Thursday, January 2, 2020

Cerita Anak-anak Korban Perbedaan Kelas di Sekolah


Krisna dua belas tahun dan dia mengalami low vision (baca juga: Vonis Dokter Bukan Penentu Nasibku). Tapi melihat Krisna yang jauh dari kata dibully alias dirisak apalagi terkucil, membuat saya berpikir-pikir bahwa teman-teman di sekitar anak lelaki berkulit sawo matang itu masih belum tercemar standar-standar kenormalan orang dewasa. Dari nenek dan bibinya, saya jadi tahu bagaimana Krisna lebih percaya diri justru di hadapan teman-temannya. Dan teman-temannya pula, yang entah bagaimana memahami cara bicaranya yang cadel tanpa ada ejekan, mereka pula yang tetap mengajaknya bermain bola tanpa menjadikan penglihatan Krisna sebuah masalah.

Selama tiga hari hidup bersama keluarganya Krisna di kabupaten Bandung Barat, saya juga tahu bagaimana teman-temannya bersemangat menyapa terlebih dahulu dan sebaliknya ia. Ia juga yang hampir setiap hari tidak pernah kehabisan teman buat berlarian. Hal demikian justru tidak saya dapati saat seusia Krisna dan teman-temannya. Ya, semasa Sekolah Dasar. Omong-omong, sekolah saya dulu lokasinya di pusat kota.

Semasa saya kelas tiga, salah seorang teman sekelas bernama Laura berulang tahun dan hanya anak-anak non panti terpilih yang mendapatkan undangan darinya (baca juga: Laura dan Ambisi Bundanya). Kala itu, saya terpilih karena nilai akademis yang sangat baik. Ya, Laura didoktrin ibunya untuk memilih teman yang jika tidak pintar, berarti harus dari golongan menengah atas. Keluarga saya waktu itu berasal dari kalangan menengah bawah, namun akademis yang menonjol menjadikan Laura terus mendekati saya, mengupayakan pertemanan. Hal serupa dia lakukan pada teman-teman lainnya yang masuk standar pertemanan ala sang ibu. Ambisi sang ibu juga diamini Desi, bahwa ya... Laura sebenarnya hanyalah korban standar bikinan orang tuanya.

Demikian, Laura akhirnya menjadi salah satu poros kesenjangan pertemanan di SD. Punya paras standar industri, berani bicara, punya jiwa pemimpin, berasal dari keluarga menengah atas dan prestasi akademisnya melejit ketika kelas empat, membuatnya mudah diingat siapa saja. Para guru termasuk Mr. A, menceritakan betapa positifnya Laura hingga lintas kelas. Mengenai kesenjangan di angkatan kami, selengkapnya dapat dibaca di Sri Eka Fidia Ningsih dan Caranya Balas Dendam Pada Si Culas. Namun kembali saya ulas sedikit di sini, bahwa di angkatan kami golongan anak perempuan dibagi menjadi tiga; anak panti dan non panti yang masih dibagi lagi menjadi golongan anak menengah atas, golongan anak pintar, golongan pintar dan menengah atas. Pintar batasan definisinya waktu itu adalah mereka yang nilai akademisnya baik.

Lebih jelas dan pedih, kasta-kasta itu dibagi rinci seperti di bawah ini:
1. Anak kaya dan pintar
2. Anak pintar
3. Anak non panti
4. Anak panti
5. Anak kebutuhan khusus (ABK)

Jadi, jika posisimu seperti Yuni yang dari keluarga menengah meski akademisnya tidak menonjol, kamu akan tersisih namun masih selamat karena tidak bakal ditindas. Lebih sial posisinya Desi yang berasal dari keluarga menengah ditambah akademisnya menonjol. Dia terus didekati Laura dan golongan anak-anak populer hingga terpisah dari golongan anak-anak yang seperti saya (akademis saya menurun di kelas empat, baca juga Sri Bukan Anak Nakal Tapi Laura) apalagi anak-anak panti yang jelas masuk kesana karena keadaan ekonomi. Dan lagi, anak-anak ini belum mengerti cara belajar, juga tidak mendapat pendampingan belajar karena saking banyaknya penghuni panti.

Masih di sekolah kami, ada anak kebutuhan khusus bernama Icha (baca juga; Icha Ternyata Autis). Icha sendiri sebenarnya berasal dari keluarga menengah, akademisnya pun mumpuni hingga sering masuk lima belas besar. Tapi karena dia berbeda dan tidak satu pun dari kami mengetahui istilah autis, Icha jadi tersisih juga dan bahkan dijadikan hiburan untuk dirisak. Anak perempuan berkulit sawo matang itu, adalah kasta terbawah a.k.a paling blangsak dari yang blangsak jika mencatut istilah dari Twitter.

