Saya
akui, saya masih suka terpancing dengan postingan teman- teman yang kelihatan
‘keras’ dengan mengatasnamakan agama. Postingan salah satu adik tingkat lintas
kampus kemarin siang contohnya. Postingan tersebut menunjukkan betapa dia
sangat anti dengan hari valentine. Dia menyetertakan dalil juga dalam postingan
tersebut.
Saya
mengomentari postingan teman saya itu dengan penekanan kalimat ‘Kenyangkan
perutmu! Jangan nyolong!’. Kalimat ini sebenarnya adalah bentuk kritik dimana
banyak sekali orang mengurus hal- hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk
di urus.
Mereka
mengeritik seolah sudah jadi mahluk paling suci. Padahal, mereka belum pernah
merasakan bagaimana masuk dalam dunia yang mengharuskan mereka mandiri mencari
makan. Ketika mereka masuk dalam dunia tersebut, belum tentu mereka tidak jadi
orang yang lebih baik dari mahluk paling berengsek.
Saya
sebenarnya berusaha menekankan, bahwa mengenyangkan perut kelihatannya memang
sederhana, tapi dengan itu seseorang setidaknya bisa menekan kesadaran bahwa
nyolong atau mencuri tidak perlu ketika perut sudah merasa kenyang.
Kenyang
itu kebutuhan dasar. Kelihatan remeh, tapi gara- gara perkara kenyang pun,
seseorang bisa saling cakar dengan yang lain. Saya ingin mengatakan pada teman
saya itu, berusahalah dari dirinya sendiri. Dimana dia harus memiliki kesadaran
bahwa dia mesti sekolah kemudian mencari cara mencari makan yang benar. Dengan
demikian, tidak aka nada cerita seorang manusia merebut hak manusia lainnya. Ah…
cantiknya dunia kalau masing- masing orang punya kesadaran sederhana yang
paling dasar semacam ini.
Tapi,
ucapan saya yang sederhana itu tidak di tangkap dengan baik oleh teman
tersayang saya itu. Dia malah nerocos dan menghakimi bahwa saya termasuk
generasi muda yang kurang benar dan perlu di ampuni wablablabla.
Valentine
pun juga demikian. Saya tidak merayakan Valentine, tapi saya juga tidak
mengafirkan orang yang merayakan Valentine. Saya rasa banyak hal lain yang
mesti dilakukan selain woro- woro mengafirkan orang yang merayakan valentine. Saya
ingin sekolah dengan benar sebagai modal mencari makan dengan benar juga di
hari depan.
Saya
sendiri pun, kurang mengerti dimana letak perdebatan soal valentine. Selain
karena perayaan tersebut merupakan bagian dari sejarah keyakinan lain.
Tapi,
lucunya, banyak orang termasuk teman saya ini menyambungkan valentine sebagai
pemicu maksiat dan lain sebaginya sehingga valentine adalah DOSA. Lucu sekali.
Bukankah yang jadi dosa adalah perbuatan- perbuatan yang mengikuti valentine? Bukan
soal velntinenya tapi perbuatan yang kebetulan dilakukan berbarengan dengan
valentine semisal seks bebas, pesta napza dan lain sebagainya. Pendapat ini
saya tangkap dari postingan twitter yang di retweet Pak Edi, CEO Diva Press.
Saya setuju penuh dengan postingan tersebut.
Teman
saya itu mengerti dalil agaknya. Tapi sayang, kalimat sederhana dari orang
bodoh macam saya dia nyatanya tidak paham. Dia suka sekali memposting hal- hal ‘keras’
mengatasnamakan agama selain valentine. Padahal, foto profil dalam akun sosial
medianya sendiri memicu fitnah. Dia berfoto dengan bergandeng tangan dengan
seorang teman perempuan. Hanya berdua! Kalau memang teman, kenapa tidak
beramai- ramai. Sudah tahu seperti itu, dia masih juga tersinggung dengan
pendapat temannya yang lain soal ketidaksesuaian dirinya yang sangat suka
memposting sesuatu mengatasnamakan agama tapi dirinya sendiri berfoto dengan cara
demikian sehingga menimbulkan kesan dia sedang berpacaran. Padahal, berpacaran pun
menurut orang- orang yang satu golongan dengan dia mutlak hukumnya haram.
Semoga
Tuhan melindungi kamu teman…
Semoga nanti
ketika kmau masuk dunia nyata, kamu tetap ‘teguh’ semacam ini ya?
Saya
sayang kamu…
SELESAI
No comments:
Post a Comment