Thursday, January 28, 2016

Peramal

Peramal itu mengatakan hal-hal baik di depan kita. Katanya, kamu bakal jadi dosen; seorang guru besar. Katanya lagi, karirku bakal bagus di stasiun televisi; persis harapan.

Sebelum kita menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan sebagai imbalan, si peramal memandangi kita. Ia pun kemudian mengatakan, sesungguhnya kita saling suka, namun sama gengsi buat mengungkap itu semua.

Sekeluarnya dari tempat peramal, aku memanyunkan bibir. Rasanya benar-benar buang-buang waktu ketika kamu membawaku ke tempat seorang peramal yang jelas-jelas hanya bakal mengatakan hal yang ingin pelanggannya dengar. Kesenangan pelanggan bakal membuat uang yang diberikan padanya lebih banyak. Ini tidak logis dan konyol.


“Aku tahu yang kamu pikirkan, Agni…” kamu buka suara, disusul tawa terkekeh yang panjang.

“Sepuluh tahun kita bareng, kamu tentu tahu betul isi pikiranku.” Balasku ketus.

“Kamu berpikir bahwa dia hanya mengatakan apa-apa yang ingin didengar para pelanggannya supaya mendapat lebih banyak uang, bukan? Hal demikian menurutmu konyol dan tidak logis...” kamu memastikan sambil menarik badanku lebih dekat.

Aku mengangguk.

“Jika memang dia hanya mengatakan hal-hal yang ingin didengar oleh para pelanggannya, setidaknya dia mengatakan bahwa kita saling suka. Bukankah itu jawaban yang kita inginkan selama ini? Bila saja kita tidak coba mendatangi peramal tadi…” kamu belum selesai bicara, namun aku buru-buru mengibaskan tanganmu dan berlari kecil menuju tenda si peramal. 

Kembali…

“Agni! Mau kemana kamu?!” jeritmu sambil berusaha menyusulku.

“Aku akan memberi tambahan uang pada peramal itu!” Sahutku. 

Aku mulai mengencangkan lari. Kulit mukaku terasa makin panas dan barangkali lebih merah setiap lari aku kencangkan.

Disunting ulang, 29 Februari 2021

No comments: