Teman
saya, sebut saja si Anu, sempat sedikit keras mengatakan bahwa, buwuh alias angpau
alias menerima uang dan hadiah saat pernikahan adalah budaya. Dari penekanannya
pada kata budaya, saya seperti mendapati permakluman luar biasa pada diri Anu.
Anu
sendiri, berasal dari kalangan keluarga sederhana dengan ibunya yang seorag
buruh jahit. Saya sangat mengenal Anu sekeluarga bukan orang pelit. Dalam
kesederhanaannya dan uang sakunya yang cuma seribu rupiah, hingga kelas dua
belas, Anu masih berpikir berbagi makanan pada teman di sekelilingnya.
Sempat,
Anu mengirimi saya pesan singkat begini…
Anu:
Pop, kamu kemarin datang ke nikahannya si anu?
Saya:
Enggak, Nu. Aku jarang datang ke nikahan orang hehe…
Anu:
Aku juga enggak. Aku waktu itu belum ada rejeki.
Bagi
saya, ini cukup kontradiktif. Bagaimana Anu, teman saya yang loman lagi
sederhana ini, memilih tidak datang pada pernikahan seorang teman, karena
merasa sedang tidak punya sesuatu yang bisa jadi hantaran. Namun, di sisi lain,
Anu menekankan bahwa buwuh adalah budaya, dengan nada maklumnya yang luar
biasa.
Sebelum
Anu, teman saya yang lain mengirimi saya chat FB isinya begini…
A |
B |
C |
“Mbak,
kamu diundang mbak (nama disamarkan)?”
“Iya
(nama disamarkan). Tapi paling aku enggak datang soalnya aku masih penelitian.”
“Oke-oke.”
“Kamu
datang?”
“Enggak
tahu, Mbak. Hehehe…”
“Simpan
aja uangmu untu kebutuhan lain, (nama disamarkan). Sering kita nggak perlu
memaksa hadir ke semua undangan. Kita sendiri juga banyak kebutuhan.”
“Iya,
Mbak. Aku sejujurnya bingung buat makan. Bapak sudah meninggal, jadi harus
mandiri. Hehe…”
Begitu, terjemahan percakapan ini dalam bahasa Indonesia.
Teman
saya yang sedang berjuang untuk hidup mandiri ini, sesungguhnya ingin menghargai
undangan pernikahan seorang teman dengan turut hadir. Sayangnya, seperti Anu,
dia juga merasa tidak memiliki sesuatu buat jadi hantaran. Pada akhirnya, teman
saya ini memilih tidak hadir pada pernikahan teman tersebut.
Presiden
Joko Widodo (Jokowi), saat mantu pada 11 Juni 2015, seperti dilansir di Liputan
6 dot kom, Jokowi Larang Tamu Pernikahan Gibran-Selvi Bawa Hadiah, justru tidak
mau terima buwuhan. Alasannya? Takut gratifikasi. Selain itu, bisa kita lihat
pernikahan putranya yang bisa dibilang sederhana, buat sekelas anak penggede
itu, memang diniatkan buat selametan, memang buat berbagi bukan jualan nasi.
Komentar
orang pasti ada yang begini,”Lha… beliau kan penggede, sudah sugih alias kaya.
Mana perlu terima buwuh?”
Lho…
jadi, sesungguhnya buwuh itu dipakai buat apa sih? Sampeyan yang sedang membaca
tulisan ini, pasti juga tidak asing, dengan tetangga, kerabat atau teman yang
mencari modal pesta dengan berhutang. Hutang kan maknanya, ketika sampeyan
pengin sesuatu tapi modal dalam kantongmu kurang, sehingga butuh tambahan modal
yang mesti dibayar balik, bukan gratisan.
Bahkan,
seorang teman yang baru-baru ini menikah, masih sempat mengirim undangan untuk
orang-orang di tempatnya magang dulu. Padahal, sudah berselang tujuh tahun
lebih sejak magang dan entah apa si teman ini selama itu masih menjalin
komunikasi dengan orang-orang itu, sebelum bagi-bagi undangan. Apakah orang-orang
di bekas tempat magang si teman ini, diharapkan datang tanpa hantaran? Hanya
datang untuk makan gratis begitu? Entah… saya yakin sampeyan bisa bikin
simpulan sendiri.
Tahun lalu, sempat juga ayah saya
mendengar beberapa pegawai minimarket menggerutu, sambil membawa sebuah undangan
pernikahan. Mereka menggerutu soal menumpuknya undangan pernikahan pada bulan
tersebut, bulan yang kata orang dianggap bulan baik.
Coba
sampeyan sedikit berimajinasi, berapa gaji para karyawan minimarket itu? Tahu
tidak tanggungan dalam keluarganya sebesar apa? Belum lagi cicilan motornya
yang dipakai wara-wiri berangkat dan pulang kerja itu. Dan untuk tahun 2016, sampeyan sebut berapa jumlah
uang yang pantas buat sekali buwuh, total dengan banyaknya undangan yang mereka
terima pada bulan yang katanya baik itu. Ini mau berbagi kebahagiaan atau
berbagi beban sih? Lha… jangan dikira sekelas bupati atau walikota juga tidak
mikir beratnya yang beginan loh. Tahu apa sampeyan soal berapa banyak undangan
yang minta didatangi, juga isi hati dan isi dompet mereka?
Pernah juga, ibu saya mendengar
salah seorang saudara yang menyalahkan saudaranya yang lain, saat dianggap
mengundang terlalu sedikit orang dalam pernikahan putranya, tidak termasuk
dirinya. Namun, saat akhirnya saudara ini sungguhan diundang pada pesta
berikutnya, dirinya justru menggerutu soal uang yang mesti diberikan pada pesta
tersebut.
Ada juga relasi ibu yang
berkecukupan, didapatinya memakai sistem utang-bayar dalam buwuh. Jadi, ketika
si relasi ini punya hajat, para pemakai sistem utang-bayar ini memberi sejumlah
uang padanya dalam koridor buwuhan. Berikutnya, si relasi ini mesti mengembalikan
dalam jumlah yang setidaknya sama pada orang-orang tersebut, ketika mereka
ganti punya hajat. Kalau kurang jangan, kalau lebih ya… tidak apa-apa.
Oalah… begitu banyak pernak-pernik
yang kontradiktif dalam buwuh, yang katanya budaya. Setahu saya, embel-embel
budaya biasanya dipakai untuk kalimat seperti, budaya membaca, budaya salam dan
lain sebagainya di mana maknanya adalah, sesuatu yang mesti dilestarikan buat
kebaikan.
Teman-teman
kalau lagi baca tulisan ini, boleh share juga pengalamannya soal buwuhan, kalau
ada yang punya jabaran ilmiahnya juga monggo digelar di sini.
Saya pribadi, bukan tipe orang yang
memaksakan diri untuk buwuh. Saya tentu punya uang, tapi saya juga butuh uang
itu untuk beli buku dan hal lain yang mendukung saya belajar. Mungkin bagi
sampeyan aneh, tapi saya sudah berkali-kali datang tanpa membawa buwuhan ke
tempat teman yang menikah. Bagi saya, andai pun teman itu begitu berkesan
hingga saya ingin memberi hadiah, hadiah itu bisa disusulkan lain waktu. Itu
pun, tidak perlu jadi beban pikiran, bahwa hadiah mesti dikirim pada semua
undangan yang saya datangi. Saya tidak perlu bersikap kontradiktif, yang merasa
terbebani tapi kok ya masih memaksa diri…
Ibu sendiri masih menjalankan budaya
buwuh ini, meski sangat anti pada mereka yang dulunya tidak pernah menjalin
komunikasi apalagi akrab, eh… datang kok tiba-tiba bawa undangan. Undangan
seperti ini yang ibu saya tidak bakal mau hadir. Meski selalu mendatangi
pernikahan orang lain dengan buwuh, ibu saya berharap betul bahwa nanti
pernikahan saya berjalan sederhana, dengan cukup hantaran doa dari para
tamunya.
Jadi, kalau nanti sampeyan dapati
pernihakan saya berupa pengajian biasa yang tidak mengundang banyak orang atau
jika saya sekeluarga hanya mau terima hantaran berupa doa baik, jangan merasa
kasihan. Yang kasihan itu, justru mereka yang sikapnya kontradiktif. Merasa
berat lagi susah tapi kok ya memaksa diri. Jadi, mau kita bawa kemana si buwuh
ini?
Catatan:
Minggu, 22 September 2024
Pakai contoh buwuh dan gratifikasi dengan menyebut keluarga Jokowi ternyata bikin ngakak juga sekarang.
2 comments:
Ya sebernarnya emg sudah menjadi budaya yg menjamur sih, tapi klo aku pribadi diundang itu adalah tanda klo kita dihormati dan dimintai doa restu, yg sebenarnya 'nyumbang' atau tidak bukanlah suatu kewajiban, yg penting datang saja memberikan doa restu kepada si pengantin sudah cukup..tapi namanya org jawa ya, budaya sungkannya masih kuat kadang jg gak punyapun sampe 'mekso'krn sungkan hehhehe
Tapi insyaAllah klo aku nanti pas nikah (Amin) kyknya boleh jg meniru caranya pak jokowi yg tidak mewajibkan memberi sumbangan, yg penting datang aja udah seneng mantennya..klo misal ada rejeki ya gpp monggo tp sifatnya sangat tidak wajib, lbh enak menerima sumbangan yg ikhlas kan drpd yg bersifat sungkan,tapi ntr nulisi ndk undangane iki piye ya bingung aku mak hehhe..
Dan banyak juga undangan yang mampir karena sungkan. Semisal A kenal aku dan tahu kamu. Dia akrabnya sama aku tapi karena tahu kamu temen baikku, dia sungkan dan maksa ngundang dirimu juga. Akhirnya undangannya merantak kemana-mana termasuk ke temennya temenmu juga.
Nanti undanganmu kasih gambar kecil aja di bawah sendiri. Gambar kado coret, gambar rupiah coret, gambar doa centang, gambar dollar centang wk~
Temen ayahku ada yang pernah nunjukin undangan dari temennya. Tulisannya jelas tidak menerima sumbangan. Temen ayahku sampai bilang kalau besok-besok pas mantu pengin juga ngikuti jejak yang kayak begitu.
Ya... Untuk sekarang yang begini mungkin aneh. Tapi beberapa tahun kemudian pasti udah umum.
Post a Comment