Saturday, April 9, 2016

Ester, Seorang Tetangga Lawas


Usia saya lima tahun waktu itu, sekitar 1999. Tiga tahun sebelumnya, saya mulai tinggal di areal perumahan yang hingga sekarang saya tinggali.
Ester, gadis kecil yang kira-kira usianya dua tahun lebih muda dari saya. Jika pakai perkiraan, dia sekarang dua puluh barangkali.
Menurut mama dan seingat saya, warna kulit Ester sama cerahnya dengan saya.Bedanya, muka Ester kelihatan oriental seperti papanya. Meski begitu, masih menurut mama, kami cocok jadi sepasang kakak beradik.
Dia tinggal di depan rumah saya bersama mamanya, status rumah itu mengontrak. Saban hari, saya selalu bersama Ester. Saya menyeberang ke rumahnya atau dia menyeberang ke rumah saya.
Tidak seperti anak-anak lain yang jadi sorotan karena terlihat jiwanya memimpin atau terlihat bisa mendominasi teman-temannya. Saya tidak punya dua jiwa itu sekalipun pada Ester yang lebih muda. Pada Ester, saya cenderung mirip seorang pengajar. Saya mengajarinya cara memegang sendok di tangan kanan, saya memakaikannya kain sewek[1] dan duduk berpura-pura minum dari cangkir. Kepadanya, saya tunjukkan apa namanya duduk bersila dan duduk dengan tumpuan satu kaki. Saya jelaskan padanya, cara mana yang biasa dipergunakan lelaki dan cara mana yang biasa dipergunakan perempuan.
Masih dengan Ester, saya membagi papan tulis hitam bikinan ayah saya menjadi dua bagian. Satu bagian untuk saya dan satu bagian untuk Ester. Gadis tiga tahun itu lengket betul dengan saya.
Sering dia berdiri di depan pintu rumah saya sambil pundaknya ditahan oleh mamanya, ketika saya berangkat sekolah dan dia merasa sedih.
Gaya bicaranya masih cadel, namun dia sudah bisa melakukan protes. Dia bilang,”Mbak Poppy cula… mbak Poppy cula…” yang dia maksud sesungguhnya adalah saya berangkat sekolah dan dia sedih ditinggalkan. Selalu begitu, hampir setiap hari.
Satu waktu, saya dengar jeritan mama Ester dari dalam rumah kontrakannya. Saya sudah berseragam dan melongo di teras rumah. Mama menerobos pintu rumah Ester tanpa tahu saya melongo memandanginya. Ketakutan.
Mama Ester histeris dan menjerit. Saya tahu pasti ada hal yang mengerikan, namun logika anak berusia lima tahun milik saya tentu belum sampai buat paham semuanya. Beberapa tetangga menghambur keluar rumah dan bisik-bisik soal kedatangan papa Ester menyebar cepat.
Mama kembali ke rumah dengan muka tegang. Saya ketakutan, penuh pertanyaan dan melongo, tapi saya tidak bisa memngungkapkan itu pada mama. Disuruhnya saya berangkat sekolah. Dan di hari-hari berikutnya, saya tidak pernah lagi mendapati Ester.
Dengan setengah paham, saya di hari-hari berikutnya mendengar bisik-bisik yang mengatakan bahwa papa dan mama Ester punya masalah besar. Mereka memang tidak pernah tinggal bersama sepanjang saya tahu. Pada hari di mana mama Ester histeris, gadis itu memang dibawa pergi oleh papanya.
Saya mencari Ester. Dan berharap bisa mendapatinya mengangguk terpesona atas apa yang sok saya ajarkan layaknya guru. Namun saya tidak pernah bisa mengungkapkannya pada mama.
Mama Ester pergi dari kontrakan itu dan sayatidak ingat waktu pastinya.
Tidak seperti jamanmu. Di masa saya dan Ester, foto tidak semurah sekarang yang tinggal jepred dan save. Kami tidak pernah punya foto bersama seperti kamu dan teman-teman bermainmu sekarang. Saya tidak pernah ingat jelas muka Ester. Namun saya ingat nama dan cerita kami.
Saya harap, satu waktu Ester sampai pada tulisan ini. Saya yakin dia tidak bakal sedih lagi ketika saya tinggalkan buat kuliah, toh kiranya dia sekarang juga sudah kuliah atau bekerja dan punya teman-teman selain mbak Poppy-nya ini.
Tuhan melindungi kamu, Ester…

[1] Biasanya berupakain bermotif batik yang dipergunakan sebagai selimut atau membebat bayi.

2 comments:

Taqin said...

mbak poppy sekalarng ga pernah cula... sukanya dirumah. kalo enggak gitu keluyuran.... :D

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Hahahahah... anak ini... andai jodohku sampai jauh ini berarti gara-gara kamu membuka soal keluyuran yups...