Tuesday, November 3, 2015

Negeri Piagam

(Baca Juga; Negeri Empati)
Sheila, teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri Piala. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat seluruh orang di negeriku bisa saling bertukar pandangan memerhatikan, ketika satu sama lain bicara. Jika dulu, dia hanya melihat cerita itu melalui foto dan video yang aku kirim lewat Instagram, sekarang dia bisa dengan nyata melihat semuanya. Seperti perkiraanku, kedaan negeriku yang berlawanan dengan negerinya sudah aku tebak bakal memikat dia. Seperti Sheila, aku mengetahui keadaan negerinya melalui foto dan video dalam akun Instagram miliknya.
“Kami sedang saling mendengarkan curahan hati masing-masing,” ucapku pada Sheila, saat dia memastikan apa sebenarnya obrolan apa yang aku dan orang negeriku lakukan, hingga masing-masing bisa saling bertukar pandangan memerhatikan. Di instagram, aku katakan juga bahwa angka depresi di negeriku juga lebih kecil ketimbang negerinya Sheila dan negeri tetangga lainnya.
Lagi-lagi Sheila berdecak kagum. Di negerinya, orang berebut bicara tanpa mau mendengarkan. Banyak orang mulai depresi karena tidak memiliki teman bicara alias pendengar. Soal itu, Sheila mengeluh. Dia bilang, para analis ekonomi dan kejiwaan memerkirakan bahwa negeri Sheila roda ekonominya bakal berhenti dua puluh lima tahun lagi, semua akibat banyaknya orang yang mestinya produktif menjadi depresi. Aku cuma tersenyum tipis dan sinis. Negeriku dulu persis seperti negerinya Sheila, sebelum kebijakan itu muncul…
“Kamu belum ngerti apa-apa, Sheil,” kataku sambil memercepat langkah. Sheila kelihatan menahan napasnya beberapa detik sebelum matanya makin membulat, tanda tersinggung. Tapi sungguh, dia memang belum paham apa-apa.
Kami kemudian menyebrangi dua lampu lalu lintas, hingga sampai di sebuh pertokoan. Sheila berlari kecil mengikuti langkah kakiku yang lebar, menuju sebuah bangunan bertulis ‘Biro Kuping’.
“Mari masuk, kamu akan tahu semuanya,” Ucapku pada Sheila.
Sheila dan aku masuk melewati pintu kaca. Pegawai yang duduk di meja depan pintu memersilahkan kami untuk duduk dan menanyakan apa keperluan kami.
“Saya butuh kuping. Boleh seorang lelaki maupun perempuan. Kalau bisa yang sebaya saya dan punya tampang konyol, saya nyaman dengan orang seusia saya dan bertampang konyol. Oh iya, saya butuh semua itu besok,” Aku mulai menjelaskan keperluan. Pegawai itu mengangguk. Dia kemudian menyodori aku sebuah tablet dengan gambar dan profil beberapa orang. Aku memilih seorang lelaki usia dua puluhan bertampang konyol. Setelahnya, aku menyerahkan lima lembar uang, mengisi formulir dan mengajak Sheila keluar bangunan.
Sheila terus menanyakan apa maksudku mengajak dia ke sebuah bangunan bertulis Biro Kuping tadi. Aku bilang padanya bahwa nanti malam akan ada email dari Biro Kuping untuk menentukan kapan kuping pesananku datang.
***
Sheila tentu saja kaget dan heran. Berkali-kali dia minta penjelasan pada aku, tapi mulutku tetap menampakkan senyum sinis. Semalam, email dari Biro Kuping sampai pada aku. Isinya, bahwa kuping pesananku bisa aku terima di rumah pukul tujuh pagi.
Kuping yang aku pesan dan datang pagi ini adalah seorang lelaki dua puluhan bertampang konyol. Aku bilang pada Sheila, bahwa kuping yang aku pesan memang akan datang bersama pemiliknya. Sheila merasa merinding. Pikirnya, aku bakal mengiris kuping itu dari pemiliknya. Tanpa melepas senyum sinisku, aku katakana pada Sheila bahwa dia hanya harus diam dan melihat apa yang terjadi.
Setelahnya, Sheila duduk saling berhadapan dengan aku dan lelaki itu. Selama satu jam, lelaki itu bercerita soal banyak hal dan aku memasang sorot mata mendengarkan. Tidak lupa kamera ponsel aku nyalakan buat merekam semua kegiatan pagi ini.
Setelah satu jam terlewati. Aku mematikan kamera ponselku dan berkata pada lelaki itu,”Terimakasih, tepat dan sesuai pesanan saya,”
Lelaki itu tersenyum kemudian berjalan keluar rumah tanpa aku dampingi.
Aku kemudian duduk di samping Sheila sambil mulai menggeser layar ponselku. Sheila melihat aku sign in di web Departemen Pendidikan negeriku. Setelah akunku terbuka, aku mengupload video di mana aku memasang mata memerhatikan ketika lelaki tadi berbicara.
Lima menit kemudian, aku memeroleh pemberitahuan lewat email bahwa sertifikat sebagai seorang pendengar akan dikirim juga lewat email dua hari lagi. Dalam email tersebut juga dijelaskan bahwa sertifikat akan berlaku untuk melamar pekerjaan atau masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, persis seperti sertifikat kompetisi menyanyi atau menulis dan banyak lainnya.
Sheila mulai mengangguk-angguk sendiri. Tanda dia mulai paham dengan rotasi yang ada di negeriku.
“Berharaplah pemerintah di negerimu bakal melakukan kebijakan serupa ini.” Pungkasku disusul Sheila yang terus mengamini.

No comments: