Saturday, November 14, 2015

Kampus Fiksi VS Gramedia Writing Project

Dimuat di, Jawa Post, Radar Malang. Minggu, 15 September 2015
Dapat juga dibaca di, http://radarmalang.co.id/kampus-fiksi-vs-gramedia-writing-project-23186.htm

Euforia audisi penulis muda yang diselenggarakan oleh penerbitan mayor, agaknya belum juga menemui titik jenuh. Dua audisi terbesar yang hingga saat ini masih digandrungi penulis muda, dua diantaranya; Kampus Fiksi (KF) dan Gramedia Writing Project (GWP).
Dua audisi ini menawarkan satu produk unggulan yang sama, yaitu bimbingan untuk menulis jika seorang penulis terpilih. Hal ini, tidak jauh berbeda dengan ajang pencarian bakat yang mengadakan audisi penyanyi, bukan? X Factor sebagai satu contoh. Berbeda dengan pendahulunya, seperti; Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan lain sebagainya, yang hanya menawarkan bimbingan pada penyanyi terpilih selama proses eleminasi berlangsung. Sedangkan X Factor, nyatanya juga menawarkan kontrak rekaman yang tentu menambah nilai jual dan daya saing peserta audisi.
KF yang dikomandani Diva Press sendiri, telah terlaksana sejak 2013. Audisi yang baru-baru ini terlaksana, adalah audisi di tahun 2015 yang terbagi atas dua puluh orang setiap bulannya, sebagai rombongan belajar. Rombongan belajar ini dipertemukan di Jogjakarta sebagai pusat dari penerbitan Diva Press. Mereka yang terpilih akan menerima bimbingan intensif tatap muka selama dua hari. Selanjutnya, mereka akan mendapat bimbingan secara online. Diva Press tidak menyediakan kontrak esklusif bagi penulis terpilih. Peserta yang terpilih pun jumlahnya begitu banyak, sehingga konsep audisi yang ditawarkan adalah, siapa saja dapat lolos asalkan memenuhi persyaratan dasar teknik menulis. Orang awam tentu saja dapat berpendapat, bahwa mereka yang berhasil masuk KF bukanlah para penulis dengan teknik yang terlalu baik. Berlawanan dengan hal tersebut, KF juga boleh jadi dipandang memberi kesempatan berproses, pada siapa saja yang memiliki kemauan, terlepas telah memiliki teknik memadai maupun masih tengah berproses dalam mencapainya.
Berbeda dengan KF. GWP yang dikomandani Gramedia Pustaka Utama (GPU), berani menawarkan kontrak esklusif pada penulis terpilih. Penulis yang terpilih pun, hanya sejumlah sepuluh orang dari ribuan peminat. Ketatnya jumlah penulis terpilih yang dipatok oleh GWP, berbanding lurus dengan kualitas teknik penulisan cerita para peserta audisi yang saling berebut tempat. Euforia GWP sendiri baru memasuki tahun ketiganya di 2015 ini. Konsep audisi yang diusung pun berbeda dengan KF. GWP menggunakan konsep forum menulis online dalam sebuah website, yang mirip sosial media untuk jejaring pertemanan. Para penulis dapat memposting karyanya untuk dibaca sesama pemilik akun maupun pembaca pada umumnya, berkomentar, juga memberi rate. Sedangkan KF, mengusung konsep pengiriman karya via email selama proses audisi.
Foto oleh: Dipsy, M. Asyrofi Al-Kindy, Dwi Ratih Ramadhani
KF secara terang-terangan mengumumkan ribuan nama dan judul karya peserta yang masuk proses audisi. Sedangkan GWP, ditilik dari proses GWP Batch 2, tidak terang-terangan menyebut seluruh naskah yang masuk dalam proses audisi. GWP hanya mengumumkan nama peserta terpilih jika telah memasuki 30 besar hingga 10 besar.
Namun, kita dapat mengetahui hasil tulisan peserta yang bertahan hingga tahap akhir, dalam GWP. Ditilik dari GWP 1, tim GPU secara terang-terangan mengupload tulisan peserta terpilih dalam bentuk e-book. Calon peserta atau pembaca pada umumnya, dapat membaca e-book tersebut secara bebas dan menilai seberapa jauh kualitas penulis terpilih. Berbeda dengan GWP, KF tidak pernah melakukan publikasi terhadap karya peserta yang terpilih. Pembaca secara umum dapat mengetahui karya peserta terpilih, jika secara pribadi mengenal penulis terpilih tersebut lantas meminta secara pribadi agar diperbolehkan membaca karyanya yang lolos. Tidak mungkin seorang pembaca mengenal begitu banyak peserta terpilih dalam KF secara keseluruhan. Karya yang kebetulan dapat dibaca, tentu saja belum berarti mewakili standar kualitas peserta terpilih di KF.
Dari GWP Batch 1, nama Dwi Ratih Ramadhany, alumnus Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM) tentu saja cukup akrab di telinga. Penulis perempuan yang profilnya pernah diangkat di Radar Malang pada Sabtu, 24 Agustus 2015 ini, sudah menelurkan dua buku semenjak dirinya terpilih menjadi penulis GWP Batch 1 di tahun 2013. Badut Oyen ditulis bersama dua rekannya sesama penulis terpilih. Sedangkan, Kata Kota Kita ditulis bersama 16 rekannya sesama penulis terpilih, di tahun 2015.
Di tahun yang sama, Ratih juga menelurkan kumpulan cerpennya yang berjudul Pemilin Kematian. Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh UM Press. Dalam kumpulan cerpen ini, telihat bahwa Ratih sebenarnya berangkat dari tulisan-tulisannya yang bisa disebut sebagai ‘sastra serius’. Pembaca pada umumnya tentu tidak perlu bingung mengapa Ratih justru menyajikan warna tulisan Young Adult dalam dua bukunya bersama para penulis terpilih GWP. Kedua buku tersebut memang bagian dari kesepakatan project penulis terpilih GWP bersama Gramedia Pustaka Utama sebagai penyelenggara. Ratih dan para penulis terpilih lainnya, mesti menyesuaikan diri dengan kesepakatan tersebut, terlepas Young Adult memang gaya menulisnya atau bukan.
GWP dalam hal ini, memang berbeda dengan KF yang membebaskan para penulisnya setelah proses bimbingan selesai. Para penulis KF memang tidak perlu terikat dengan perjanjian yang mesti membuat dirinya menyesuaikan diri dengan gaya menulis yang disepakati penyelenggara. Namun, dengan demikian, penulis bisa jadi kehilangan orientasi setelah proses bimbingan selesai. Bagi penulis yang kurang lincah berkomunikasi, bisa juga kehilangan relasi yang telah terbangun selama proses bimbingan, meski dalam dirinya terdapat sebuah potensi besar. Di samping itu, penulis memang lebih bebas menentukan pilihan jalan kepenulisannya pasca bimbingan, dan dapat pula konsisten atas warna tulisan yang ingin terus dibangun.
Ikatan yang dilakukan GWP sendiri, tidak berlangsung selamanya, dan sebenarnya bisa jadi jalan bagi penulis agar dikenal luas pembaca pada umumnya atau juga membuka jaringan baru lewat karya yang dipublikasikan luas, mengingat Gramedia Pustaka Utama memang sebuah penerbitan besar. Warna tulisan yang ditentukan oleh penerbit, tentu saja juga merupakan warna yang diminati masyarakat luas. Seorang penulis, bisa memelajari racikan tulisan yang diminati masyarakat yang kemudian diramu dengan warna tulisannya sendiri setelah lepas dari project bersama penyelenggara.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan audisi penulis muda yang dilaksanakan oleh dua penerbit besar ini. Sesungguhnya, baik KF maupun GWP merupakan pintu awal sebuah jalan sebagai penulis. Keduanya bukanlah sebuah puncak pencapaian sebagai penulis. Sebuah pintu tentu saja tidak mesti berawal dari KF maupun GWP saja, bukan?

No comments: