Wednesday, April 26, 2017

Dakwah Utopis Dari SMA Sebelah


Saat saya kelas 12, saya iseng-iseng mengikuti diskusi eksul badan dakwah di mushola. Pematerinya, datang dari SMA yang letaknya bersebelahan dengan SMK saya. SMA tesebut, masuk SMA menengah. Tentu semua dapat dilihat dari tampilan siswa-siswinya yang rapi dan sederhana. Terlihat betul bahwa mereka anak-anak hasil seleksi. Beda dengan SMK saya yang siswa-siswinya berasal dari berbagai kalangan.

Dua mbak elegan yang jadi pemateri itu pun mulai bicara. Mereka sama-sama kelas dua belas seperi saya. Sumpah… andai saya dulu lebih bisa bicara kenyataan seperti sekarang, sudah saya asu-asuin [1]isi materi materi mereka.

Dengan manis dan nyelekit, salah satu dari mbak elegan tersebut menolak mentah argumen saya soal memberi contoh langsung dalam teladan soal dakwah. Si mbak cerdas tersebut, lebih setuju jika dakwah yang dipersempit maknanya menjadi soal tata cara beragama semisal sholat, mesti langsung diteriakkan pada orang-orang.

Loh… ya itu di SMA kamu, Mbak. Ini SMK. Anak-anak SMK itu heterogen. Dari yang alim sekali, alim setengah ndugal,[2] hingga benar-benar ndugal semua itu ada. Dan lagi, di SMK jumlah murid banyak sekali. Tidak seperti SMA yang lebih ketat dalam seleksi, SMK memang lebih banyak memberi kesempatan masuk sekolah negeri pada siapa saja.

Hingga akhir acara, saya hanya membatin si mbak pemateri yang maha tahu itu dengan tatapan cinta. Saat mereka pulang, saya juga menyalami mereka dengan ceria, seolah saya berkata,”Mbak cerdas sekali… jenius… gemilang. Mbak sudah sadarkan saya yang maha sesat ini.”

Barangkali, dua mbak tersebut belum pernah mendapati teman-temannya yang selama tiga tahun sekolah, ada saja yang keluar karena hamil di luar nikah. Barangkali, mereka juga belum pernah betul-betul mendapati temannya jadi pelacur. Dan barangkali, mereka belum pernah melihat bagaimana Putri Wulandari, teman saya sekelas yang berasal dari keluarga sederhana itu, diam-diam senang membersihkan tempat wudhu sekolah dan mengamalkan ilmu agama, dengan jalan menyimpan kesedihannya dan terus melucu hingga membuat orang sekitarnya bahagia. Belum lagi Nur Farida Purnamasari alias Nesa, si endel[3] ini sudah mengamalkan ilmu agama dengan jalan tidak pilih-pilih teman, dia netral berteman lintas golongan. Lalu Nungky Carlina Firgantari, si cantik berbakat menari yang tidak gengi membantu ibunya berjualan kopi. Atau bagaimana dengan Maulida Usmawati, yang begitu momong[4] semua teman, dari yang alim dan paling ndugal sekalipun.

Teman-teman SMK punya latar belakang kehidupan yang begitu kompleks. Ada masalah pergaulan, gaya hidup, ekonomi, keluarga berantakan, motif sekolah yang asal lulus kemudian menikah dan banyak lainnya. Tuntutan pemenuhan syariat beragama yang tiba-tiba disodorkan, tidak akan mengena pada mereka.. Saya sangat bisa bayangkan, bagaimana reaksi dua mbak pemateri tersebut, andai mengetahui bagaimana teman-teman sekelas saya santai saja mokel[5] ketika bulan puasa. Apa betul mereka bakal meneriaki teman-teman yang mokel? Atau mereka memilih seperti Nita Oktafiani, teman sekelas saya yang santai saja melihat teman-temannya mokel dan tetap melanjutkan puasa. Nita sendiri adalah pengurus aktif di kelas. Dia mengurusi segala hal perkara adiministrasi hingga kelas dua belas dengan sukarela. Kelas sangat terbantu dengan kehadiran Nita yang bertanggungjawab. Nita pun juga disayangi teman-teman sekelas. Perbuatan baik Nita, apa tidak juga masuk berdakwah?

Simpulan saya waktu itu cuma satu, dua mbak pemateri tersebut, kurang vitamin C dan minum susu...




[1] Anjing-anjingkan
[2] Nakal
[3] genit
[4] Mengasuh dengan sikap yang lebih dewasa daripada umur
[5] Makan sebelum waktu buka puasa

No comments: