Monday, April 4, 2016

Lukisan Wara

Dimuat di Malang Post. Minggu, 03 April 2016

Lukisan Wara[1]
                          Oleh: Poppy Trisnayanti Puspitasari
Wara menarik kemudian menghembus napasnya cepat-cepat. Hentakan napasnya yang kasar, seperti sebuah tanda, perasaan gadis delapan belas tahun itu sedang tidak cukup senang.
“Dewi, tolong ambilkan toples akrilik putih. Ada di belakang punggungmu.” Ucap bapak dengan telunjuk yang menuding ke belakang punggung Wara. Wara menggeser duduk, kemudian tangannya meraih toples yang dimaksud bapaknya itu dengan malas.
Bapak memang selalu setia memanggilnya Dewi, pun ibunya. Namun dia lebih senang dipanggil Wara, nama belakang yang menurutnya lebih maskulin dan mewakili lukisan-lukisannya yang di dominasi warna hitam, putih dan merah, seperti sebuah kegelapan dan kedukaan yang berani digagas. Nama Dewi menurutnya kelewat manis, kalem dan keperempuan-perempuanan, ketika dipakai buat mewakili lukisan-lukisannya itu. Persis seperti harapan bapak dan ibunya ketika memberinya nama depan, Dewi.
“Pak, bisakah Bapak berhenti mengirim lukisan ke Sukawati?” Wara membuka percakapan setelah bapaknya mulai memulas akrilik putih di atas kanvas.
Bapak menghentikan pulasan kuasnya beberapa detik. Sekilas dia meneliti wajah Dewinya. Ada rasa marah yang betul-betul luber dari bola mata Dewinya itu.
“Kamu sudah mengucap itu berkali-kali pada bapak.” Bapak berucap sambil tangannya kembali memulas akrilik putih ke atas kanvas.
“Dan bapak tidak pernah menjawabnya.” Wara menyahut ketus.
Bapak tersenyum tipis tanpa memandangi Wara. Dua menit kemudian, Wara disibukkan oleh tiga pengunjung remaja di lapak lukisan milik bapaknya. Tiga pengunjung itu memakai gelang sewarna yang dikaitkan di pergelangan tangan kiri mereka masing-masing. Agaknya, hal itu dilakukan buat menegaskan bahwa mereka adalah satu kelompok yang solid.
Salah seorang remaja mengulurkan selembar foto pada Wara. Foto itu berisi gambar mereka bertiga dengan latar belakang Balai Kota Malang. Wara menerima selembar foto itu dengan antusias. Lembaran foto yang diterima oleh Wara, sekaligus sebagai tanda bahwa ketiga remaja itu resmi memesan lukisan di lapak milik bapaknya.
Satu lagi pelanggan…
Wara terus menampakkan gigi-giginya dalam senyum kelewat lebar, bahkan ketika ketiga remaja itu sudah menghilang dan berganti menjadi kerumunan orang asing.
***
            Lapak lukisan milik bapak tidak memiliki atap ataupun tiang penyangga. Semua orang dapat jelas-jelas melihat, lapak milik bapak hanya memanfaatkan lahan sisa yang dipakai pedagang bakso Malang. Untuk lahan yang sedemikian kecil, bapak hanya membayar seperempat dari keseluruhan biaya retribusi.
            Bapak bersama para pedagang lainnya hanya berdagang di tempat itu semingu sekali. Tempat itu akrab disebut sebagai Pasar Minggu. Namun, pelajar dan mahasiswa yang sering lalu lalang di depan lapak bapak, lebih sering menyebut tempat itu sebagai CFD, singkatan dari Car Free Day. Car Free Day memang jadi nama resmi keluaran pemerintah kota. Sebutan itu dipergunakan untuk menyebut kisaran jalan Ijen dan Semeru yang setiap minggu dibuat steril dari kendaraan bermotor.
            Bapak sudah membuka lapak di pasar Minggu sejak Wara usianya tujuh tahun. Semenjak itu pula, Wara mulai dikenalkannya dengan kanvas, kuas, cat dan palet. Mata Wara selalu berbinar melihat alat-alat lukis milik bapak. Dia sudah merekam tiap gerakan melukis bapaknya, sejak kali pertama dia berkenalan dengan alat-alat lukis.
            Dalam kesehariannya, bapak menggarap belasan lukisan tiap bulan buat dijual pada Cak Icus. Lukisan-lukisan itu dijual bapak tanpa membubuhkan nama apalagi tanda tangannya. Cak Icus pun selalu menyamaratakan harga lukisan bapak. Tidak peduli sehalus atau serumit apapun lukisan yang bapak kerjakan, bapak akan selalu mendapat upah yang sama. Melalui Cak Icus, lukisan bapak akan diberi cap khusus sebelum dibiarkan bercampur jadi satu dalam peti kemas bersama ratusan lukisan lain hasil buruan Cak Icus, tentunya dari pelukis-pelukis yang nasibnya sekelas dengan bapak. Selanjutnya, lukisan-lukisan itu dikirim ke Pasar Seni Sukawati di Gianyar Bali.
            Wara pernah sekali menemukan lukisan bapaknya terpajang di ruang tamu guru di sekolahnya dahulu. Tentu saja, Wara hafal betul dengan polesan tangan bapaknya di atas kanvas. Cap atas nama produk Cak Icus juga jadi bukti pendukung bahwa lukisan itu memang bikinan bapaknya. Lucunya, dengan bangga guru Wara itu mengatakan bahwa lukisan yang dibelinya, merupakan hasil berburu di Pasar Seni Sukawati, asli produk Bali katanya, juga oleh-oleh yang tidak bisa didapat di tanah Jawa, di Kota Malang apalagi. Kalau sudah begitu, Wara cuma mengangguk, pura-pura mengiyakan sambil terkekeh dalam batin.
            Hati Wara sering gatal ketika melihat bapaknya yang begitu pasrah menyerahkan lukisan-lukisannya pada Cak Icus, tanpa bubuhan nama atau tanda tangan buat menunjukkan bahwa itu memang karyanya. Sudah berkali-kali, dirinya protes pada bapak soal cara menjual lukisan yang bodoh menurutnya.
            “Itu namanya tidak menghargai hak cipta, Pak.” Ucap Wara ketus satu waktu.
            “Kata ‘cipta’ itu miliknya Tuhan, Nduk. Bapak ini cuma buruh, seorang pembuat…” bapak menanggapi ucapan ketus Wara dengan begitu adem.
            “Kenapa bapak ndak coba jual sendiri saja lukisan-lukisan itu ke Sukawati?”
            Bapak cuma tersenyum sambil tangannya makin sibuk memasukkan toples-toples kecil cat ke dalam kotak kayu yang ukurannya jauh lebih besar.
Jepreted by: Mas Ardi Omah Komunitas dan Pelangi Sastra Malang
            Bukannya bapak belum pernah mencoba. Dia pernah seusia dengan Wara. Usia di mana seseorang memang kelihatan terlalu meledak dan kelewat idealis. Pada masa itu, bapak mencoba membawa dua lukisannya menyeberang ke Bali. Sampai di Gianyar, bapak tentu saja langsung menuju Pasar Seni Sukawati. Dengan semangat yang kelewat-lewat, bapak menjajakan sendiri lukisannya di Sukawati. Tentu saja, harga yang ditawarkan bapak jauh lebih mahal ketimbang lukisan lainnya yang terpajang di dalam pasar. Sebelum menentukan harga, bapak sudah menjumlahkan biaya agar dia dapat sampai di Gianyar. Beberapa kali turis domestik yang tertarik, mencoba menawar lukisan bapak dengan harga yang jauh dari standar yang dia berikan. Bapak terus menggelengkan kepalanya hingga di sore hari yang cukup terik, dia menyerahkan lukisan itu, pada seorang pemilik lapak yang cukup berbaik hati buat membeli lukisannya seharga tiket bus dan kapal untuknya kembali ke Malang.
            Itu lukisan terakhir yang dibuat bapak dengan membubuhkan nama dan tanda tangannya, tentu dengan rasa angkuh dan kebanggan penuh yang juga dia sematkan terakhir kali.
***
“Apa tahun ini, kamu akan kembali mendaftar ke Perguruan Tinggi, Dewi?” ibu memandangi Wara yang duduk tegang di kursi rotan dekat pintu.
            “Tentu saja, Bu.” Jawab Wara cepat-cepat.
            “Kamu mau ambil Seni Rupa lagi?”
            Wara mengangguk pelan. Mungkin nyaris tidak terlihat oleh ibu.
            “Dewi, ibu mohon bersikaplah realistis. Dua tahun berturut-turut, kamu sudah tidak diterima di jurusan itu. Kamu baiknya ambil keguruan saja, peminat keguruan tidak terlalu banyak. Di kemudian hari, jadilah pendidik seperti ibu.”
            “Ibu berharap aku dapat gaji rutin sebagai guru swasta di sebuah yayasan? Oh, sayangnya itu tidak bakal menjadi kepuasan batinku seperti ketika aku melukis, Bu.”
            “Lihat bapakmu yang pelukis itu. Bahkan hasilnya membuka lapak di Pasar Minggu, jika ditambah dengan bayaran rutinnya dari Cak Icus, tidak bakal cukup menghidupi kita bertiga jika…” ibu belum selesai berucap, namun Wara buru-buru berdiri dan memotong ucapan ibunya.
            “… jika tidak ditambah dengan gaji bulanan ibu sebagai guru.”
            Ibu mendelik dengan napasnya yang berkejaran. Wara kemudian melenggang menuju kamar buat menyelesaikan lukisannya yang belum selesai.
***
            Ini tahun ketiga buat Wara memiliki kesempatan masuk perguruan tinggi. Dia sudah ditolak dua kali berturut-turut ketika masuk jurusan Seni Rupa. Wara tidak mau memasuki jurusan yang selain Seni Rupa. Meski artinya, dua tahun waktu luangnya hanya diisi aktivitas melukis buat membantu bapak sehari-hari dan menjaga lapak kecil di Pasar Minggu tiap akhir pekan. Menurut Wara, itulah kepuasan batin yang dia cari.
            Namun, soal lukisan bapaknya yang dikirim ke Sukawati, Wara masih terus bertanya-tanya…
“Pak, bisakah Bapak berhenti mengirim lukisan ke Sukawati?”
Bapak menggeleng pelan. Mungkin nyaris tidak terlihat oleh Wara. Soal melukis, bapak tidak ingin putrinya itu hilang kepercayaan. Biar cerita Sukawati dan lukisannya itu dia simpan sendiri. Putrinya mesti hidup dari hal yang dia senangi, bukan cuma perkara bekerja dan dapat memenuhi kebutuhannya buat makan, seperti istrinya…
Beda dengan bapak. Ibu terus-menerus berusaha mendikte Wara buat masuk keguruan saja di Perguruan Tinggi. Putrinya itu, tidak boleh hidup berdasarkan apa yang dia senangi. Dia harus memiliki pegangan pasti buat memenuhi keutuhannya makan di kemudian hari. Gaji rutin sebagai seorang guru, ibu pikir sebagai keputusan terbaik buat Wara, biar putrinya itu tidak hidup seperti suaminya…
Namun, pagi itu nyatanya jadi pagi yang benar-benar berbeda di Pasar Minggu. Serangan stroke yang ibu alami, dikabarkan seorang tetangga melalui ponsel milik bapak. Muka Wara menegang, pun bapak yang biasanya selalu menanggapi segala hal dengan adem.
***
Wara memutar-mutar kursor mouse komputer di Warung Internet yang mejanya ia sewa. Mukanya tegang persis seperti berita serangan stroke ibunya pertama kali datang. Tapi kali ini, bukan cuma soal serangan stroke, bukan juga soal dirinya yang sekarang ikut bekerja pada Cak Icus buat menutup biaya sehari-hari setelah ibunya berhenti bekerja, semua juga soal kesempatannya masuk Perguruan Tinggi di tahun ketiganya setelah lulus SMK.
Pendaftaran sebelum tes tulis, dilakukan secara online. Wara berulang kali menggeser duduknya dengan rasa gelisah yang makin terisi penuh. Dia tinggal memilih pilihan jurusan yang diinginkannya tahun ini. Di tahun-tahun sebelumnya, Wara ngeyel hanya memilih Seni Rupa sebagai pilihan jurusannya. Dia tidak memikirkan pilihan alternatif, yang dia mau hanya Seni Rupa. Tapi, tahun ini berbeda…
Wara kali ini menggerakkan kursor dengan mantap. Dia tahu mesti memutuskan apa…
***




[1] Untuk sahabatku, Windha Dewi Wara. Kenyangkan perutmu dan teruslah melukis.

2 comments:

Taqin said...

Aku juga punya salah seorang guru namanya Pak Takim. Berbeda dengan Wara maupun bapaknya, beliau lebih suka menandai lukisannya dengan tanda tangannya sendiri.
Kelihatannya tradisi salin Cap antar pelukis memang sudah menjamur ya mbak. pernah Pak Takim menceritakan padaku tentang berjualan lukisan yang hanya tanda tangannya saja yang dibuat, lukisannya beli ke orang lain agar lebih cepat. Biasanya dilakukan oleh seorang pelukis yang telah memiliki nama baik. Namun kebanyakan orang yang berjiwa seniman lebih memilih untuk memberi cap asli karena mereka tidak bertujuan untuk uang.

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Sayangnya, semoua orang sangat butuh makan termasuk seniman pun (:

Iya, itu juga cerita-cerita yang suka beredar di kalangan teman-teman memang. Pelukis besar punya 'buruh' sendiri. Seru dibahas-bahasnya ini xD kamu ketik kek jadi apa gitu, Qin...