“Kamu
selalu sendirian datang ke konser. Agni mana sih?” tanya salah seorang teman
padaku malam itu sambil menggamit jari-jari pacarnya.
Aku
cuma nyengir sebagai satu-satunya
yang tidak membawa pasangan ke konser waktu itu. Selalu seperti itu, saat aku
mengajakmu pergi ke sebuah konser musik, di mana band nasional yang banyak
digandrungi menggelar bass dan gitar mereka di atas panggung.
“Aku
tidak suka sama teman-temanmu. Ahli
berpura-pura. Mereka datang ke sebuah acara musik hanya karena banyak teman
atau pasangannya yang datang. Bukan karena musik itu sendiri. Mainstream!” Ucapmu selalu, waktu aku
mengajakmu ke konser musik.
Meski
begitu, aku tidak pernah berhenti mengajakmu. Aku pura-pura lupa soal argumenmu
yang sudah pasti bikin pupus mauku. Soal konser, aku belum pernah mendengar
gelakmu sebagai pungkasan, jadi aku masih sungguh berharap bisa melanjutkan.
“Menempatkan
diri dengan berpura-pura itu beda, Agni…” balasku.
Matamu
membelalak. Nampak kamu tidak nyaman atas balasan argumenku.
“Hidupmu
terlalu serius…” aku masih melanjutkan.
Agni
mulai memasang headset di kupingnya
sambil tergelak. Gelak paling panjang dari semua pungkasan yang pernah dia
lakukan. Gelak pertamanya soal konser musik.
Maka
aku berhenti. Aku mengerti, kamu sekarang sedang sibuk mendengar lagu-lagu
kesenanganmu lewat headset itu.
Mungkin The Eagels, mungkin juga No Doubt, atau mungkin Gugun Blues Shelter,
band produk negeri sendiri yang cuma dikenal kalangan tertentu seperti katamu
dulu.
Kali
lain, aku mencoba membawakanmu buku. Aku tahu kamu cinta betul dengan buku. Namun,
aku tidak pernah ingat buku-buku apa yang biasa kamu sambar dan santap. Maka
aku bawakan sebuah buku karya seorang penulis yang produktif mengeluarkan buku
selama beberapa tahun berturut-turut, bertema agama dan cinta. Kutipan-kutipan
di laman sosial media si penulis itu sering dibagikan oleh banyak teman-temanku
yang bukan teman-teman kita.
Aku
lega ketika kamu menerima sodoran buku dariku dengan mata berbinar. Namun, binar
matamu mendadak mumur ketika tahu isi buku dalam bungkusan itu.
“Terimakasih,
Dewa…” hanya itu yang kamu ucap.
“Kamu
tidak senang dengan buku itu?”
Kamu
diam.
“Agni…”
paksaku menuntut jawaban.
“Mau
jawaban jujur?”
“Tentu…”
“Aku
pikir, kamu meneliti apa-apa yang biasa aku baca, aku beli, aku sewa. Ternyata
tidak ya?” gelakmu terdengar. Maka aku berhenti membahas soal buku. Dan cuma
bisa memandangi kamu, menandai salah satu halaman buku yang bertulis Manusia Kamar oleh Mira Sato. Buku yang
barangkali bakal kamu bilang sebagai yang bukan buku mainstream.
Menahun
bersama kamu ternyata belum berarti aku mengenalimu. Aku ingin mengenalimu,
Agni. Kemudian menciummu... kemudian melihat bibir jinggamu saban hari…
kemudian mendengar argumen-arguman ajaibmu di atas kasur kita. Tentu tanpa
gelak yang selalu jadi pungkasan semuanya… mengakhiri semuanya…
Hanya
ada satu cara biar semua jadi nyata, yaitu dengan menikahimu. Tapi bagaimana
caranya?
Sebuah cerita, yang tidak bakal selesai.
No comments:
Post a Comment