Thursday, February 12, 2015

Saya 'Intrapersonal feat Visual'- Setiap Orang Istimewa Dalam Kecerdasan Masing- Masing

Kemarin lusa saya di sodori teman sekelas buat mengisi psikotes kecerdasan jamak. Setelah hasilnya muncul, kecerdasan saya dominan di Intrapersonal. Urutan kedua, Visual.
Seperti yang saya kutip dari penjelasan psikotes tersebut, KECERDASAN INTRAPERSONAL adalah Kemampuan memahami, menganalisa, dan merefleksikan diri sendiri, mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri, serta menyadari perasaan, keinginan, harapan, dan tujuan hidup. Profesi: Pelatih, pengajar, penulis, peneliti, konselor, psikolog, rohaniwan, entrepreneur, dsb.



Sedangkan, KECERDASAN VISUAL/ SPASIAL adalah Kemampuan berpikir 2 atau 3 dimensi, termasuk pemahaman akan bentuk dan ruang serta hubungan antar benda dalam ruangan, memiliki kepekaan akan arah atau lokasi tertentu. Profesi: Arsitek, designer, perencana tata kota, seniman, fotografer, animator, pelaut, pilot, dsb.

Begitu hasil keluar, saya langsung merefleksi diri. Refleksi diri ternyata salah satu gambaran utama seseorang memiliki kecerdaan Intrapersonal. Saya sendiri sudah sering melakukan refleksi diri tanpa tahu bahwa saya sebenarnya memiliki kecerdasan Intrapersonal.
Saya ingat waktu lulus SMP, saya memang sudah punya pandangan hidup sendiri. Saya ngeyel setengah mati pada Ibu, bahwa saya mesti masuk di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Pekerjaan Sosial (PS/Peksos yang sekarang ganti nama menjadi Perawatan Sosial).
Waktu itu, saya berpikir bahwa saya tertarik dengan dunia kejiwaan semenjak SMP. Ketertarikan itu terbentuk setelah saya mengalami pembullyan dan juga lingkungan yang tidak menerima diri saya. Jadi, saya harus masuk pada jurusan yang
berkaitan. Saya yakin saya bisa, saya cocok dan saya juga punya rencana- rencana lain setelahnya. Setelah ‘debat ilmiah’ yang cukup cantik dengan Ibu saya, saya akhirnya berhasil masuk di SMK pilihan saya tentunya dengan jurusan yang sejak awal ngeyel mesti saya ambil.
Ibu saya terus terang saja tidak terlalu srek kalau saya masuk SMK. Ibu punya kekhawatiran bahwa lulusan SMK pada kenyataannya setengah matang di dunia kerja dan tidak punya dasar untuk lolos tes perguruan tinggi. Ibu saya tidak sadar bahwa putrid semata wayang yang ada di hadapannya ini pemikirannya di dasari kecerdasan Intrapersonal. Saya sendiri waktu itu juga tidak sadar bahwa saya sebenarnya berpotensi dalam kecerdasan Intrapersonal. Tentu saja wajar bila Ibu saya awalnya sangat ragu dengan keputusan saya. Saya masih berusia 14 tahun dan masuk sekolah lanjutan dianggap juga sebagai penentu masa depan.
Sejak usia Taman Kanak- Kanak (TK), saya mulai suka menggambar. Saya tidak pernah benar- benar pintar bermain gradasi seperti teman- teman saya yang les menggambar atau melukis. Saya menggambar pada sobekan kertas atau papan tulis kapus bikinan ayah saya. Saya menggambar segala yang saya lihat atau menyoal perjalanan yang baru saya lakukan diluar rumah. Ayah mengakui bahwa gambar- gambar saya memiliki konsep. Bisa dimengerti meskipun tentunya jauh lebih buruk dari lukisan pelukis- pelukis amatiran. Gambar- gambar saya selalu menunujukkan ruang, latar dan waktu yang berbeda.
Saya benci sekali ketika saya mesti menggambar sesuai apa yang di contohkan oleh guru. Sebaliknya, teman- teman saya banyak yang kebingungan waktu guru menyuruh kami menggambar bebas.
Waktu kelas dua SD, guru saya, Bu Nurul, memakai gambar saya sebagai contoh untuk anak- anak kelas lima. Saya sangat terkesan karena Bu Nurul menyejajarkan gambar karya saya dengan teman- teman yang pandai membuat gradasi dan bahkan les menggambar. Bu Nurul seperti paham bahwa ada ‘konsep’ di dalam gambar saya. Sepenuhnya saya mengerahkan imajinasi disana. Ketika saya menggambar, saya merasa seperti bicara dengan gambar- gambar saya. Saya benar- benar menganggap bahwa dalam gedung- gedung yang saya gambar, memang ada kehidupan.
Pertengahan kelas tiga SD, saya mulai menulis. Menggambar terus saya lakukan meskipun pada saat itu saya mulai merasa bahwa menggambar tidak sepenuhnya bisa menggambarkan apa yang ada di pikiran saya. Jadilah saya menulis sebuah cerpen perdana berjudul ‘Tiga Kurcaci Kecil’. Ceritanya sangat sederhana, bercerita soal Tiga Kurcaci Kecil yang melawan Semut Jahat dengan di bantu nenek sihir baik hati. Di akhir cerita, Tiga Kurcaci Kecil berhasil mengalahkan Semut Jahat. Cerpen tersebut tidak lupa saya sertai dengan ilustrasi. Ilustrasi yang paling saya ingat dimana Tiga Kurcaci Kecil menyelinap di balik tembok untuk mengintai Semut Jahat.
Dalam penamaan karakter pun, saya memaki nama yang aneh- aneh. Nesiba, sebutan bagi Nenek Sihir Baik yang membantu Tiga Kurcaci Kecil melawan Semut Jahat. Kemudian, Nesija, sebutan bagi Nenek Sihir Jahat yang membantu Semut Jahat melawan Tiga Kurcaci Kecil. Tiap saya mengingat nama- nama ajaib ini, saya sering tertawa sendiri. Saya sudah menyingkat nama- nama aneh jadi sebutan yang menarik tidak kalah dengan mahasiswa- mahasiswa yang judul PKMnya lolos kwkwwkwk.
Saya semakin gila menggambar dan menulis waktu SMP. Sebuah novel tulisan tangan berjudul ’13 Miracle’ bercerita tentang seorang anak perempuan berusia 13 tahun bernama Felminia Fonny yang memiliki kekuatan supranatural yang dia sendiri susah untuk mengendalikannya. Tulisan itu saya buat juga ilustrasinya. Waktu itu, selain membuat ilustrasinya sendiri, saya juga bekerjasama dengan teman saya Lisa Sugiarto yang gambar karyanya saya akui jauh lebih memikat ketimbang milik saya.
Setelah sadar bahwa prestasi akademis saya sama sekali tidak terurus selama SD hingga SMP, saya memutuskan berhenti menulis dan menggambar. Saya nyatanya tidak pernah bisa sepenuhnya berhenti. Saya masih sempat menulis artikel untuk majalah sekolah dan membuat komik untuk mading sekolah sebelum benar- benar mogok menggambar dan menulis. Saya juga masih sempat menjadi asisten kecil guru seni budaya saya waktu kelas sepuluh. Bu Putri nama guru saya itu, sempat beberapa waktu menunda tekad saya saya untuk berhenti menggambar.
Saya mulai sibuk mengejar nilai- nilai akademis dan bidang Pekerjaan Sosial yang akrab dengan hubungan antar manusia, psikologi, sosial dan konseling. Saya memang makin jatuh cinta pada bidang sosial dan kejiwaan setelahnya.
Sekitar tahun 2011 saya sebenarnya juga sempat menulis beberapa cerpen dan aktif di salah satu forum kepenulisan sajak bernama Bersajak dan Melawan. Saya sejujurnya aktif sekali membuat sajak pada waktu itu. Saya bohong apabila saya benar- benar bilang bahwa saya berhenti menulis pada waktu itu.
Lepas SMK, lagi- lagi saya mesti berdebat dengan Ibu mengenai jurusan yang akan saya pilih di Universitas. Saya ngeyel masuk jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Jurusan tersebut saya rasa linear dengan jurusan Pekerjaan Sosial. Jurusan PLS
juga masih menyangkut sosial dan psikologi. Ibu saya lagi- lagi belum sadar bahwa anak usia 17 tahun yang ada di hadapannya punya kecerdasan dominan Intrapersonal. Saya sendiri masih belum menyadarinya. Yang pasti, saya mengerti sebab akibat dan juga memiliki berbagai rencana yang sesuai dengan kemampuan yang saya kenal dalam diri.
Setelah ‘debat ilmiah’ dengan Ibu, saya berhasil mengikuti tes dan masuk pada jurusan PLS. Saya benar- benar tidak salah memilih jurusan! Saya begitu menikmati dan menadapat cukup banyak kenalan.
Jelang semester 3, saya mendadak kangen untuk menulis. Saya mulai mengelola blog. Saya kembali menggambar. Semua saya lakukan setelah saya merefleksi diri bahwa saya mesti seimbang dalam bidang akademis maupun non akademis. Saya berpikir bahwa lulusan Universitas dengan IPK tinggi pasti sudah kelewat banyak. Saya harus memiliki nilai plus. Nilai plus yang jadi pembeda itu sudah saya miliki, tapi saya tinggalkan sangat lama karena dulu saya menganggap hal tersebut tidak punya dayaguna.
Ibu mulai khawatir. Saya mulai dikira ragu dengan jurusan PLS yang saya ambil. Saya juga dikiran malas mendalami dunia PLS. Ibu saya lagi- lagi belum sadar bahwa
anak usia 18 tahun yang ada di hadapannya itu, memiliki kecerdasan Intrapersonal dan Visual. Kecerdasan yang tidak di sadari dan diarahkan secara serius selama 18 tahun. Saya pun sama, belum sadar mengenai keberadaan dua kecerdasan dominan tersebut.
Semester 6. Saya mantap mengambil peminatan Management PAUD (MPAUD) di jurusan PLS. Saya tertarik dengan kejiwaan, sosial ditambah anak- anak saat itu. Saya menyadari banyak sekali pengalaman langsung yang saya alami selama proses menjadi dewasa. Ada luka- luka di masa kecil yang membuat saya tertarik mendalami dunia anak- anak dan mendekati anak- anak.
Kali ini, Ibu saya cuma mengatakan bahwa saya harus bertanggung jawab dengan pilihan saya. Tidak ada perdebatan berarti kali ini. Bukan berarti saya maupun Ibu sudah menyadari bahwa saya memiliki kecerdasan Intrapersonal dimana saya mampu memhami kelebihan dan kekurangan diri. Ini semua karena Ibu berusahan menyembunyikan kekhawatirannya ketika saya lagi- lagi ngeyel menentukan masa depan sendiri. Hingga hari ini, saya makin menikmati ilmu- ilmu mengenai parenting dan anak usia dini dalam peminatan MPAUD.
Saya barangkali hanya satu dari banyak anak- anak yang berproses tidak cukup terarah terkait kecerdasan yang sebenarnya sudah nampak waktu kecil. Saya masih cukup beruntung karena bisa membangkitkan potensi yang sebenarnya bisa saya kembangkan. Banyak sekali teman- teman saya yang sebenarnya memiliki potensi kecerdasan masing- masing. Tapi, semuanya hilang seiring usia karena tidak ada pengenalan diri baik dari lingkungan maupun diri sendiri.
Setiap anak memang istimewa…
SELESAI

Fyi, waktu tes lagi 2018, saya ternyata dominan musikal dan eksistensial juga. Tes 2018 ini aspek kecerdasannya lebih banyak dan bisa diakses lewat playstore. Kredibelitasnya serupa tes dari teman saya.

2 comments:

Mizuki-Arjuneko said...

Waaah aku jadi pingin baca cerita Nesiba Nesija dan cergam2 ama komikmu yg lain nih XD

Dulu pernah mengalami bullying ya? :( Hmm... Memang orang2 yang pernah mengalami hal buruk di masa lalu biasanya di masa kini bisa lebih peka.

Btw bagus juga dirimu berhasil meyakinkan ortumu atas pilihan2 yg kamu ambil sekarang :) Nice story XD

Sori baru membacanya sekarang :)


Thanks for tagging me a year ago XD

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Hahaha mbakPuput romantis :*

Mengakui pernah kena bullying pun butuh proses sangat lama, Mbak. Tapi dari situ, akan justru intrapersonalku terlatih (: jadi, mereka yang memerlakukanku seperti itu punya jasa besar...

Sayangnya tulisan-tulisan lamaku enggak terdokumentasi dengan baik, Mbak ):