
kamu banyak tidak tahu.
Dia
kemudian kembali bertutur. Susah benar mengendalikan hal-hal yang mendadak dia
ketahui. Ketika kecil, dia kesusahan percaya pada orang lain. Banyak ketakutan
tidak terkendali. Dan, secara ekstrim, dia menjauhi banyak orang yang
bertampang manis padanya. Batinnya berkata,”Mereka (yang bertampang manis) itu
buruk, sesungguhnya.” Hingga banyak orang memberi dia label aneh. Celoteh orang
banyak yang bersahutan,”Orang yang di dekat dia kan tidak bermasalah. Dia yang
aneh. Menjauh kok tiba-tiba.”
Kamu kenali Gadismu itu setelah
rambutnya yang lurus.
Kamu kenali Gadismu itu sejak
tubuhnya yang kurus.
Hingga
bertahun kemudian, mereka yang percaya manis yang dianggap Gadismu sebagai
kepura-puraan, tertusuk oleh yang mereka percaya. Mereka berbalik menganggap
benar Gadismu dan mulai percaya; Gadismu punya sesuatu yang ‘berbeda’.
Mereka
mulai gandrung bertanya pada Gadismu,”Hmm… Menurut kamu, orang itu baik atau
buruk? Kenapa bisa baik atau buruk.” Sebelum melangkah, mereka andalkan
Gadismu.
Gadismu
sering jengah dan selalu menyahut ketika ditanya,”Aku bukan Tuhan.”
Kamu
kenali Gadismu itu setelah tubuhnya yang tambun.
Kamu
terpesona dengan cerita gadismu malam itu. Tanganmu merogoh saku baju, meraih
ponsel pintar kepunyaanmu. Layar kamu gulir hingga menunjukkan gambar seorang
gadis. Kamu sungguh ingin tahu, apakah keputusanmu memilih dia yang ada
gambarnya tertera di layar ponselmu itu tepat?
Ponsel
itu kamu sodorkan pada Gadismu sambil kamu berkata,”Menurut kamu, dia baik atau
buruk? Kenapa bisa baik atau buruk?”
Gadismu
menatap layar ponsel dan mendapati bayangan wajahnya sendiri. Dia berdiri dan
berjalan menjauhi kamu yang mulai merasa bingung.
Sebelum
benar-benar pergi menjauh, Gadismu berhenti sebentar sambil berkata,”Aku bukan
Tuhan. Ekspektasiku kelewat jauh, soal kamu yang bakal mengerti.”
Dengan kacamata yang sama.
Dengan binar matanya yang keras,
kritis, penuh kasih dan konyol itu; juga selalu sama.
No comments:
Post a Comment