“Kamu
sangat cemerlang di SMA, kenapa mesti jadi pelacur?” tanyamu sambil menggeser
kotak rokok lebih dekat dengan dadamu.
“Aku
sangat takut ketika membayangkan ketidakmapanan. Untuk itu, aku menjadi seorang
pelacur.” Jawabku sambil menarik kotak rokok lebih dekat dengan dadaku.
“Ah,
akan ada banyak jalan soal itu, Agni. Kamu sangat cerdas, pipimu merah jambu
dan rambutmu tebal, kenapa tidak cari suami kaya saja?”
“Itu
cara tidak terhormat.” Ketusku sambil meraih korek api dari nakas.
“Setidaknya,
dengan begitu, kamu tidak melacur…”
“Merampok
uang pelan-pelan dari seorang lelaki yang sesungguhnya tidak aku cintai, bukan
begitu?” api mulai aku nyalakan dari korek. Setelah api menyala beberapa detik,
buru-buru aku meniup api itu sambil menggeser duduk lebih dekat denganmu.
“Status
pernikahan menyelamatkan mukamu di masyarakat.” Kamu tetap duduk di tempat,
tidak berusaha menjauh atau mendekati tempatku duduk sekarang.
“Itu
cara munafik. Jadi pelacur adalah hal yang paling jujur bagi aku sekarang. Setidaknya,
meski aku sudah tidak memiliki keperawanan, aku masih memiliki kejujuran.” Aku
mengambil satu batang rokok, kemudian menyelipkannya di antara telunjuk dan
jari tengahku.
“Keras
kepala...” Kamu menarik rokok yang terselip di antara dua jariku.
“Kamu
ingin aku jadi seperti mantan pacarmu itu? Yang anggun memakai penutup kepala
sepanjang dada? Yang tiga tahun memacarimu demi tas dan sepatu? Dia sama
seperti aku kecuali soal keperawanan!” jeritku sambil menoleh membelakangi bahu
kirimu.
“Dia…”
ucapanmu belum selesai, namun aku tidak sabar buat buru-buru memotongnya dengan
satu lagi jeritan.
“Dia
rindu kemapanan, sama seperti aku. Namun, dia mengambil jalan munafik! Berbohong
penuh!”
“Kamu
boleh mengumbar semua yang menurutmu benar. Tapi, jangan sangkut soal penutup
kepalanya yang sepanjang dada itu, aku mohon...”
“Lucu,
sekian tahun setelah kita bertemu kembali di ranjang, kamu tetap sama, isi
kepalamu tetap seperti drama di televisi…” aku menarik rokok yang terselip di
antara telunjuk dan jari tengahmu.
“Aku
tidak pernah cukup cerdas buat menangkap maksudmu, Agni.” Ucapmu datar.
“Televisi
selalu menampilkan gadis dengan rambut terurai seperti aku ini, sebagai tokoh jahat
dan penyiksa. Sedangkan, gadis berpenutup kepala seperti mantan pacarmu itu,
selalu digambarkan sebagai tokoh kalem yang jadi bulan-bulanan penyiksaan. Jika
televisi membaliknya, para aktivis yang katanya membela Tuhan itu bakal
menyerbu, bukan begitu?”
“Tidak,
Agni… aku…” ucapanmu semakin kalem.
“Pelacur
dan pacar hanya punya beda soal keperawanan saja. Selebihnya, cuma menyoal kamu
dapat menyentuhnya di sana-sini dan dia dapat kemapanan yang dia mau, bukan
begitu?”[1]
“Agni…”
ucapanmu kali ini bisa dibilang paling lirih.
“Ah,
berapa sih? Total uang buat tas dan sepatu yang kamu berikan pada mantan pacarmu
itu? Aku yakin jauh lebih banyak ketimbang sekali mengundang aku ke ranjang.
Rugi! Hanya menyentuh bagian terluar pakaiannya selama tiga tahun dan
mengeluarkan biaya yang lebih banyak ketimbang sekali mengundang seorang
pelacur seperti aku.”
Kamu
menarik napas sebelum menahannya kemudian menjerit,”Dengan pacar, kamu masih
memiliki rasa ketika menyentuhnya! Tidak ketika menyentuh seorang pelacur!”
Bibirku
gemetaran. Batang rokok, korek dan kotak, semuanya aku lemparkan ke lantai. Aku
menarik selimut hingga batas hidung. Bola mataku berair.
“Pergilah…
ingat pertemuan pertama kita di ranjang bertahun-tahun lalu itu sebagai yang paling
pertama sekaligus tidak bakal terulang.”
Kamu
menggeser duduk hingga berdempetan dengan tubuhku. Kepala kamu sandarkan di
bahuku sambil mulai sesenggukan.
“Besok
kita mesti menikah, Agni. Maaf… aku datang ketika baru berani menyajikan
kemapanan padamu. Maaf… aku lari setelah pertemuan pertama kita di ranjang
bertahun-tahun lalu. Maaf, Agni… maaf…”
Mendadak,
pipiku basah.
[1]
Terinspirasi dari salah satu paragraf
cerpen Suami Terbaik, oleh Muhajjah Saratini: Mereka hanya mencari celah untuk menyentuh bagian tubuhku.
Ini seperti barter, sih. Mereka memfasilitasi hidupku, dan aku menjadi “selir”
mereka. Dipamerkan ke mana-mana. Disentuh di sana-sini. Sial! Kadang aku pikir,
beda pacar dan pelacur itu hanya tidak memberi keperawanan. Ya ada juga sih
sebagian wanita bodoh yang memberi keperawanan mereka ke pacar dengan sukarela.
Ah, wanita.
No comments:
Post a Comment