Dimuat di, Jawa Post, Radar Malang. Minggu, 15 September 2015
Dapat juga dibaca di, http://radarmalang.co.id/kampus-fiksi-vs-gramedia-writing-project-23186.htm
Euforia
audisi penulis muda yang diselenggarakan oleh penerbitan mayor, agaknya belum
juga menemui titik jenuh. Dua audisi terbesar yang hingga saat ini masih digandrungi
penulis muda, dua diantaranya;
Kampus Fiksi (KF) dan Gramedia Writing Project (GWP).
Dua
audisi ini menawarkan satu produk unggulan yang sama, yaitu bimbingan untuk
menulis jika seorang penulis terpilih. Hal ini, tidak jauh berbeda dengan ajang
pencarian bakat yang mengadakan audisi penyanyi, bukan? X Factor sebagai satu
contoh. Berbeda dengan pendahulunya, seperti; Akademi Fantasi Indosiar (AFI),
Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan lain sebagainya, yang hanya
menawarkan bimbingan pada penyanyi terpilih selama proses eleminasi
berlangsung. Sedangkan X Factor, nyatanya juga menawarkan kontrak rekaman yang
tentu menambah nilai jual dan daya saing peserta audisi.
KF
yang dikomandani Diva Press sendiri,
telah terlaksana sejak 2013. Audisi yang baru-baru ini terlaksana, adalah
audisi di tahun 2015 yang terbagi atas dua puluh orang setiap bulannya, sebagai
rombongan belajar. Rombongan belajar ini dipertemukan di Jogjakarta sebagai
pusat dari penerbitan Diva Press. Mereka yang terpilih akan menerima bimbingan
intensif tatap muka selama dua hari. Selanjutnya, mereka akan mendapat
bimbingan secara online. Diva Press tidak menyediakan kontrak esklusif bagi
penulis terpilih. Peserta yang terpilih pun jumlahnya begitu banyak, sehingga
konsep audisi yang ditawarkan adalah, siapa
saja dapat lolos asalkan memenuhi persyaratan dasar teknik menulis. Orang
awam tentu saja dapat berpendapat, bahwa mereka yang berhasil masuk KF bukanlah
para penulis dengan teknik yang terlalu baik. Berlawanan dengan hal tersebut,
KF juga boleh jadi dipandang memberi kesempatan berproses, pada siapa saja yang
memiliki kemauan, terlepas telah memiliki teknik memadai maupun masih tengah
berproses dalam mencapainya.
Berbeda
dengan KF. GWP yang dikomandani Gramedia Pustaka Utama (GPU), berani menawarkan
kontrak esklusif pada penulis terpilih. Penulis yang terpilih pun, hanya
sejumlah sepuluh orang dari ribuan peminat. Ketatnya jumlah penulis terpilih
yang dipatok oleh GWP, berbanding lurus dengan kualitas teknik penulisan cerita
para peserta audisi yang saling berebut tempat. Euforia GWP sendiri baru
memasuki tahun ketiganya di 2015 ini. Konsep audisi yang diusung pun berbeda
dengan KF. GWP menggunakan konsep forum menulis online dalam sebuah website,
yang mirip sosial media untuk jejaring pertemanan. Para penulis dapat memposting karyanya untuk dibaca sesama pemilik
akun maupun pembaca pada umumnya, berkomentar, juga memberi rate. Sedangkan KF, mengusung konsep
pengiriman karya via email selama proses audisi.
Foto oleh: Dipsy, M. Asyrofi Al-Kindy, Dwi Ratih Ramadhani |
Namun,
kita dapat mengetahui hasil tulisan peserta yang bertahan hingga tahap akhir,
dalam GWP. Ditilik dari GWP 1, tim GPU secara terang-terangan mengupload tulisan peserta terpilih dalam
bentuk e-book. Calon peserta atau
pembaca pada umumnya, dapat membaca e-book
tersebut secara bebas dan menilai seberapa jauh kualitas penulis terpilih.
