Dimuat di Malang Post, Minggu, 24 Juli 2016
Wahid
menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Jari-jarinya sibuk memencet sembarang
angka di remot televisi yang tengah ia genggam.
“Kopinya,
Mas…” Sari, istrinya itu membikin lamunan Wahid hampir buyar. Senyum berusaha
diulas Wahid ketika melihat Sari meletakkan segelas kopi di hadapannya.
“Pikirkan
tawaran mas Maul, Mas…” Sambung Sari ketika melihat suaminya itu tatapannya
makin kosong, saat melihat berita kemacetan mudik di salah satu stasiun
televisi.
Sari
bukannya bisa membaca pikiran suaminya. Hanya saja obrolan soal mudik, memang
jadi topik utama di rumah kontrakan mereka bahkan jauh sebelum bulan puasa
tiba. Jadilah dirinya yang seolah bisa membaca kegelisahan Wahid, saat suaminya
itu menatap kosong berita mudik di televisi. Suaminya lagi-lagi hanya berusaha
mengulas senyum, ketika Sari berusaha mengemukakan pendapatnya. Meski dari raut
wajahnya, tampak otot-otot yang menegang.
***
Lepas
Aliyah, Wahid memutuskan untuk mengikuti jejak kakak lelakinya, menyeberang
dari Madura ke Jawa dan coba mencari penghidupan di kota Malang. Maulana,
kakanya itu, juga mulai mencari pengidupan di Malang lepas Aliyah. Hingga Wahid
lulus sembilan tahun kemudian, Maulana tetap setia menjadi tenaga kebersihan
kota.
Seragam
tenaga kebersihan yang berwarna kuning, membuat pasukan tenaga kebersihan
mendapat julukan pasukan kuning. Orang-orang yang mencari keberadaan kontrakan Maulana
pun, tinggal menyebut profesinya sebagai pasukan kuning. Warga kampung
tempatnya mengontrak akan dengan mudah menunjukkan rumah Maulana.
Beberapa
tahun terakhir, setelah Maulana berstatus PNS dengan profesinya sebagai pasukan
kuning, dirinya selalu mudik bersama istri dan kedua anaknya dengan membawa
banyak oleh-oleh dan uang. Uang dan oleh-oleh itu selalu cukup ketika dibagikan
kepada banyak kerabat yang tempat tinggalnya kebetulan nyaris berdekatan dengan
rumah emmaknya di Madura. Hal inilah yang membuat emmaknya setuju, jika Wahid
mesti mengikuti jejaknya lepas dari Aliyah.
Wahid
nyatanya hanya bertahan selama dua tahun, setelah mengikuti jejak kakaknya
menjadi pasukan kuning. Dirinya kemudian mecoba menjadi guru di sekolah swasta
milik yayasan. Bagi Wahid, tidak ada rasa senang dan kebanggaan yang dia dapat
ketika mengikuti jejak profesi kakaknya. Semasa Aliyah, dia mengajar ngaji di
langgar dekat rumahnya. Dia menyenangi pekerjaan itu dan coba mencari rasa senang
itu kembali dengan menjadi guru di sebuah sekolah swasta.
Hingga
beberapa tahun kemudian, emmaknya tetap menentang keputusan Wahid buat menjadi
guru. Bagi emmak, rasa bangga dan senang tidak bisa dikalahkan oleh kebutuhan
perut. Wahid mesti hidup aman. Meski Wahid akhirnya mendapat sokongan separuh
biaya untuknya melanjutkan kuliah di universitas swasta dari yayasan tempatnya
bekerja sambil tetap menjadi guru, emmak tidak kunjung setuju.
Tahun
ini, menjadi tahun ketiga Wahid tidak pulang ke Madura. Ini juga menjadi tahun
ketiga pernikahan dan tahun pertama usia putrinya. Wahid sangat sibuk memenuhi
separuh biaya kuliahnya juga kebutuhan sehari-hari. Setiap lebaran, dia hanya
menyapa emmaknya lewat telepon atau menitipkan beberapa oleh-oleh buat emmak
melalui sang kakak.
***
“Kalau
kamu mau pulang, ikut kakak saja. Kalau cuma satu tiket, kakak bisa belikan
kamu,” Ucap Maulana pada Wahid yang sibuk meniup kepulan asap yang melayang di
atas cangkir kopinya.
Mendengar
ucapan Maulana, Sari jadi tertegun. Dirinya yang tengah menggendong sang putri
sembari menyuapinya, tanpa terasa berhenti bergerak dan mengabaikan rengekan
putrinya itu yang minta kembali disuapi.
“Bagaimana,
Hid? Emmak sudah kangen betul dengan kamu.” Lanjut Maulana.
Beberapa
saat Wahid menoleh kemudian saling pandang dengan Sari. Sari kemudian kembali
menunduk sembari menekuni nasi di atas piring yang hendak dia suap pada
putrinya.
Wahid
selanjutnya memandangi dua tumpuk kardus yang ada di samping kursi tempat
kakaknya duduk. Kardus-kardus itu berisi keripik tempe. Dua dari sekian banyak
kardus yang dijadikan buah tangan oleh kakaknya itu ketika pulang ke kampung
halaman.
Lelaki
berambut pelontos itu tentu ingin pulang. Sangat ingin. Namun, dia tidak kunjung
menjawab tawaran kakaknya itu. Matanya terus menatap kosong pada dua kardus
bakal oleh-oleh milik kakaknya. Hingga akhrinya, Maulana mohon diri untuk
pulang dan meminta Wahid menelepon dirinya, apapun yang nanti dia putuskan.
Maulana
menata dua kardus yang dia bawa di belakang motor, diiringi tatapan kosong
adiknya. Tatapan itu terus berlangsung hingga Maulana menghilang bersama
motornya di mulut gang.
Sari
tiba-tiba menepuk pundak Wahid. Mereka saling tatap beberapa saat.
“Terima
saja, Mas. Aku dan Putri tidak apa-apa di rumah berdua saja. Emmak butuh ketemu
dengan kamu. Hampir lima tahun kamu tidak pulang,” ucap Sari.
Wahid
diam kemudian menunduk dan menggeleng lemah.
“Ada
apa? Apa soal oleh-oleh?” lanjut Sari menebak-nebak.
Suaminya
hanya menunduk tanpa bergerak.
***
Semasa
Aliyah, Wahid selalu menanti-nanti kakaknya yang pulang dengan membawa
oleh-oleh. Setiap mobil sewaan kakaknya itu mulai masuk dalam gang, anak-anak
kecil yang masih merupakan kerabat jauhnya berlarian sambil berteriak soal
kedatangan kakaknya.
Orang
tua anak-anak itu kemudian berkerumun di beranda rumah emmaknya. Mereka duduk
sembari berlasan ingin mengobrol.
Sesampainya
Maulana di depan rumah, Wahid segera membantu mengeluarkan barang-barang bawaan
dari dalam mobil. Sebentar kemudian, ipar Wahid membuka beberapa kardus yang
kemudian dia bagikan pada siapa saja yang sedang duduk di beranda rumah
mertuanya.
Di
hari berikutnya, orang-orang yang bergerombol di depan rumah emmak semakin
banyak. Beberapa dari mereka sebenarnya sudah datang di hari sebelumnya. Namun,
mereka tetap memenuhi beranda rumah emmak, dengan alasan menanyakan bagaimana
kehidupan Maulana di Jawa.
Dari
orang-orang yang mendapat oleh-oleh bawaan Maulana dari Malang, tersiar berita
kemakmuran hidupnya. Belum lagi anak-anak yang selalu mendapat amplop kecil
berisi uang, meski jumlahnya tidak seberapa, makin menguatkan berita makmurnya
hidup Maulana.
Sempat
salah seorang sepupu Wahid yang juga sudah beristri dan bekerja sebagi guru swasta
di Malang, pulang tanpa anak, istri serta oleh-oleh yang cukup dibagikan untuk
para kerabat. Berita simpang siur soal hidup sepupunya yang terlunta-lunta dan
kehidupan rumah tangga yang tidak akur langsung tersiar.
Semenjak
saat itu, emmak semakin giat mendorong Wahid mengikuti jejak kakaknya sebagai
pasukan kuning lepas Aliyah. Padahal, Wahid memimpikan dirinya bisa melanjutkan
kuliah dan menjadi seorang guru. Sejalan dengan kesenangannya ketika mengajar
anak-anak mengaji di langgar dekat rumahnya.
Semasa
dirinya menjadi guru mengaji sebelum lulus Aliyah, orang tua para siswa
membayar dirinya dengan hasil pertanian atau sekadar semangkuk makanan bikinan
rumah. Kebaikan Wahid sebagai guru mengaji pun tersiar. Ada rasa senang dan
kebanggaan yang dia dapat meski tidak pernah mendapat uang.
Kenyataan
bahwa kakaknya sesungguhnya tidak hidup berlebih sebagai pasukan kuning, juga
makin membuat Wahid mantap memilih pilihan profesinya sendiri. Selama masa awal
tinggalnya di Malang, Wahid selama setahun lebih menumpang di rumah kakaknya.
Dia
mendapati kakak dan iparnya yang makan alakadarnya dan hidup mengontrak di gang
sempit kawasan Tanjung, demi menyimpan uang untuk modal membeli oleh-oleh dan
membagi uang kecil ketika pulang kampung. Kawasan itu memiliki jalan yang
terlalu menukik, selain sempit. Wahid mesti hati-hati betul ketika menaikkan
motor menuju rumah kakaknya di masa itu. Meski jalanan di kawasan itu tidak
ideal, bukan berarti biaya mengontrak di sana tergolong murah, mengingat lokasi
yang sangat dekat dengan pusat kota dan juga dekat dengan lokasi kerja Maulana.
***
Wahid
duduk di kursi bambu depan rumahnya sambil meniup kopi panas bikinan istrinya,
Sari.
“Pikirkan tawaran mas Maul, Mas…”
Ucapan
Sari bersahutan dalam kupingnya.
Beberapa
saat kemudian muncul seorang tetangga yang tinggal di balik rumah kontrakan
Wahid. Dengan hati-hati, tetangga itu menaiki motornya tanpa menyalakan mesin. Gang
di depan rumah Wahid memang hanya cukup dimasuki satu motor. Semenjak tinggal
terpisah dari kakaknya, Wahid memilih mengontrak di kawasan Sukun, dekat kali
Brantas. Selain jalanan yang sempit, di kawasan itu aliran-aliran kali ditutupi
oleh semen demi memerluas badan jalan. Bau sampah bercampur air yang tersendat
di balik semen jadi konsumsi sehari-hari.
Wahid
memandangi tas besar yang ada di boncengan motor tetangganya itu. Pandangannya
kemudian beralih pada satu kardus kecil berisi keripik tempe yang diikat di
atas tas besar .
“Mudik
ke Bantul, Mas? Anak istri tidak ikut?” tanya Wahid, setelah si tetangga
mengangguk sopan untuk menyapanya.
Tetangga
itu mengehentikan motornya dan berusaha tersenyum meski berat.
“Tahun
ini tidak, Mas. Toko saya sedang sepi. Saya beli oleh-oleh pun hanya bisa
alakadarnya tahun ini. Tapi ndak apa-apa,
saya butuh ketemu dengan emak, bukannya butuh yang lain-lain.” Jelas tetangga
itu sambil kembali mengangguk sopan dan menggelindingkan roda motornya.
Wahid
terpaku. Sebentar kemudian, dia merogoh ponsel dalam saku celana pendeknya. Dia
memencet nomor Maulana, kakaknya.
“Kakak…
tiket yang satu lagi biar buat aku saja.” Ucap Wahid buru-buru setelah
mendengar sapaan salam Maulana di telepon.
No comments:
Post a Comment