Jika
kamu, atau kebanyakan lelaki hanya menilai keperempuanan seorang perempuan,
berasal dari dominasi putusan yang berdasar hati, warna gincu dan cara berbaju.
Maka, Analogila tidak sepertimu dan kebanyakan lelaki itu.
“Saya
ini, seorang perempuan…” ucap saya.
“Kamu?
Belum. Kamu belum jadi seorang perempuan.” Analogila berucap sambil terbahak.
“Lihat…
saya suka benda-benda girly. Saya
juga perhatian dan lembut seperti seorang ibu pada siapa saja.”
“Itu
kan patokan perempuan versimu sendiri.”
“Terus?
Saya bakal jadi sebenarnya perempuan kapan?”
“Nanti…
kalau kamu sudah nikah dan punya anak.”
“Kenapa
harus di masa itu?”
“Sudah…
lihat saja di masa itu nanti. Kamu mirip dengan kakak perempuan saya.
Keperempuanannya baru keluar waktu dia menikah dan punya anak-anak.”
Kemudian,
saya kembali mengingat-ingat bagaimana perempuan versimu yang begitu dangkal. Bagimu,
perempuan adalah yang bergincu, berbaju serasi, dan menanggapi puisi-puisi
obralmu dengan hati.
Sayang,
serupamu sudah sangat cukup banyak. Yang membikin patokan saya soal bagaimana
menjadi perempuan makin kabur. Bukan cuma saya, tapi banyak perempuan agaknya
kabur soal bagaimana perempuan yang memiliki keperempuanan. Kamu dan yang
serupamu agaknya jadi sebab. Kalian menyebar dan membaur dengan jumlah kelewat
banyak, di antara para perempuan yang sedang memerjelas keperempuanannya.
Jika
saja, masing-masing perempuan dengan sadar memenjarakan patokan keperempuanan
versimu dan sejenismu… jika saja…
No comments:
Post a Comment