Analogila
sering kelihatan marah pada banyak hal. Termasuk malam itu, dia mengumpati
tukang masak cap jay yang menurutnya kelewat lama memasak pesanan. Beberapa
kali, dia seperti hampir berdiri buat benar-benar mengumpati si tukang masak.
Dia
beda dengan sama. Saya terbiasa membikin semua hal menyebalkan jadi berkah
dalam versi saya. Seperti tukang masak yang terlalu lama memasak pesanan kami,
saya membikinnya jadi berkah malam itu.
Saya
merasa, waktu malam itu seperti memuai jadi lebih panjang dan luas bagi saya
dan Analogila. Kami bisa lebih lama duduk berdua dan mengobrol di luar kampus
atau lingkungan-lingkungan keseharian kami yang biasanya.
Kami
sudah empat tahun bersama-sama. Analogila menjalankan penelitian skripsinya
dengan meminjam sepatu milik ayah saya. Sedang saya masih menjalankan
pikiran-pikiran saya yang tidak kunjung mau reda apalagi berhenti.
Soal
sepatu yang dipinjamnya dari ayah saya. Analogila seperti mengisi ruang
keberadaan saudara lelaki saya yang tidak pernah lahir apalagi ada, anak lelaki
ayah.
“Kita
mesti ketemu lagi suatu saat nanti. Mungkin… lima tahun lagi.” Ucap Analogila
di tengah obrolan kami.
“Buat
apa?” tanya saya.
“Saya
ingin tahu, kamu sudah seperti apa. Dan kamu juga mesti tahu, saya sudah
seperti apa.” Pungkasnya sambil mengulurkan jari keliking. Kami saling
mengaitkan jari kelingking sebagi wujud perjanjian. Perjanjian yang bisa jadi
lebih lekat ketimbang MOU buat PKM milikmu.
“Janji.”
Ucap saya.
“Janji.”
Balasnya.
No comments:
Post a Comment