Tahun
lalu, saya mengunjungi rumah Jenny. Seperti pernah saya tulis dalam cerita saya
yang terdahulu (Baca juga; Kaos Kaki dari Jenny), Jenny adalah salah satu
dari murid kelas inklusi yang berisi siswa autis di sekolah saya. Kami kali
pertama bertemu waktu Jenny kelas sepuluh dan saya kelas dua belas.
Dengan
jelas, Jenny memberi alamat rumahnya via SMS pada saya. Dia juga memberitahu
apa warna pagar dan cat rumahnya.
Setelah
sampai di rumahnya, saya disambut sangat hangat oleh seluruh keluarganya; ayah,
ibu dan adik perempuannya. Jenny juga berlompatan kecil saat menyambut saya di
depan pagar.
“Aku
lihat foto Poppy di koran!” jeritnya sambil berlompatan.
Kebetulan,
beberapa kali saya sedang rajin menulis artikel dan liputan, kebetulan saja
masuk di salah satu media massa, mungkin selaras dengan selera editornya.
Dengan
kakinya yang kecil sebelah, Jenny bisa berjalan cepat-cepat menuju ke dalam
rumah meninggalkan saya yang masih memarkir motor di halaman rumahnya.
“Aku
potong koran yang ada kamu di sana, Pop!” jeritnya lagi sambil pecicilan
mencari-cari sesuatu dari rak majalah di ruang tamu, setelah saya mengucap
salam dan masuk dalam rumah.
Dalam
bayangan saya, Jenny sepertimu yang membaca tulisan di media massa sampai
tandas karena merasa kenal dengan yang menulis. Dalam bayangan saya juga, Jenny
mengliping rapi tulisan saya kemudian menyimpannya. Saya lupa jika Jenny
istimewa. Jeritannya terlalu menyanjung saya.
Jenny
kemudian menyorongkan sebuah album di pangkuan saya. Dia memaksa saya melihat
salah satu halamannya. Benar. Memang ada potongan koran di sana. Namun, saya
mendapati tidak ada tulisan saya di dalamnya. Hanya ada tiga potongan foto
wajah saya yang hanya bagian kepala dan rambut. Kebetulan, itu foto serupa yang
saya pergunakan dalam beberapa tulisan.
Saya
terkekeh dalam batin. Jenny memang tidak sepertimu, yang baru menyanjung ketika
melihat hasil usaha jadi suatu yang prestisius. Sudah begitu, kamu mana peduli
jika sanjunganmu bikin tenanan arogansi jadi naik angkanya. Dia juga tidak
sepertimu yang asal bertanya dengan sampul candaan dangkal,”Cara kirim tulisan
ke media massa gimana sih? Aku pengin terkenal hehee…”
Jenny
tidak juga sepertimu yang baru simpatik pada seseorang ketika seseorang itu
dianggap sudah melakukan hal prestisius. Hal prestisius yang dulunya tidak kamu
pahami berarti, dan baru kamu pahami berarti, ketika pihak yang menurutmu
berwenang menganggapnya prestisius.
“Poppy
temanku. Ada fotomu di koran!” jerit Jenny lagi sambil duduk tidak tenang.
Lagi-lagi
dalam batin saya terkekeh. Kembali saya pandangi tiga foto kepala saya yang
serupa, untuk tiga tulisan. Jenny sangat senang ada foto saya, yang menurutnya
adalah seorang teman, dicetak entah berapa eksemplar di koran. Dia tidak peduli
dengan isi artikelnya, dia cuma peduli ada foto temannya yang perlu dia simpan
dari potongan koran itu.
Satu
hal yang terakhir paling saya sadari. Jenny juga tidak bisa sepertimu yang bisa
menggunting kertas dengan rapi meski usianya setahun lebih tua dari saya.
No comments:
Post a Comment