Thursday, July 28, 2016

Saya Ternyata (Bukan) Siswi Bodoh, Pak Guru

Sumber: Gugel

Beda cerdas dan pintar
Kemarin, saya bersama dua teman pergi ke ulang tahun Kafe Pustaka yang pertama. Kami mengobrol ngalor ngidul sambil menikmati sajian di atas panggung.
Obrolan kami pada akhirnya berujung pada ucapan Riza, salah satu teman yang duduk bersama saya waktu itu, soal beda cerdas dengan pintar. Jika kamu sering mendatangi acara musik yang diadakan Opium FIP, bisa jadi kamu sudah familiar dengan cowok gitaris bernama lengkap Riza Ilmana Harir, yang potongan rambutnya tidak pernah jelas itu.
“Pintar itu, soal bagaimana belajar dari pengalaman. Kalau cerdas, itu soal logika.” Ucap Riza soal beda cerdas dan pintar.
Belajar dari pengalaman yang dimaksud Riza, di sini saya pahami; misalnya, kamu membaca buku IPS, IPA dan bahasa Indonesia. Maka kamu bakal menghapal segala isi yang ada di sana. Isi kepalamu akan sama persis seperti buku IPS, IPA dan bahasa Indonesia tadi. Ketika ujian, kamu bakal mendapat nilai yang sangat baik, karena soal-soal dalam ujian memang menguji kepintaranmu merekam apa yang kamu baca.
Soal cerdas memang beda lagi. Riza mencontohkan senior kami yang juga alumni fakultas yang sama, mas Rendra Fatrisna Kurniawan. Mas Renda yang dalam versi Riza memang kaya bacaan namun juga menyertakan logika dalam bacaan-bacaannya. Logika di sini, saya pahami sebagai cara memahami dan mengembangkan apa-apa yang dipahami hingga menjadi sesuatu hal yang baru.
Sumber: Gugel

Saya dianggap bodoh saat SMP
Sewaktu kelas delapan, saya pernah mendapat nilai dua dalam ulangan harian sejarah. Saya sangat ingat ketika ibu guru sejarah memanggil saya ke depan kelas. Wajahnya kelihatan prihatin, berduka dan seperti diburu kiamat kecil waktu mengajak saya bicara.
Beliau bicara panjang lebar sedang sejujurnya konsentrasi saya pindah pada gambar manga yang belum saya selesaikan. Ucapan beliau yang paling saya ingat,”Kamu apa tidak belajar, Pop?”
Kamu tahu? Pertanyaan-pertanyaan dalam ulangan harian itu seputar tahun kejadian, isi perjanjian dan bagaimana VOC pergi dari Indonesia. Semua saya ingat memang ada dalam LKS. Namun saya kesusahan buat mencerna semuanya, hinga saya akhirnya hanya menyentuh LKS itu saat memasukkannya dalam tas.
Saya lebih memilih diam-diam membaca buku-buku sewaan mama seperti The Empress Orchid atau Memoar Pulau Buru meski dalam membacanya tidak pernah dikatakan tuntas saat itu, karena saya tidak pernah berterus terang pada mama bahwa saya sebenarnya juga turut membaca buku-buku tersebut, sebelum buku-buku itu terlanjur dikembalikan.
Saat kelas sembilan, pak guru fisika saya berkata,”Poppy ini harus dikatrol.” Perkataannya itu dilontarkan saat saya mesti ujian ulang praktek fisika. Dalam keseharian pun, nilai saya memang tidak pernah lebih dari lima. ‘Katrol’ saya pahami saat itu sebagai ucapan halus bahwa saya adalah siswi yang bodoh, hingga perlu diseret hingga memenuhi standar nilai. Atau mungkin saya yang kelewat sensitif?
Pak guru fisika itu jugalah, yang menatap saya aneh saat saya tiba-tiba bisa masuk kelas 9-3 saat try out UN yang terakhir. Ada delapan kelas sesuai urutan nilai hasil try out di masa itu. Urutan nilai tertinggi dimulai dari kelas 9-1. Biasanya, saya selalu masuk di kelas 9-7.
Tatapan guru fisika itu saya maknai dalam ucapan yang saya simpulkan sendiri,”Kamu kok bisa masuk kelas 9-3, Pop? Gimana caranya?”
Pada nyatanya, saya begitu ketakutan jika sampai tidak lulus sekolah nanti. Dari cara pandang mama juga lingkungan sekitar, tidak lulus UN adalah sebuah kiamat kecil. Memang saat itu, UN menerapkan sistem murni. Kamu mesti lulus empat mata pelajaran tanpa campuran nilai ujian sekolah atau rapor. Hingga akhirnya, saya mulai lebih tekun membaca buku-buku sekolah. Ternyata, daya tangkap saya juga tidak buruk ketika merekam apa yang sama persis dalam isi buku.
Selain tukang gambar manga dan pembuat novel fantasi dengan tulisan tangan yang dibaca kalangan sendiri, tidak ada sisi akademis menonjol dari saya yang diingat teman-teman satu angkatan. Soal gambar manga, dari pihak guru, hanya guru seni budaya yang mengetahuinya. Selebihnya, saya menangkap para guru memandang saya sebagai anak perempuan biasa yang duduk sendirian di sudut kelas dan selalu terkena remidi saat ulangan harian ataupun ujian sekolah. Dalam bahasa kasar, kamu bisa menyebut saya melempem dan bodoh.
Waktu itu, saya sebenarnya sadar jika saya tidak bodoh. Jika saya bodoh, kenapa saya bisa memahami isi buku The Empress Orchid? Sebaliknya, saya juga belum bisa mengidentifikasi di mana letak kelebihan saya.
Jika saya bodoh, mengapa saya mendapat nilai tertinggi dalam ulangan harian Kewarganegaraan saat kelas sembilan? Sedangkan sahabat saya yang selalu masuk kelas unggulan 9-1, Zulfikar Rachman, malah hanya mendapat nilai lima. Memang, ulangan saat itu isi jawabannya tidak bisa kamu temukan atau pelajari dari buku sekolah. Saya sangat ingat, lima pertanyaannya seputar isu-isu kenegaraan yang sepenuhnya membutuhkan analisis.
Saya memang juga tidak jago dalam pelajaran olahraga. Tiap pelajaran olahraga, teman-teman selalu menertawai ketidakbisaan saya sebagai sebuah hiburan besar. Namun, saya tetap meyakini bahwa saya tidak bodoh. Jika saya bodoh, bagaimana bisa saya menyelesaikan sebuah novel fantasi dengan jalinan karakter yang betul-betul saya pikirkan? Bagaimana bisa saya membuat analisis soal konversi minyak tanah menuju gas saat tugas sekolah di kelas delapan? Bagaimana bisa saya membuat naskah drama (Baca Juga: Hole Inside si 13 Tahun) seorang diri padal sesungguhnya itu merupakan tugas kelompok?
Salah satu hal menyakitkan sebelum saya meninggalkan SMP, adalah saat semua guru dan siswa bersalam-salaman beberapa hari sebelum UN. Hampir semua guru memandang saya iba dan mengucap hal-hal soal kekhawatiran mereka ketika saya menghadapi UN. Adegan cukup memuakkan itu, juga membikin saya makin yakin bahwa saya bodoh sekaligus sebenarnya tidak bodoh.
Jika ditarik garis lurus saat ini, saya terlalu terkungkung definisi murid pintar dari orang-orang dewasa di sekeliling saya. Teman-teman saya pun mengalami keterkungkungan yang sama.
Sumber: Gugel

Sering masuk 5 besar saat SMK
Kembali pada ucapan teman saya Riza soal beda pintar dan cerdas. Saya makin mengerti, saya bukan siswi yang pintar, namun saya memiliki kecerdasan. Kunci dalam diri saya sebenarnya adalah ketekunan dan cara belajar yang tepat jika ingin mengejar nilai akademis.
Hal ini terbukti saat saya duduk di bangku SMK. Saya menyenangi pilihan jurusan yang memang sengaja saya pilih dengan kemauan sendiri. Saya mulai mengenali bagaimana cara tepat buat saya belajar.
Setiap guru berbicara, saya merangkumnya dalam buku catatan. Jika kamu membaca buku catatan saya, kamu bisa jadi mendapati cara saya mengelompokkan informasi mirip seorang wartawan; cepat, padat dengan huruf-huruf yang kurang indah. Saya juga menambah gambar dan warna menggunakan pensil warna dalam buku catatan. Sering juga saya menyertakan bagan dan atau ilustrasi yang saya bikin sendiri berikut dengan contoh kongkrit.
Hasilnya, saya sering masuk lima besar di kelas. Lihat? Saya bukan siswi yang bodoh. Ini soal cara belajar yang tepat sesuai potensi yang ada dalam diri. Saya bisa meramu cara yang tepat setelah sekian tahun, karena ternyata (Baca Juga: Saya 'Intrapersonal feat Visual' Setiap Orang Istimewa dalam kecerdasan Masing-Masing) saya memiliki kecerdasan intrapersonal dominan. Kemampuan mengenali diri sendiri inilah, yang membuat saya menyeleksi bagaimana cara yang baik dan tidak baik dalam diri selama sekian tahun.
Sedangkan penggunaan bagan dan gambar, juga contoh kongkrit dalam buku catatan saya, ternyata adalah cara yang tepat bagi seseorang yang memiliki kecerdasan visual dominan.
Penghakiman Mr. A, guru SD saya atas nilai saya yang merosot di kelas empat hingga enam sebagai sebuah kemalasan, nyatanya salah (Baca Juga: Patah Hati). Pada nyatanya, ada sebab yang runut mengapa seorang anak sebagian terlihat menonjol dan sebagian lain seperti tidak memiliki kelebihan sama sekali.
Sumber: Gugel

Trainer VS Guru
Minggu lalu, saya sempat berdikusi hingga menginap di kantor pusat Aku Cepat Membaca (ACM) di Graha Al-Barqy Surabaya. Saya bersama dua teman lainnya kembali diingatkan oleh bu Nur Tsuroya tentang beda trainer, motivator hingga guru dalam teori Pendidikan Luar Sekolah.
Trainer memiliki tanggung jawab merubah ketidakbisaan menjadi suatu kebisaan. Motivator memiliki tugas mendorong secara mental. Sedang guru, memiliki tanggung jawab mentransfer materi pelajaran dalam kepala siswa. Ya… itu memang tugas utama guru. Mengajarimu mengingat isi buku IPA, IPS dan lainnya.
Tidak… itu semua bukan salah guru. Definisi guru dalam pendidikan formal yang demikian, adalah sebuah tuntutan yang sebenarnya bisa dirunut. Tidak semua guru juga melulu hanya memkirkan transfer isi buku pelajaran pada siswanya. Kamu masih bisa menemukan mendiang bu Nurul Aula (Baca Juga: Aku dan Rossie O'Donnel, Kangen Jannah, Hampir Jadi Manusia Kamar) dan juga pak Apud Mahpud. Bu Nurul adalah guru di masa SD saya, sedang pak Apud adalah guru di masa SMK saya. Beliau berdua memang guru yang berada dalam sistem persekolahan formal. Namun, beliau berdua juga memiliki hubungan personal yang sangat baik dengan para siswanya.
Bu Nurul mampu memersatukan seluruh siswa yang ada dalam kelasnya. Beliau pernah makan bekal salah seorang teman sekelas saya, yang akhirnya sepakat dibagikan secara rata dengan porsi yang sama sedikit pada seluruh kelas.
Beliau jugalah yang membunuh kesenjangan antara siwa yang unggul dalam akademis dengan siswa yang kurang baik dalam bidang akademis. Bu Nurul melibatkan seluruh kelas dalam penghargaan pada siswa yang baik dalam kademis. Siswa terebut akhirnya menjadi milik dan kebanggaan seluruh kelas.
Sedang pak Apud, beliau berbeda dengan guru pada umumnya. Beliau tidak jarang malah menyapa dan memerhatikan teman saya, Sri Eka Fidianingsih. Sri bukan siswi yang unggul dalam bidang akademis. Namun dia seorang pekerja keras yang sangat cekatan. Dia bahkan berjualan roti dan menjajakannya ke seluruh sekolah setiap hari.
Di saat guru-guru lain mengagumi siswanya karena kemampuan akademis yang dimiliki. Pak Apud malah menghargai siswi yang seperti Sri. Siswi yang dianggap biasa namun sesungguhnya unik.
Bagaimana? Berat ya jadi guru? Berat untuk sengaja berhati-hati tidak membunuh harapan siswa-siswimu di hari kemudian.

2 comments:

Koko Ferdie said...

Wah, menarik nih. Dulu, aku malah pernah dapat nilai rapor 57 untuk pelajaran matematik pas SMA. huhu >_<

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Wahahaha... yang penting novelnya abang sekarang laku keras. Yakaaaan :D