Friday, February 20, 2015

‘Baby Blues’ Sebuah Cerpen Wujud Kekecewaan Kepada Teman- Teman Penulis yang Asal Comot Istilah Psikologi


Baby Blues merupakan wujud kekecewaan saya kepada teman- teman yang suka sekali menyisipkan isu- isu penyakit jiwa atau unsur psikologi dalam cerita. Kenapa saya kecewa? Teman- teman penulis seringkali menggunakan isu dan unsur tersebut hanya sebagai sensasi agar orang tertarik membaca karya mereka. Bagaimana dengan isi karyanya? Mereka menjejalkan istilah- istilah penyakit jiwa atau psikologi dengan berjejalan alias memaksa. Kentara sekali kalau penulis sekadar research dari Wikipedia kemudian mengopi mentah- mentah dalam cerita. Isi ceritanya pun selalu di dominasi kisah romance dengan istilah dan pengertian penyakit jiwa yang tipis. Padahal, si penulis suka sekali menggemborkan istilah dan pengertian tersebut dalam sinopsis atau awalan cerita.
Shcizofrenia jadi salah satu istilah penyakit jiwa yang suka sekali di pakai orang dalam membuat sensasi agar cerita bikinan mereka menarik di baca orang. Lagi- lagi kebanyakan penulis menjejalkan istilah tersebut sekenanya saja. Pembaca pun akhirnya juga memhamai penyakit jiwa satu ini dengan dangkal. Setiap ada penjabaran penyakit jiwa yang lain, seseorang akan buru- buru menyatakan bahwa itu shcizofrenia. Oh… jadi semua penyakitjiwa namanya Shcizofrenia?
Sebelum Baby Blues, saya juga sempat menulis cerita bersambung berjudul Dheekinesis. Cerita ini berlatar orng- orang yang memiliki kemampuan necrokinesis. Kemampuan tersebut sebebanrnya mirip dengan pengolahan tenaga dalam yang seringkali di kaitkan dengan ilmu ghaib. Padahal, kemampuan semacam ini sebenarnya sangat masuk akal apabila di bedah menggunakan pisau logika. Dalam cerita tersebut, saya menggambarkan bagaimana dilema orang sekitar dan si pemilik kemampuan serta bagaimana orang- orang yang berusaha memanfaatkan kemampuan tersebut untuk kepentingan tertentu. Saya menyertakan romance, tentu dengan porsi secukupnya mengingat saya mengutamakan cerita seputar kemampuan khusus para tokoh. Cerita ini akan saya lanjutkan penulisannya dengan jalan cerita yang lebih utuh secepatnya.
Baby Blues pun demikian. Baby blues adalah perasaan sedih dan khawatir yang dialami seorang ibu pasca melahirkan. Seorang ibu akan terus menerus menangis. Biasanya ada perasaan khawatir akan masa depan anak hingga kebingungan karena perubahan bentuk tubuh. Gangguan ini biasanya berlangsung selama dua minggu pasca melahirkan. Gangguan ini tidak bisa di anggap remeh. Baby blues bisa berubah menjadi depresi apabila berlarut- larut. Depresi inilah yang akan bertahan selama bertahun- tahun dan bisa berimbas kekerasan pada anak. Jadi, memang tidak ada baby blues yang bertahan selama belasan tahun. Depresi yang terpicu dari baby blues yang tidak terobati itulah yang akan bercokol  selama belasan tahun.
Hal ini sudah tercermin jelas dalam dialog antar tokoh berikut ini…
Dokter mengangguk.
“Baby blues adalah gangguan emosi pada seoarng ibu setelah melahirkan. Biasanya terbentuk karena tekanan ekonomi, khawatir akan masa depan anak dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan si ibu akan terus menerus merasa sedih dan menangis. Kalau berlanjut, bisa berujung depresi, kekerasan dan kebencian terus menerus pada si anak,”
“Saya suka memukuli Jingga karena dia nakal! Dia nakal!” Martini menerobos keluar ruangan. Johan buru- buru berdiri.
“Istri saya tidak gila!”
“Bukan gila Pak… hanya depresi. Menurut data yang kami gali, istri Bapak suka melakukan kekerasan psikis maupun fisik pada putri Bapak. Lama kelamaan, hal ini bisa mengganggu juga pada jiwa putri Bapak. Saya sarankan, Ibu Martini segera mendapat terapi,”
Saya sendiri mendapat inspirasi mengenai gangguan baby blues dalam mata kuliah yang diampu oleh Bu Ellyn Sugeng. Di kelas, Bu Ellyn menerangkan mengenai salah seorang istri dari temannya yang mengalami baby blues. Gangguan ini tidak terdeteksi hingga si anak SMP dan memiliki satu adik. Adakalanya ibu ini bersikap baik pada anak- anaknya, seperti menemani tidur dan lain sebagainya. Di sisi lain, si ibu juga suka melakukan kekerasan fisik dan psikis pada anak tanpa salah yang jelas pada diri si anak. Kekerasan tersebut berupa memukul sapu dan bentakan. Untung saja suami dari ibu ini tanggap, dia langsung memeriksakan kesehatan jiwa si istri dan memotivasinya untuk melakukan terapi.
Dalam cerpen Baby Blues, saya membuat segalanya lebih dramatis. Tokoh Johan tidak mau Martini mendapat terapi. Di satu sisi, Johan sadar bahwa ada yang tidak beres dengan istrinya, di lain sisi, Johan menekankan dirinya bahwa istrinya baik- baik saja dan dia juga tersinggung dengan ucapan dokter yang tidak dia cerna sepenuhnya.
Ada juga yang berpendapat bahwa ketikaseseorang mau memeriksakan kesehatan jiwanya, artinya dia sudah bersedia mendapat terapi lanjutan. Hal ini belum tentu, banyak orang merasa tersinggung dan mengingkari kenyataan setelah mengetahui diagnosa sebenarnya. Saya ingat bagaimana sekolah saya melarang home visit bagi siswa jurusan Pekerja Sosial yang tengah praktek kerja (PSG) di sebuah lembaga terhadap klien. Hal ini dikarenakan pernah terjadi protes hebat dari orang tua klien yang di tangani siswa praktek jurusan Pekerja Sosial karena anaknya di anggap bermasalah sampai perlu di tangani. Kemungkinan, siswa pekerja sosial memang gaya bicaranya menyinggung orang tua klien yang ditangani atau bisa jadi si orang tua tidak bisa menerima kenyataan mengenai anaknya sendiri sehingga orang tua yang awalnya bersedia menerima bantuan akhirnya menentang mentah- mentah bantuan tersebut.
Kejadian ini, mirip dengan Johan yang sadar ada sesuatu yang tidak beres dengan Martini. Namun Johan akhirnya malah tersinggung dan menolak bantuan untuk terapi Martini.

SELESAI

No comments: