Usia
saya lima tahun waktu itu, sekitar 1999. Tiga tahun sebelumnya, saya mulai
tinggal di areal perumahan yang hingga sekarang saya tinggali.
Ester,
gadis kecil yang kira-kira usianya dua tahun lebih muda dari saya. Jika pakai
perkiraan, dia sekarang dua puluh barangkali.
Menurut
mama dan seingat saya, warna kulit Ester sama cerahnya dengan saya.Bedanya,
muka Ester kelihatan oriental seperti papanya. Meski begitu, masih menurut
mama, kami cocok jadi sepasang kakak beradik.
Dia
tinggal di depan rumah saya bersama mamanya, status rumah itu mengontrak. Saban
hari, saya selalu bersama Ester. Saya menyeberang ke rumahnya atau dia
menyeberang ke rumah saya.
Tidak
seperti anak-anak lain yang jadi sorotan karena terlihat jiwanya memimpin atau
terlihat bisa mendominasi teman-temannya. Saya tidak punya dua jiwa itu
sekalipun pada Ester yang lebih muda. Pada Ester, saya cenderung mirip seorang
pengajar. Saya mengajarinya cara memegang sendok di tangan kanan, saya memakaikannya
kain sewek[1]
dan duduk berpura-pura minum dari cangkir. Kepadanya, saya tunjukkan apa
namanya duduk bersila dan duduk dengan tumpuan satu kaki. Saya jelaskan
padanya, cara mana yang biasa dipergunakan lelaki dan cara mana yang biasa
dipergunakan perempuan.
Masih
dengan Ester, saya membagi papan tulis hitam bikinan ayah saya menjadi dua
bagian. Satu bagian untuk saya dan satu bagian untuk Ester. Gadis tiga tahun
itu lengket betul dengan saya.
Sering
dia berdiri di depan pintu rumah saya sambil pundaknya ditahan oleh mamanya,
ketika saya berangkat sekolah dan dia merasa sedih.
Gaya
bicaranya masih cadel, namun dia sudah bisa melakukan protes. Dia bilang,”Mbak
Poppy cula… mbak Poppy cula…” yang dia maksud sesungguhnya adalah saya
berangkat sekolah dan dia sedih ditinggalkan. Selalu begitu, hampir setiap
hari.
Satu
waktu, saya dengar jeritan mama Ester dari dalam rumah kontrakannya. Saya sudah
berseragam dan melongo di teras rumah. Mama menerobos pintu rumah Ester tanpa
tahu saya melongo memandanginya. Ketakutan.
Mama
Ester histeris dan menjerit. Saya tahu pasti ada hal yang mengerikan, namun
logika anak berusia lima tahun milik saya tentu belum sampai buat paham
semuanya. Beberapa tetangga menghambur keluar rumah dan bisik-bisik soal
kedatangan papa Ester menyebar cepat.
Mama
kembali ke rumah dengan muka tegang. Saya ketakutan, penuh pertanyaan dan
melongo, tapi saya tidak bisa memngungkapkan itu pada mama. Disuruhnya saya
berangkat sekolah. Dan di hari-hari berikutnya, saya tidak pernah lagi mendapati
Ester.
Dengan
setengah paham, saya di hari-hari berikutnya mendengar bisik-bisik yang
mengatakan bahwa papa dan mama Ester punya masalah besar. Mereka memang tidak
pernah tinggal bersama sepanjang saya tahu. Pada hari di mana mama Ester
histeris, gadis itu memang dibawa pergi oleh papanya.
Saya
mencari Ester. Dan berharap bisa mendapatinya mengangguk terpesona atas apa
yang sok saya ajarkan layaknya guru. Namun saya tidak pernah bisa
mengungkapkannya pada mama.
Mama
Ester pergi dari kontrakan itu dan sayatidak ingat waktu pastinya.
Tidak
seperti jamanmu. Di masa saya dan Ester, foto tidak semurah sekarang yang
tinggal jepred dan save. Kami tidak
pernah punya foto bersama seperti kamu dan teman-teman bermainmu sekarang. Saya
tidak pernah ingat jelas muka Ester. Namun saya ingat nama dan cerita kami.
Saya
harap, satu waktu Ester sampai pada tulisan ini. Saya yakin dia tidak bakal
sedih lagi ketika saya tinggalkan buat kuliah, toh kiranya dia sekarang juga
sudah kuliah atau bekerja dan punya teman-teman selain mbak Poppy-nya ini.
Tuhan
melindungi kamu, Ester…
[1]
Biasanya berupakain bermotif batik yang dipergunakan sebagai selimut atau
membebat bayi.
2 comments:
mbak poppy sekalarng ga pernah cula... sukanya dirumah. kalo enggak gitu keluyuran.... :D
Hahahahah... anak ini... andai jodohku sampai jauh ini berarti gara-gara kamu membuka soal keluyuran yups...
Post a Comment