Tuesday, April 5, 2016

Pernikahan


Saya waktu itu masih delapan belas. Saya begitu memuja sebuah pernikahan. Bagi saya, pernikahan adalah baik.
Satu waktu, saya curhat pada mbak Elise Marselina, teman saya yang masih duduk di bangku pascasarjana jurusan PLS. Saat itu, saya terjepit di antara pria-pria yang memerlakukan saya dengan begitu baik atas dasar rasa. Pada mbak Elise, saya mengemukakan protes saya pada pria-pria itu.
“Mereka memang sangat baik pada aku, Mbak. Tapi kenapa mereka salah satunya saja tidak mengajak aku menikah? Bukankah pernikahan itu baik?”
Saya yakin, mbak Elise pasti merasa geli dengan kenaifan gadis yang usianya cukup jauh lebih muda darinya itu. Gadis delapan belas tahun yang sangat naïf soal pernikahan.
“Pernikahan memang baik, Pop.” Sahut mbak Elise.

“Lalu, kenapa mereka salah satunya saja, tidak ada yang mengajak aku menikah, Mbak? Jika salah satu dari mereka melakukan itu, pasti bakal aku pertimbangkan keberadaannya lebih dari sekarang.”
“Karena mereka sayang padamu, maka mereka tidak mengajakmu menikah.”
“Hah? Sayang bagaimana sih? Bukannya orang yang mengajak menikah saja belum tentu baik, apalagi mereka yang tidak mengajak menikah.”
“Mereka belum siap soal itu, Pop. Makanya mereka tidak berani menjanjikan pernikahan atau sejenisnya padamu. Mereka tidak ingin menyakiti kamu dengan ketidaksiapan itu. Makanya, untuk sekarang, mereka hanya berani memerlakukanmu dengan baik, bukan obral jani-janji buat menikahimu.” Pungkas mbak Elise.

Maka saya pun ngerti, saya kelewat naïf soal pernikahan waktu itu… 

2 comments:

Mizuki-Arjuneko said...

:)

tapi nanti kalau dirimu sudah masuk usia siap nikah... justru lelaki yang baik itu yang berani menghadap ke ayahmu, Pop :)

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Itu dia, Mbak... mungkin masih belum waktunya ya (: ternyata yang berani menghadap ayah pun pada kenyataannya belum tentu orang baik.

Semoga nanti kalau sudah waktunya, ada orang baik yang juga berani menghadap ayah.

Thanks, Mbak Put...