Akbar
melongo melihat kedatangan gadis itu. Ah, sebenarnya dia sudah tahu soal
kedatangan gadis itu dari tim kreatif di studio. Tapi, sapaan gadis itu di
depan ruang make up nyata-nyata masih membuat lubang keterkejutan sendiri dalam
batin Akbar.
“Seperempat
jam lagi, kita naik stage, Bar,” Ucap gadis itu sambil giginya terus menggerus
batangan coklat.
Mata
Akbar tertuju pada batang coklat yang tengah digerus gadis itu di antara
gigi-giginya. Gigi-gigi gadis itu mendadak berhenti bergerak, tatapan Akbar dia
sangka sebagai tatapan menyelidik yang tidak cukup membuatnya nyaman.
“Aku
sekarang hobi megunyah coklat, Bar. Hanya berganti cemilan, dari rokok ke
coklat,” gadis itu terkekeh. Akbar membeku. Bukan soal berita, bahwa gadis yang
sekarang sedang bersandar di kusen pintu di hadapannya itu, sekarang lebih
menyukai coklat ketimbang rokok. Ini soal…
“Agni,
aku ingin kita mengobrol panjang.” Akbar akhirnya berucap. Sebelum Agni membuka
mulutnya buat menyahut ajakan Akbar, sepasang kaki kedengaran berderap
mendekati pintu.
“Bang
Akbar, Kak Agni, lima menit lagi kita on air ya.” Seorang lelaki yang kira-kira
berusia dua puluh tahunan berkata dengan tegas sambil napasnya berkejaran. Sebuah
headphone kelihatan menutupi dua kupingnya dan lambang stasiun televisi Z
tercetak di lengan kirinya.
“Oke,
siap. Saya dan Akbar siap di belakang setelah ini.” Agni menyahut. Roman muka
Akbar kelihatan kecewa. Ajakannya pada Agni belum terjawab.
Agni
tersenyum tipis, mungkin nyaris tidak kelihatan oleh Akbar. Sambil menjauhi
pintu, dia berujar,”Setelah on air, aku sangat bersedia mengobrol dengan kamu.
Aku rindu betul dengan obrolan-obrolan kita.”
No comments:
Post a Comment