Wednesday, July 6, 2016

Jenny dan Potongan Koran


Tahun lalu, saya mengunjungi rumah Jenny. Seperti pernah saya tulis dalam cerita saya yang terdahulu (Baca juga; Kaos Kaki dari Jenny), Jenny adalah salah satu dari murid kelas inklusi yang berisi siswa autis di sekolah saya. Kami kali pertama bertemu waktu Jenny kelas sepuluh dan saya kelas dua belas.
Dengan jelas, Jenny memberi alamat rumahnya via SMS pada saya. Dia juga memberitahu apa warna pagar dan cat rumahnya.
Setelah sampai di rumahnya, saya disambut sangat hangat oleh seluruh keluarganya; ayah, ibu dan adik perempuannya. Jenny juga berlompatan kecil saat menyambut saya di depan pagar.
“Aku lihat foto Poppy di koran!” jeritnya sambil berlompatan.
Kebetulan, beberapa kali saya sedang rajin menulis artikel dan liputan, kebetulan saja masuk di salah satu media massa, mungkin selaras dengan selera editornya.
Dengan kakinya yang kecil sebelah, Jenny bisa berjalan cepat-cepat menuju ke dalam rumah meninggalkan saya yang masih memarkir motor di halaman rumahnya.
“Aku potong koran yang ada kamu di sana, Pop!” jeritnya lagi sambil pecicilan mencari-cari sesuatu dari rak majalah di ruang tamu, setelah saya mengucap salam dan masuk dalam rumah.
Dalam bayangan saya, Jenny sepertimu yang membaca tulisan di media massa sampai tandas karena merasa kenal dengan yang menulis. Dalam bayangan saya juga, Jenny mengliping rapi tulisan saya kemudian menyimpannya. Saya lupa jika Jenny istimewa. Jeritannya terlalu menyanjung saya.
Jenny kemudian menyorongkan sebuah album di pangkuan saya. Dia memaksa saya melihat salah satu halamannya. Benar. Memang ada potongan koran di sana. Namun, saya mendapati tidak ada tulisan saya di dalamnya. Hanya ada tiga potongan foto wajah saya yang hanya bagian kepala dan rambut. Kebetulan, itu foto serupa yang saya pergunakan dalam beberapa tulisan.
Saya terkekeh dalam batin. Jenny memang tidak sepertimu, yang baru menyanjung ketika melihat hasil usaha jadi suatu yang prestisius. Sudah begitu, kamu mana peduli jika sanjunganmu bikin tenanan arogansi jadi naik angkanya. Dia juga tidak sepertimu yang asal bertanya dengan sampul candaan dangkal,”Cara kirim tulisan ke media massa gimana sih? Aku pengin terkenal hehee…”
Jenny tidak juga sepertimu yang baru simpatik pada seseorang ketika seseorang itu dianggap sudah melakukan hal prestisius. Hal prestisius yang dulunya tidak kamu pahami berarti, dan baru kamu pahami berarti, ketika pihak yang menurutmu berwenang menganggapnya prestisius.
“Poppy temanku. Ada fotomu di koran!” jerit Jenny lagi sambil duduk tidak tenang.
Lagi-lagi dalam batin saya terkekeh. Kembali saya pandangi tiga foto kepala saya yang serupa, untuk tiga tulisan. Jenny sangat senang ada foto saya, yang menurutnya adalah seorang teman, dicetak entah berapa eksemplar di koran. Dia tidak peduli dengan isi artikelnya, dia cuma peduli ada foto temannya yang perlu dia simpan dari potongan koran itu.
Satu hal yang terakhir paling saya sadari. Jenny juga tidak bisa sepertimu yang bisa menggunting kertas dengan rapi meski usianya setahun lebih tua dari saya.

No comments: