Saya
waktu itu masih delapan belas. Saya begitu memuja sebuah pernikahan. Bagi saya,
pernikahan adalah baik.
Satu
waktu, saya curhat pada mbak Elise Marselina, teman saya yang masih duduk di
bangku pascasarjana jurusan PLS. Saat itu, saya terjepit di antara pria-pria
yang memerlakukan saya dengan begitu baik atas dasar rasa. Pada mbak Elise,
saya mengemukakan protes saya pada pria-pria itu.
“Mereka
memang sangat baik pada aku, Mbak. Tapi kenapa mereka salah satunya saja tidak
mengajak aku menikah? Bukankah pernikahan itu baik?”
Saya
yakin, mbak Elise pasti merasa geli dengan kenaifan gadis yang usianya cukup
jauh lebih muda darinya itu. Gadis delapan belas tahun yang sangat naïf soal
pernikahan.
“Pernikahan
memang baik, Pop.” Sahut mbak Elise.
“Lalu,
kenapa mereka salah satunya saja, tidak ada yang mengajak aku menikah, Mbak?
Jika salah satu dari mereka melakukan itu, pasti bakal aku pertimbangkan
keberadaannya lebih dari sekarang.”
“Karena
mereka sayang padamu, maka mereka tidak mengajakmu menikah.”
“Hah?
Sayang bagaimana sih? Bukannya orang yang mengajak menikah saja belum tentu
baik, apalagi mereka yang tidak mengajak menikah.”
“Mereka
belum siap soal itu, Pop. Makanya mereka tidak berani menjanjikan pernikahan
atau sejenisnya padamu. Mereka tidak ingin menyakiti kamu dengan ketidaksiapan
itu. Makanya, untuk sekarang, mereka hanya berani memerlakukanmu dengan baik,
bukan obral jani-janji buat menikahimu.” Pungkas mbak Elise.
Maka
saya pun ngerti, saya kelewat naïf soal
pernikahan waktu itu…
2 comments:
:)
tapi nanti kalau dirimu sudah masuk usia siap nikah... justru lelaki yang baik itu yang berani menghadap ke ayahmu, Pop :)
Itu dia, Mbak... mungkin masih belum waktunya ya (: ternyata yang berani menghadap ayah pun pada kenyataannya belum tentu orang baik.
Semoga nanti kalau sudah waktunya, ada orang baik yang juga berani menghadap ayah.
Thanks, Mbak Put...
Post a Comment