Papa
menghadiahi saya sebuah bibit pohon. Begitu saya tanam dan siram, bibit itu
meninggi setara dengkul dan berbuah sebuah ponsel. Ponsel itu dilengkapi infra
merah, kamera VGA juga pemutar musik. Beda benar dengan ponsel saya terdahulu,
cuma dilengkapi radio dan layarnya berwarna kuning. Asalnya pun, dari pohon yang
cuma setinggi mata kaki. Meski keduanya sama-sama memiliki tujuh belas tombol.
“Kamu
pantas mendapatkan bibit pohon yang lebih baik.” Papa selalu berkata begitu,
tiap saya bertanya soal bibit yang baru dia berikan itu.
Memang
saya mendapat peringkat delapan selama dua semester berturut-turut. Papa sudah
menjanjikan bibit pohon yang lebih baik jika saya masuk sepuluh besar selama
tahun pertama masuk SMK.
Satu
siang, saya melihat Tata mengelus dan mengelap sebuah pohon yang bahkan tidak
sampai setinggi betis di halaman rumahnya. Kami sama-sama kelas sebelas
sekarang. Dia seorang tetangga yang rajin bertukar senyum dulunya, sama seperti
saya. Tapi tidak setelah pohon kecilnya itu datang. Pohonnya bikin dia sibuk.
Belakangan saya tahu, bahwa pohon itu menghasilkan ponsel tanpa tombol dan
memiliki kamera belasan mega pixel.
“Saya
bisa mengirim gambar, tulisan dan suara dengan ponsel ini. Pohon ini pun tidak
seperti pohonmu yang cuma menghasilkan keypad, baterai dan komponen pengganti
lain sebelum ponselmu mumur. Pohon ini menghasilkan Instagram, Photogrid, Path
dan banyak lainnya. Ah, pokoknya beda benar dengan pohon milikmu itu.” Jawab
Tata ketika saya menanyakan fungsi pohon kecilnya. Saya merasa iri.
Bayangan-banyangan soal dia dan pohon itu terus berkelebat. Tata pasti bakal
bisa mengirim lebih dari seratus pesan sehari, tanpa nyeri di jari-jari.
Pada
papa, saya mulai protes. Bagaimana pohon saya yang lebih tinggi menghasilkan
ponsel yang tidak lebih baik?
“Oh,
tentu. Pohon milik Tata namanya bonsai. Kamu bisa memilikinya jika tahun ini
naik peringkat.” Jelas papa menyahut protes saya.
Saya semangat benar selama setahun
di kelas sebelas. Waktu ujian, saya saling tukar jawaban dengan teman-teman
melalui ponsel. Peringkat saya naik dua tingkat kemudian. Dan papa, dia
membawakan saya sebuah bonsai. Lebih tinggi dari milik Tata. Setidaknya
setinggi pohon lama saya.
“Kamu tidak perlu menyiramnya
seperti pohon lamamu. Cukup kamu elus dan lap saja. Nanti dia akan menghasilkan
Photogrid, Path, WhatsApp dan banyak lainnya. Persis yang kamu mau. Meskipun
mendapat semua itu, kamu jangan pernah berhenti bertukar senyuman” Sela papa
saat memergoki saya hampir menyiram bonsai itu dengan air.
Bonsai milik saya itu, ternyata
menghasilkan ponsel yang kedap air, memiliki kamera puluhan mega pixel, juga
tidak memiliki tombol. Saya tidak perlu khawatir, jika ponsel itu kecemplung bak mandi. Sekarang, saya bisa
mengobrol diam-diam dengan pacar sambil mandi. Kami mudah bertemu, tanpa perlu
dia mengetuk pintu rumah saya terlebih dahulu.
Tata beberapa kali kepergok melirik
benci, ketika melihat saya mengelap bonsai di halaman depan. Dia cuma iri. Saya
yakin sebabnya cuma menyoal bonsai milik saya yang lebih tinggi. Kami sekarang
sama-sama kelas dua belas. Dan sama-sama malas bertukar senyum. Saya puas
dengan bonsai yang saya miliki sekarang. Tidak ingin pohon lain. Papa juga
tidak menjanjikan pohon lain jika saya mendapat peringkat yang lebih baik di
kelas dua belas. Soal peringkat, saya sekarang juga tidak peduli.
Satu waktu kemudian, saya ketahuan
sedang berciuman dengan pacar saya di stasiun kota. Waktu itu masih jam sekolah
dan kami memang berjanji bertemu diam-diam lewat ponsel. Kami berdua digiring
naik mobil Pamong Praja. Guru menelepon papa buat menjemput saya. Papa datang,
kemudian menampari muka dan menjambak rambut saya selama perjalanan menuju
rumah.
Sampai rumah, papa mengurung saya
dalam kamar. Dari jendela, tampak papa menyulut api kemudian bonsai terbakar.
Ponsel saya mumur.
Papa hanya membolehkan saya keluar
rumah untuk menyirami kaca-kaca di halaman belakang. Kaca-kaca yang saya akui
memang bikin udara lebih sejuk dan kata para aktivis rewel itu, bisa menjadi
resapan air. Papa juga sangat yakin bahwa menyirami kaca-kaca itu bakal membuat
saya kembali mau bertukar senyum.
Dengan pacar, saya putus komunikasi.
Saya kangen ciumannya, juga pesan suaranya melalui WhatsApp. Gara-gara ponsel
saya mumur, kami tidak bisa berkomunikasi dan bertemu diam-diam.
“Kalau dia memang cinta pada kamu,
dia bakal mengetuk pintu rumah ini buat bertemu dengan kamu.” Ucap papa
berkali-kali, tiap saya mengumpati pohon saya yang terbakar dan ponsel saya
yang mumur.
Saya kangen kamu, pohon…
No comments:
Post a Comment