(Baca Juga; Negeri Empati)
Sheila,
teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri
Piala. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat seluruh orang di negeriku bisa
saling bertukar pandangan memerhatikan, ketika satu sama lain bicara. Jika
dulu, dia hanya melihat cerita itu melalui foto dan video yang aku kirim lewat
Instagram, sekarang dia bisa dengan nyata melihat semuanya. Seperti
perkiraanku, kedaan negeriku yang berlawanan dengan negerinya sudah aku tebak
bakal memikat dia. Seperti Sheila, aku mengetahui keadaan negerinya melalui
foto dan video dalam akun Instagram miliknya.
“Kami
sedang saling mendengarkan curahan hati masing-masing,” ucapku pada Sheila,
saat dia memastikan apa sebenarnya obrolan apa yang aku dan orang negeriku
lakukan, hingga masing-masing bisa saling bertukar pandangan memerhatikan. Di
instagram, aku katakan juga bahwa angka depresi di negeriku juga lebih kecil
ketimbang negerinya Sheila dan negeri tetangga lainnya.
Lagi-lagi
Sheila berdecak kagum. Di negerinya, orang berebut bicara tanpa mau mendengarkan.
Banyak orang mulai depresi karena tidak memiliki teman bicara alias pendengar. Soal
itu, Sheila mengeluh. Dia bilang, para analis ekonomi dan kejiwaan memerkirakan
bahwa negeri Sheila roda ekonominya bakal berhenti dua puluh lima tahun lagi,
semua akibat banyaknya orang yang mestinya produktif menjadi depresi. Aku cuma
tersenyum tipis dan sinis. Negeriku dulu persis seperti negerinya Sheila,
sebelum kebijakan itu muncul…
“Kamu
belum ngerti apa-apa, Sheil,” kataku
sambil memercepat langkah. Sheila kelihatan menahan napasnya beberapa detik
sebelum matanya makin membulat, tanda tersinggung. Tapi sungguh, dia memang
belum paham apa-apa.
Kami
kemudian menyebrangi dua lampu lalu lintas, hingga sampai di sebuh pertokoan.
Sheila berlari kecil mengikuti langkah kakiku yang lebar, menuju sebuah
bangunan bertulis ‘Biro Kuping’.
“Mari
masuk, kamu akan tahu semuanya,” Ucapku pada Sheila.
Sheila
dan aku masuk melewati pintu kaca. Pegawai yang duduk di meja depan pintu
memersilahkan kami untuk duduk dan menanyakan apa keperluan kami.
“Saya
butuh kuping. Boleh seorang lelaki maupun perempuan. Kalau bisa yang sebaya
saya dan punya tampang konyol, saya nyaman dengan orang seusia saya dan
bertampang konyol. Oh iya, saya butuh semua itu besok,” Aku mulai menjelaskan
keperluan. Pegawai itu mengangguk. Dia kemudian menyodori aku sebuah tablet
dengan gambar dan profil beberapa orang. Aku memilih seorang lelaki usia dua
puluhan bertampang konyol. Setelahnya, aku menyerahkan lima lembar uang,
mengisi formulir dan mengajak Sheila keluar bangunan.
Sheila
terus menanyakan apa maksudku mengajak dia ke sebuah bangunan bertulis Biro Kuping
tadi. Aku bilang padanya bahwa nanti malam akan ada email dari Biro Kuping
untuk menentukan kapan kuping pesananku datang.
***
Sheila
tentu saja kaget dan heran. Berkali-kali dia minta penjelasan pada aku, tapi
mulutku tetap menampakkan senyum sinis. Semalam, email dari Biro Kuping sampai
pada aku. Isinya, bahwa kuping pesananku bisa aku terima di rumah pukul tujuh
pagi.
Kuping
yang aku pesan dan datang pagi ini adalah seorang lelaki dua puluhan bertampang
konyol. Aku bilang pada Sheila, bahwa kuping yang aku pesan memang akan datang
bersama pemiliknya. Sheila merasa merinding. Pikirnya, aku bakal mengiris
kuping itu dari pemiliknya. Tanpa melepas senyum sinisku, aku katakana pada
Sheila bahwa dia hanya harus diam dan melihat apa yang terjadi.
Setelahnya,
Sheila duduk saling berhadapan dengan aku dan lelaki itu. Selama satu jam,
lelaki itu bercerita soal banyak hal dan aku memasang sorot mata mendengarkan.
Tidak lupa kamera ponsel aku nyalakan buat merekam semua kegiatan pagi ini.
Setelah
satu jam terlewati. Aku mematikan kamera ponselku dan berkata pada lelaki itu,”Terimakasih,
tepat dan sesuai pesanan saya,”
Lelaki
itu tersenyum kemudian berjalan keluar rumah tanpa aku dampingi.
Aku
kemudian duduk di samping Sheila sambil mulai menggeser layar ponselku. Sheila
melihat aku sign in di web Departemen
Pendidikan negeriku. Setelah akunku terbuka, aku mengupload video di mana aku
memasang mata memerhatikan ketika lelaki tadi berbicara.
Lima
menit kemudian, aku memeroleh pemberitahuan lewat email bahwa sertifikat
sebagai seorang pendengar akan dikirim juga lewat email dua hari lagi. Dalam
email tersebut juga dijelaskan bahwa sertifikat akan berlaku untuk melamar
pekerjaan atau masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, persis seperti
sertifikat kompetisi menyanyi atau menulis dan banyak lainnya.
Sheila
mulai mengangguk-angguk sendiri. Tanda dia mulai paham dengan rotasi yang ada
di negeriku.
“Berharaplah
pemerintah di negerimu bakal melakukan kebijakan serupa ini.” Pungkasku disusul
Sheila yang terus mengamini.
No comments:
Post a Comment