Desi yang berangkat dari keluarga tanpa standar pertemanan tertentu, menganggap Laura dan golongan anak populer memiliki niat pertemanan serupa dirinya. Di mana berteman ya berteman saja, selagi sama-sama asyik, artinya teman seterusnya. Desi sampai pada titik tidak merasa, anak-anak panti mulai berbisik dirinya berubah dari yang mau berteman dengan kalangan bawah menjadi hanya berteman dengan kalamgan atas, pula saya membatin hal serupa.

Tanpa Desi sadari, dia ditarik secara permanen bersama Laura dan golongan anak populer dengan manipulasi yang sedemikian rupa. Desi mengalami perlakuan yang berbanding terbalik dengan saya. Seperti saya ceritakan pula dalam Desi Nilamsari Si 8 Tahun: Saat Ditanya Soal Maling dan Warga yang Main Hakim Sendiri saya sempat didekati Laura di kelas tiga karena akademis yang sangat baik. Sebaliknya Desi yang waktu itu anak baru dan belum begitu bisa berbaur. Akademisnya juga biasa saja, hingga Laura tidak pernah menyambutnya hangat kala itu. Keadaan ekonomi Desi yang dari kalangan menengah, pula belum nampak. Baru ketika mulai naik kelas empat, Laura mendekati Desi berbarengan dengan akademis saya yang menurun. Kala itu, Desi mulai bisa berbaur, akademisnya meningkat drastis dan keadaan ekonominya terkuak.

Tapi selain saya, Desi dan semua anak yang telah diceritakan di atas, masih ada Rina dan Anya yang menjadi korban standar-standar bikinan orang dewasa. Rina adalah anak non panti dan berasal dari keluarga menengah bawah. Akademisnya pula tidak menonjol. Meski demikian, Rina berhasil masuk Laura dan jajaran anak populer dengan cara menjadi penindas dan gaya ‘seolah kalangan atas’ yang disesuaikannya. Anya misalnya, ketika menjadi anak baru di kelas dua, pernah tiba-tiba ditindas sampai menangis oleh Rina. Ia pula yang tanpa sebab jelas, mencubit Anya yang duduk sendirian di pojok kelas. Rina semacam menjadi senjata untuk jajaran anak populer ini. Bagi anak-anak yang dirasa tidak pantas masuk dalam kasta mereka, Rina yang turun tangan ‘membasmi'. Juga lewat Rina, mereka mendapat hiburan-hiburan penindasan tanpa perlu turun tangan langsung.

Ibu Anya sendiri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ketika putrinya itu kelas tiga. Di dalam PT pemasok tenaga kerja itu pula, ibunya mendapat perlakuan tidak adil (baca juga: Sri Eka Fidianingsih dan Caranya Balas Dendam Pada Si Culas). Hingga Anya ingin sekali masuk dalam jajaran anak-anak populer dan mendapat pengakuan, ia tidak ingin ditindas lagi. Namun yang bisa ia lakukan hanya mengekor saya yang meski bukan golongan menengah dan akademis tidak menonjol, setidaknya termasuk non panti. Anak non panti seperti saya memang tidak pernah ditindas secara langsung. Tunggu dulu, saya ingat ibunya Anya pernah masuk dalam sekolah untuk menemui putrinya dan bisik-bisik negatif soal penampilan ibunya itu dihembuskan entah oleh siapa. Yang jelas, penghembusnya adalah anak-anak perempuan dari kelas kami sendiri, kasta atas tentu saja hehe…

Segala yang terjadi di angkatan kami waktu itu, saya garis bawahi sebagai yang namanya perbedaan kelas. Ternyata, saya mengenal perbedaan kelas justru semenjak SD dan bukan dari buku-buku. Perbedaan yang nyata terjadi ini, bisa dibilang salah satunya berasal dari manipulasi Laura terhadap teman-teman sekelas yang menciptakan kasta-kasta. Laura tentu bukannya sengaja membuat kasta-kasta yang demikian. Doktrin ibunya soal memilih teman, secara otomatis menyertai pembentukan kasta. Bahwa di angkatan kami, ada yang namanya Laura; ia memiliki standar fisik sekian, etika kepada guru yang sekian, nilai akademis yang sekian, hingga dengan semua itu dia diakui keberadaanya.

Kasta-kasta ini tentu saja sebuah penyakit. Bagaimana bisa anak usia delapan tahun sebegitunya memilih teman? Dengan tendensi yang mustahil didapat sejak lahir pula. Tentu mama Laura yang menanamkan hal demikian terhadap putrinya, memiliki motif. Semestinya memang ada hal yang melukai mama Laura di masa lampau, sehingga ia jadi menularkan upaya bertahan hidup dengan kasta-kasta begitu kepada putrinya. Semua hal memiliki motif, tidak ada yang namanya terjadi dengan tiba-tiba.

Jadi intinya, jika tidak bisa memenuhi standar ekonomi Laura, penuhi standar akademis serupa saya ketika kelas satu hingga tiga. Jika tidak bisa memenuhi standar akademis, setidaknya jadi Yuni yang ekonominya menengah. Ia tersisih namun tidak ditindas. Dan jika tidak bisa memenuhi standar akademis juga ekonomi, jadilah penindas atau gaya yang setara anak-anak populer seperti Rina...

Atau jadi saya yang menyingkir, membuat keberadaan diri bahkan tidak kentara?

Atau jadi Nadiya (baca juga: Nadiya Khalilah Si Pupuk Bawang) yang berbaur dengan semua tanpa masuk satu golongan tertentu?

Atau jadi Sri si anak panti yang ditekan dan disisihkan, namun memilih melawan semua yang berlaku begitu kepadanya?

Ya, menjadi saya tidak mudah. Setiap orang butuh diakui keberadaannya sedang saya memilih menyingkir dan tidak peduli. Tidak semua orang akan tahan dengan kondisi dianggap menghilang. Keberadaanmu saja orang lain lupa, jangan mimpi mau didengarkan pendapatnya. Jadinya sih, saya hanya kumpul mereka yang senasib dan bertahan. Tentu mengenai keadaan mereka yang tersisih ini, saya tidak bisa bersuara juga. Lha, soal keberadaan saja saya dilupakan.

Tapi sebenarnya, lebih sulit lagi menjadi Nadiya dan Sri. Nadiya berasal dari kalangan menengah dan akademis bagus. Ia anak yatim. Godaan untuk bergabung dengan kasta anak-anak populer tentu kuat. Laura bahkan pernah getol mengajaknya bermain ke rumah, lantas mengajarinya motor seperti seorang sahabat sejati. Namun Nadiya justru tetap di posisi tengah dan seolah menjadi jembatan. Sikapnya sama pada tiap kasta di kelas. Posisi tengah ini justru tidak begitu diingat semua orang sebagai satu hal istimewa. Padahal, orang dewasa saja belum tentu mampu berteman baik dengan jujur pada semua golongan dan lagi tanpa kawanan.

Lain lagi dengan Sri. Tanpa jaminan ada orang tua kandung yang pasti membelanya ketika ada masalah, juga teman sesama panti yang juga ada si culas Anya, justru membuatnya berani melawan segala penindasan. Sri yang kata orang; anak panti, kotor, nakal, tidak pintar dan tidak berpunya, namun hingga lulus semua orang justru mengenangnya. Mereka mengingat nama Sri yang berani marah dan berkelahi demi membela haknya. Pikir saya, anak perempuan yang dulu sering dirisak karena gigi tonggosnya ini, adalah tokoh utama ideal dalam sebuah film. Sri adalah simbol dan praktik harapan dalam perang kelas.

Pada tulisan saya yang lain. Akan saya ceritakan bagaimana saya, Anya dan Sri ternyata satu sekolah di SMK. Juga bagaimana perkembangan cara bersikap kami dibanding semasa SD.


“Life is not fair, so get used to you.”

Patrick Star

Catatan: 
Tulisan ini ada setelah privilese menjadi trending di Twitter karena Maudy Ayunda dan sebelum privilese menjadi trending di Twitter karena Putri Tanjung.

Tapi mohon maap ea, akutuch tida ikutan marah-marah sama mbak Maudy Ayunda dan mbak Putri Tanjung akibat privilese mereka. Karena akutuch tida ingin anak dan cucuku kelak kena azab, dihujat warga Twitter karena privilese gen cerdas yang akutuch turunkan, juga privilese susah jerawatan meski nggak rutin cuci muka.
Wahai, sobat-sobat segawonku. Privilese tuch bukan hanya bab ekonomi. Kapasitas otak sampai bentuk moncong kau tuch juga bisa jadi privilese untuk anak dan keturunanmu kelak. Tak usah merasa paling blangsak dan paling berjuang deh kita tuch. Huehue.
Terpujilah ibuku yang pintar, ayahku yang cerdas dan mendiang mbah kakungku yang jenius. Privilese kapasitas otak dari beliau sekalian, lumayan buat modal hidup.

No comments: