Monday, June 20, 2016

Lendunya Ratih dan Naylanya Djenar (Mengulik Tokoh Anak dalam Cerpen Dwi Ratih Ramadhany dan Djenar Maesa Ayu)

Lendu dan Uban di Kepala Emak, jadi cerpen yang paling memantik minat saya dalam kumpulan cerpen Pemilin Kematian. Cerpen tersebut pernah juga dimuat di Radar Malang, 18 Januari 2015 sebelum terkumpul dalam Pemilin Kematian, UM Press (2015).
Jangan abaikan pertemanan saya dengan Ratih secara pribadi. Dia saya anggap sebagai kakak yang begitu telaten mengoreksi EYD dalam tulisan saya, bahkan hingga memberi contoh kongkrit. Jangan abaikan juga ulasan saya yang begitu jujur dalam sudut pandang pembaca polos lagi lugu di Goodreads (Baca juga; rivew Pemilin Kematian) soal kumpulan cerpen penulis yang gaya menulisnya pernah diulas di Jawa Pos, dalam esai Tengsoe Tjahjono berjudul Realisme-Magis Cerpen Dwi Ratih Ramadhany pada 2015 lalu ini.
Setahun lewat setelah hangatnya peluncuran kumpulan cerpen Ratih, barulah saya memutuskan menerbitkan tulisan ini. Pemilin Kematian dalam bentuk resensi nyatanya tidak hanya satu. Cukup banyak orang tertarik membikin resensi atau tulisan soal Pemilin Kematian, apalagi pada
Sampul depan Pemilin Kematian.
                 Sumber: Dokumentasi pribadi
masa hangatnya tahun lalu. Ah… saya cuma ingin tulisan ini kamu perhatikan saja kok. Makanya, saya membikinnya saat Pemilin Kematian sudah setahun lewat peluncurannya.
Banyaknya orang yang berebut mengulas Pemilin Kematian, cukup membuat saya patah hati. Maka saya putuskan untuk mengintai sudut pandang mana saja yang dipergunakan para penulis resensi, esai atau tulisan jenis lainnya buat mengulik Pemilin Kematiannya Ratih.
Lepas dari pandangan subjektif, saya paling tertarik dengan Lendu dan sungguh ingin membahasnya dengan cara yang beda. Dalam pengintaian, saya menanti adakah yang membahas Lendu? Dengan sudut pandang seperti apa Lendu dibahas? Sudahkah mereka membahas Lendu seputar trauma yang dialaminya?
Cukup melegakan, ketika resensi Royyan Julian berjudul Ekofeminisme dan Demonisasi Perempuan, yang dimuat Jawa Pos, Minggu, 2 Agustus 2015, sesuai judulnya memuat cerpen-cerpen Ratih yang menggambarkan demonisasi perempuan, bahkan juga cerpen-cerpen lain dalam Pemilin Kematian yang hijau dan berbau isu lingkungan.
Barulah pembahasan Ifan Aqib dalam bedah kumpulan cerpen Pemilin Kematian yang berlangsung di Kafe Pustaka, Jumat, 28 Agustus 2015, membikin saya lebih patah hati. Ifan Aqib membahas soal trauma Lendu dalam Lendu dan Uban di Kepala Emak. Nyaris serupa dengan yang saya pikirkan. Saya berani sumpah, pikiran saya soal trauma Lendu ini tidak asal saya catut dari pikiran Ifan Aqib sebagai pembedah pada saat itu. Namun, saya pada akhirnya merasa tidak perlu memakai sumpah buat hal macam begini. Meski cuma dalam bayangan, saya jengah lihat kamu pikir saya ini gila hak cipta, yang katanya cuma milik Tuhan itu. Barangkali, yang berpikir serupa Ifan Aqib juga bukan saya saja. Hanya saja, dirinya yang kebetulan berbicara pertama lewat kursi pembedah.
Namun saya pada akhirnya cukup bersyukur, karena Ifan Aqib tidak membandingkan cerpen Ratih dengan salah satu cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul Jemari Kiri yang sama-sama mengangkat sudut pandang trauma pada seorang anak. Jadilah saya masih berkesempatan membahas kedua cerpen yang menjadikan anak sebagai pusat ceritanya ini.
Sedikit spoiler, Lendu sendiri merupakan seorang anak usia sembilan tahun yang jadi korban letusan Kelud. Trauma Lendu dimulai ketika kambing kesayangannya terpaksa disembelih akibat terdampak debu vulkanik Kelud. Semenjak saat itu, Lendu jadi terobsesi dengan warna rambut putih keabu-abuan yang mirip debu vulkanik pada bulu-bulu kambingnya, sebelum kambing itu terpaksa disembelih. Dan warna rambut seperti itu ada pada rambut emak dan orang-orang sepuh di sekelilingnya.
Membaca Lendu, akhirnya mengingatkan saya pada salah satu cerpen Djenar yang berjudul Jemari Kiri. Cerpen yang pernah dimuat di Kompas 2015 lalu ini, seperti biasa menempatkan Nayla sebagai pusat cerita.
Lagi-lagi spoiler, Nayla di awal cerita digambarkan berkonflik dengan suaminya karena pengakuan soal dirinya yang tidak lagi perawan. Ternyata, konflik yang dialaminya itu hanya mimpi dan Nayla pada nyatanya hanyalah seorang gadis kecil yang tidak beruntung karena mengalami pelecehan seksual.
Menurut netizen yang berkomentar di halaman facebook Cerpen Kompas, karya Djenar dimuat hanya karena nama besar meski jalan cerita yang ditulisnya sangat biasa. Sesungguhnya, sudah sangat terang bila Jemari Kiri tidak digarap secara sederhana meski dalam penyampaiannya nampak begitu sederhana.
Di akhir cerita, terjadi percakapan antara Nayla dan ibunya di mana ibu Nayla mengingatkannya untuk pergi ke dokter. Dari situ, tergambar jelas bila keperluan Nayla ke dokter masih terkait dengan pelecehan seksual yang dialaminya. Para netizen yang mengomentari cerpen
Tanda tangan, cap bibir dan ucapan
                penyemangat dari Ratih untuk saya.
                  Sumber: Dokumentasi pribadi.
Djenar agaknya keburu menghakimi atau barangkali memang perlu dimaklumi ketidaktahuannya, bahwa seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami trauma hebat hingga berpengaruh pada alam bawah sadar juga fisiknya. Korban bisa jadi terbayang trauma tersebut hingga dalam mimpi, bisa juga secara fisik dia tidak bisa mengendalikan organ tubuhnya sendiri hingga terus menerus mengompol. Hal inilah yang agaknya hendak diungkap Djenar melalui Jemari Kirinya yang nampak sederhana.
Begitu pula dengan Lendu. Ratih dengan apik menggambarkan betapa logika seorang anak masih begitu sederhana dalam menyikapi kejadian-kejadian traumatis di sekelilingnya. Seorang anak juga tidak bisa mendiagnosa apa sebenarnya yang terjadi dalam dirinya. Seperti Lendu yang tiba-tiba berperilaku aneh juga obsesius dan Nayla yang selalu mendapat mimpi buruk.
Bedanya, ibu Nayla lebih gegas membawa putrinya pada seorang profesional, dokter. Mengingat latar tempat yang dipergunakan memang di sebuah perkotaan. Beda dengan ibu Lendu yang berusaha mencerna sendiri apa yang dialami Lendu berikut dengan penghakiman dari warga sekitar yang memertanyakan kewarasan Lendu. Tentu hal ini juga relevan mengingat latar tempat di mana Lendu tinggal adalah di sebuah desa yang terdampak Kelud.
Stigma soal Lendu yang sudah tidak waras, agaknya sengaja digambarkan Ratih sebagai cara pandang yang masih dijunjung sebagian masyarakat hingga saat ini. Trauma yang berimbas pada perilaku aneh, sesungguhnya semua orang pasti pernah melihat bahkan mengalami, baik dirasa maupun tidak. Sayangnya, semua ini buru-buru digarisbawahi sebagai sesuatu yang anomali, gendeng alias tidak waras. Keanehan-keanehan yang seharusnya mendapat penanganan profesional seperti dokter, psikolog bahkan psikiater ini, jadi terhenti dengan pungkasan stigma gendeng.
Sebaliknya, Djenar melalui Naylanya. Menggambarkan ibu Nayla sebagai sebagian lain masyarakat yang menyadari bahwa pelecehan seksual hingga berujung trauma, yang dialami orang terdekat bukan untuk ditutupi, akan tetapi malah merupakan sesuatu yang mesti gegas ditangani profesional.
Semoga cerpen-cerpen yang mengangkat sudut pandang anak, seperti halnya ditulis oleh Ratih dan Djenar semakin menjamur. Anak-anak yang hidupnya bukan melulu dipenuhi lelehan gelembung sabun atau permainan petak umpet. Namun juga anak-anak dengan segala permasalahan, yang secara apik bisa diolah dalam cerpen dan menggugah pembaca.
Ummu Rahayu (FLP Malang), saya (tidak jelas dari komunitas mana) dan Dwi Ratih Ramadhany (UKMP UM, Pelangi Sastra Malang) di Kafe Pustaka. Sumber: Dokumentasi pribadi.

1 comment:

rm said...

Keliling gugel buat nyari refrensi penulisan cerpen malah dibawa kesini... Akhirnya baru kali ini bisa ninggalin jejak... Setelah bertahun-tahun jadi silent reader... Apa pun niatnya.. Thank's sudah ngeshare