Berbeda dengan GWP, KF tidak pernah melakukan publikasi terhadap karya peserta
yang terpilih. Pembaca secara umum dapat mengetahui karya peserta terpilih,
jika secara pribadi mengenal penulis terpilih tersebut lantas meminta secara
pribadi agar diperbolehkan membaca karyanya yang lolos. Tidak mungkin seorang
pembaca mengenal begitu banyak peserta terpilih dalam KF secara keseluruhan.
Karya yang kebetulan dapat dibaca, tentu saja belum berarti mewakili standar
kualitas peserta terpilih di KF.
Dari
GWP Batch 1, nama Dwi Ratih Ramadhany, alumnus Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang (UM) tentu saja cukup akrab di telinga. Penulis perempuan yang
profilnya pernah diangkat di Radar
Malang pada Sabtu, 24 Agustus 2015 ini, sudah menelurkan dua buku semenjak
dirinya terpilih menjadi penulis GWP Batch 1 di tahun 2013. Badut Oyen ditulis bersama dua rekannya sesama penulis
terpilih. Sedangkan, Kata Kota Kita ditulis bersama 16 rekannya sesama penulis
terpilih, di tahun 2015.
Di
tahun yang sama, Ratih juga menelurkan kumpulan cerpennya yang berjudul Pemilin
Kematian. Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh UM Press. Dalam kumpulan cerpen
ini, telihat bahwa Ratih sebenarnya berangkat dari tulisan-tulisannya yang bisa
disebut sebagai ‘sastra serius’. Pembaca pada umumnya tentu tidak perlu bingung
mengapa Ratih justru menyajikan warna tulisan Young Adult dalam dua bukunya bersama para penulis terpilih GWP. Kedua
buku tersebut memang bagian dari kesepakatan project penulis terpilih GWP bersama Gramedia Pustaka Utama sebagai
penyelenggara. Ratih dan para penulis terpilih lainnya, mesti menyesuaikan diri
dengan kesepakatan tersebut, terlepas Young
Adult memang gaya menulisnya atau bukan.
GWP
dalam hal ini, memang berbeda dengan KF yang membebaskan para penulisnya
setelah proses bimbingan selesai. Para penulis KF memang tidak perlu terikat
dengan perjanjian yang mesti membuat dirinya menyesuaikan diri dengan gaya
menulis yang disepakati penyelenggara. Namun, dengan demikian, penulis bisa
jadi kehilangan orientasi setelah proses bimbingan selesai. Bagi penulis yang
kurang lincah berkomunikasi, bisa juga kehilangan relasi yang telah terbangun
selama proses bimbingan, meski dalam dirinya terdapat sebuah potensi besar. Di samping
itu, penulis memang lebih bebas menentukan pilihan jalan kepenulisannya pasca
bimbingan, dan dapat pula konsisten atas warna tulisan yang ingin terus
dibangun.
Ikatan
yang dilakukan GWP sendiri, tidak berlangsung selamanya, dan sebenarnya bisa
jadi jalan bagi penulis agar dikenal luas pembaca pada umumnya atau juga
membuka jaringan baru lewat karya yang dipublikasikan luas, mengingat Gramedia
Pustaka Utama memang sebuah penerbitan besar. Warna tulisan yang ditentukan
oleh penerbit, tentu saja juga merupakan warna yang diminati masyarakat luas.
Seorang penulis, bisa memelajari racikan tulisan yang diminati masyarakat yang kemudian
diramu dengan warna tulisannya sendiri setelah lepas dari project bersama penyelenggara.
Terlepas
dari kekurangan dan kelebihan audisi penulis muda yang dilaksanakan oleh dua
penerbit besar ini. Sesungguhnya, baik KF maupun GWP merupakan pintu awal
sebuah jalan sebagai penulis. Keduanya bukanlah sebuah puncak pencapaian
sebagai penulis. Sebuah pintu tentu saja tidak mesti berawal dari KF maupun GWP
saja, bukan?
No comments:
Post a Comment