Monday, July 25, 2016

Mudik

Dimuat di Malang Post, Minggu, 24 Juli 2016

Wahid menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Jari-jarinya sibuk memencet sembarang angka di remot televisi yang tengah ia genggam.
“Kopinya, Mas…” Sari, istrinya itu membikin lamunan Wahid hampir buyar. Senyum berusaha diulas Wahid ketika melihat Sari meletakkan segelas kopi di hadapannya.
“Pikirkan tawaran mas Maul, Mas…” Sambung Sari ketika melihat suaminya itu tatapannya makin kosong, saat melihat berita kemacetan mudik di salah satu stasiun televisi.
Sari bukannya bisa membaca pikiran suaminya. Hanya saja obrolan soal mudik, memang jadi topik utama di rumah kontrakan mereka bahkan jauh sebelum bulan puasa tiba. Jadilah dirinya yang seolah bisa membaca kegelisahan Wahid, saat suaminya itu menatap kosong berita mudik di televisi. Suaminya lagi-lagi hanya berusaha mengulas senyum, ketika Sari berusaha mengemukakan pendapatnya. Meski dari raut wajahnya, tampak otot-otot yang menegang.
***
Lepas Aliyah, Wahid memutuskan untuk mengikuti jejak kakak lelakinya, menyeberang dari Madura ke Jawa dan coba mencari penghidupan di kota Malang. Maulana, kakanya itu, juga mulai mencari pengidupan di Malang lepas Aliyah. Hingga Wahid lulus sembilan tahun kemudian, Maulana tetap setia menjadi tenaga kebersihan kota.
Seragam tenaga kebersihan yang berwarna kuning, membuat pasukan tenaga kebersihan mendapat julukan pasukan kuning. Orang-orang yang mencari keberadaan kontrakan Maulana pun, tinggal menyebut profesinya sebagai pasukan kuning. Warga kampung tempatnya mengontrak akan dengan mudah menunjukkan rumah Maulana.
Beberapa tahun terakhir, setelah Maulana berstatus PNS dengan profesinya sebagai pasukan kuning, dirinya selalu mudik bersama istri dan kedua anaknya dengan membawa banyak oleh-oleh dan uang. Uang dan oleh-oleh itu selalu cukup ketika dibagikan kepada banyak kerabat yang tempat tinggalnya kebetulan nyaris berdekatan dengan rumah emmaknya di Madura. Hal inilah yang membuat emmaknya setuju, jika Wahid mesti mengikuti jejaknya lepas dari Aliyah.
Wahid nyatanya hanya bertahan selama dua tahun, setelah mengikuti jejak kakaknya menjadi pasukan kuning. Dirinya kemudian mecoba menjadi guru di sekolah swasta milik yayasan. Bagi Wahid, tidak ada rasa senang dan kebanggaan yang dia dapat ketika mengikuti jejak profesi kakaknya. Semasa Aliyah, dia mengajar ngaji di langgar dekat rumahnya. Dia menyenangi pekerjaan itu dan coba mencari rasa senang itu kembali dengan menjadi guru di sebuah sekolah swasta.
Hingga beberapa tahun kemudian, emmaknya tetap menentang keputusan Wahid buat menjadi guru. Bagi emmak, rasa bangga dan senang tidak bisa dikalahkan oleh kebutuhan perut. Wahid mesti hidup aman. Meski Wahid akhirnya mendapat sokongan separuh biaya untuknya melanjutkan kuliah di universitas swasta dari yayasan tempatnya bekerja sambil tetap menjadi guru, emmak tidak kunjung setuju.
Tahun ini, menjadi tahun ketiga Wahid tidak pulang ke Madura. Ini juga menjadi tahun ketiga pernikahan dan tahun pertama usia putrinya. Wahid sangat sibuk memenuhi separuh biaya kuliahnya juga kebutuhan sehari-hari. Setiap lebaran, dia hanya menyapa emmaknya lewat telepon atau menitipkan beberapa oleh-oleh buat emmak melalui sang kakak.
***
“Kalau kamu mau pulang, ikut kakak saja. Kalau cuma satu tiket, kakak bisa belikan kamu,” Ucap Maulana pada Wahid yang sibuk meniup kepulan asap yang melayang di atas cangkir kopinya.
Mendengar ucapan Maulana, Sari jadi tertegun. Dirinya yang tengah menggendong sang putri sembari menyuapinya, tanpa terasa berhenti bergerak dan mengabaikan rengekan putrinya itu yang minta kembali disuapi.
“Bagaimana, Hid? Emmak sudah kangen betul dengan kamu.” Lanjut Maulana.
Beberapa saat Wahid menoleh kemudian saling pandang dengan Sari. Sari kemudian kembali menunduk sembari menekuni nasi di atas piring yang hendak dia suap pada putrinya.
Wahid selanjutnya memandangi dua tumpuk kardus yang ada di samping kursi tempat kakaknya duduk. Kardus-kardus itu berisi keripik tempe. Dua dari sekian banyak kardus yang dijadikan buah tangan oleh kakaknya itu ketika pulang ke kampung halaman.
Lelaki berambut pelontos itu tentu ingin pulang. Sangat ingin. Namun, dia tidak kunjung menjawab tawaran kakaknya itu. Matanya terus menatap kosong pada dua kardus bakal oleh-oleh milik kakaknya. Hingga akhrinya, Maulana mohon diri untuk pulang dan meminta Wahid menelepon dirinya, apapun yang nanti dia putuskan.
Maulana menata dua kardus yang dia bawa di belakang motor, diiringi tatapan kosong adiknya. Tatapan itu terus berlangsung hingga Maulana menghilang bersama motornya di mulut gang.
Sari tiba-tiba menepuk pundak Wahid. Mereka saling tatap beberapa saat.
“Terima saja, Mas. Aku dan Putri tidak apa-apa di rumah berdua saja. Emmak butuh ketemu dengan kamu. Hampir lima tahun kamu tidak pulang,” ucap Sari.
Wahid diam kemudian menunduk dan menggeleng lemah.
“Ada apa? Apa soal oleh-oleh?” lanjut Sari menebak-nebak.
Suaminya hanya menunduk tanpa bergerak.
***
Semasa Aliyah, Wahid selalu menanti-nanti kakaknya yang pulang dengan membawa oleh-oleh. Setiap mobil sewaan kakaknya itu mulai masuk dalam gang, anak-anak kecil yang masih merupakan kerabat jauhnya berlarian sambil berteriak soal kedatangan kakaknya.
Orang tua anak-anak itu kemudian berkerumun di beranda rumah emmaknya. Mereka duduk sembari berlasan ingin mengobrol.
Sesampainya Maulana di depan rumah, Wahid segera membantu mengeluarkan barang-barang bawaan dari dalam mobil. Sebentar kemudian, ipar Wahid membuka beberapa kardus yang kemudian dia bagikan pada siapa saja yang sedang duduk di beranda rumah mertuanya.
Di hari berikutnya, orang-orang yang bergerombol di depan rumah emmak semakin banyak. Beberapa dari mereka sebenarnya sudah datang di hari sebelumnya. Namun, mereka tetap memenuhi beranda rumah emmak, dengan alasan menanyakan bagaimana kehidupan Maulana di Jawa.
Dari orang-orang yang mendapat oleh-oleh bawaan Maulana dari Malang, tersiar berita kemakmuran hidupnya. Belum lagi anak-anak yang selalu mendapat amplop kecil berisi uang, meski jumlahnya tidak seberapa, makin menguatkan berita makmurnya hidup Maulana.
Sempat salah seorang sepupu Wahid yang juga sudah beristri dan bekerja sebagi guru swasta di Malang, pulang tanpa anak, istri serta oleh-oleh yang cukup dibagikan untuk para kerabat. Berita simpang siur soal hidup sepupunya yang terlunta-lunta dan kehidupan rumah tangga yang tidak akur langsung tersiar.
Semenjak saat itu, emmak semakin giat mendorong Wahid mengikuti jejak kakaknya sebagai pasukan kuning lepas Aliyah. Padahal, Wahid memimpikan dirinya bisa melanjutkan kuliah dan menjadi seorang guru. Sejalan dengan kesenangannya ketika mengajar anak-anak mengaji di langgar dekat rumahnya.
Semasa dirinya menjadi guru mengaji sebelum lulus Aliyah, orang tua para siswa membayar dirinya dengan hasil pertanian atau sekadar semangkuk makanan bikinan rumah. Kebaikan Wahid sebagai guru mengaji pun tersiar. Ada rasa senang dan kebanggaan yang dia dapat meski tidak pernah mendapat uang.
Kenyataan bahwa kakaknya sesungguhnya tidak hidup berlebih sebagai pasukan kuning, juga makin membuat Wahid mantap memilih pilihan profesinya sendiri. Selama masa awal tinggalnya di Malang, Wahid selama setahun lebih menumpang di rumah kakaknya.
Dia mendapati kakak dan iparnya yang makan alakadarnya dan hidup mengontrak di gang sempit kawasan Tanjung, demi menyimpan uang untuk modal membeli oleh-oleh dan membagi uang kecil ketika pulang kampung. Kawasan itu memiliki jalan yang terlalu menukik, selain sempit. Wahid mesti hati-hati betul ketika menaikkan motor menuju rumah kakaknya di masa itu. Meski jalanan di kawasan itu tidak ideal, bukan berarti biaya mengontrak di sana tergolong murah, mengingat lokasi yang sangat dekat dengan pusat kota dan juga dekat dengan lokasi kerja Maulana.
***
Wahid duduk di kursi bambu depan rumahnya sambil meniup kopi panas bikinan istrinya, Sari.
“Pikirkan tawaran mas Maul, Mas…”
Ucapan Sari bersahutan dalam kupingnya.
Beberapa saat kemudian muncul seorang tetangga yang tinggal di balik rumah kontrakan Wahid. Dengan hati-hati, tetangga itu menaiki motornya tanpa menyalakan mesin. Gang di depan rumah Wahid memang hanya cukup dimasuki satu motor. Semenjak tinggal terpisah dari kakaknya, Wahid memilih mengontrak di kawasan Sukun, dekat kali Brantas. Selain jalanan yang sempit, di kawasan itu aliran-aliran kali ditutupi oleh semen demi memerluas badan jalan. Bau sampah bercampur air yang tersendat di balik semen jadi konsumsi sehari-hari.
Wahid memandangi tas besar yang ada di boncengan motor tetangganya itu. Pandangannya kemudian beralih pada satu kardus kecil berisi keripik tempe yang diikat di atas tas besar .
“Mudik ke Bantul, Mas? Anak istri tidak ikut?” tanya Wahid, setelah si tetangga mengangguk sopan untuk menyapanya.
Tetangga itu mengehentikan motornya dan berusaha tersenyum meski berat.
“Tahun ini tidak, Mas. Toko saya sedang sepi. Saya beli oleh-oleh pun hanya bisa alakadarnya tahun ini. Tapi ndak apa-apa, saya butuh ketemu dengan emak, bukannya butuh yang lain-lain.” Jelas tetangga itu sambil kembali mengangguk sopan dan menggelindingkan roda motornya.
Wahid terpaku. Sebentar kemudian, dia merogoh ponsel dalam saku celana pendeknya. Dia memencet nomor Maulana, kakaknya.
“Kakak… tiket yang satu lagi biar buat aku saja.” Ucap Wahid buru-buru setelah mendengar sapaan salam Maulana di telepon.

No comments: