Saat
saya kelas 12, saya iseng-iseng mengikuti diskusi eksul badan dakwah di
mushola. Pematerinya, datang dari SMA yang letaknya bersebelahan dengan SMK
saya. SMA tesebut, masuk SMA menengah. Tentu semua dapat dilihat dari tampilan
siswa-siswinya yang rapi dan sederhana. Terlihat betul bahwa mereka anak-anak hasil
seleksi. Beda dengan SMK saya yang siswa-siswinya berasal dari berbagai
kalangan.
Dua
mbak elegan yang jadi pemateri itu pun mulai bicara. Mereka sama-sama kelas dua
belas seperi saya. Sumpah… andai saya dulu lebih bisa bicara kenyataan seperti
sekarang, sudah saya asu-asuin [1]isi
materi materi mereka.
Dengan
manis dan nyelekit, salah satu dari mbak elegan tersebut menolak mentah argumen
saya soal memberi contoh langsung dalam teladan soal dakwah. Si mbak cerdas
tersebut, lebih setuju jika dakwah yang dipersempit maknanya menjadi soal tata
cara beragama semisal sholat, mesti langsung diteriakkan pada orang-orang.
Loh…
ya itu di SMA kamu, Mbak. Ini SMK. Anak-anak SMK itu heterogen. Dari yang alim
sekali, alim setengah ndugal,[2]
hingga benar-benar ndugal semua itu
ada. Dan lagi, di SMK jumlah murid banyak sekali. Tidak seperti SMA yang lebih
ketat dalam seleksi, SMK memang lebih banyak memberi kesempatan masuk sekolah
negeri pada siapa saja.
Hingga
akhir acara, saya hanya membatin si mbak pemateri yang maha tahu itu dengan
tatapan cinta. Saat mereka pulang, saya juga menyalami mereka dengan ceria,
seolah saya berkata,”Mbak cerdas sekali… jenius… gemilang. Mbak sudah sadarkan
saya yang maha sesat ini.”
Barangkali,
dua mbak tersebut belum pernah mendapati teman-temannya yang selama tiga tahun
sekolah, ada saja yang keluar karena hamil di luar nikah. Barangkali, mereka
juga belum pernah betul-betul mendapati temannya jadi pelacur. Dan barangkali,
mereka belum pernah melihat bagaimana Putri Wulandari, teman saya sekelas yang
berasal dari keluarga sederhana itu, diam-diam senang membersihkan tempat wudhu
sekolah dan mengamalkan ilmu agama, dengan jalan menyimpan kesedihannya dan
terus melucu hingga membuat orang sekitarnya bahagia. Belum lagi Nur Farida
Purnamasari alias Nesa, si endel[3]
ini sudah mengamalkan ilmu agama dengan jalan tidak pilih-pilih teman, dia
netral berteman lintas golongan. Lalu Nungky Carlina Firgantari, si cantik
berbakat menari yang tidak gengi membantu ibunya berjualan kopi. Atau bagaimana
dengan Maulida Usmawati, yang begitu momong[4]
semua teman, dari yang alim dan paling ndugal
sekalipun.
Teman-teman
SMK punya latar belakang kehidupan yang begitu kompleks. Ada masalah pergaulan, gaya hidup, ekonomi,
keluarga berantakan, motif sekolah yang asal lulus kemudian menikah dan banyak
lainnya. Tuntutan pemenuhan
syariat beragama yang tiba-tiba disodorkan, tidak akan mengena pada mereka.. Saya
sangat bisa bayangkan, bagaimana reaksi dua mbak pemateri tersebut, andai
mengetahui bagaimana teman-teman sekelas saya santai saja mokel[5]
ketika bulan puasa. Apa betul mereka bakal meneriaki teman-teman yang mokel? Atau mereka memilih seperti Nita
Oktafiani, teman sekelas saya yang santai saja melihat teman-temannya mokel dan tetap melanjutkan puasa. Nita
sendiri adalah pengurus aktif di kelas. Dia mengurusi segala hal perkara
adiministrasi hingga kelas dua belas dengan sukarela. Kelas sangat terbantu
dengan kehadiran Nita yang bertanggungjawab. Nita pun juga disayangi
teman-teman sekelas. Perbuatan baik Nita, apa tidak juga masuk berdakwah?
Simpulan
saya waktu itu cuma satu, dua mbak pemateri tersebut, kurang vitamin C dan
minum susu...
No comments:
Post a Comment