Sumber: Dokumentasi pribadi. Ngepas lagi ditraktir Wiwin Januaris. |
C punya naskah novel. Berkali dia tawarkan pada penerbit mana saja dan gagal. Kemudian ia bikin media sosial, dilihatnya isu kesehatan mental sedang tren, lalu ia pelajari akun-akun yang lebih dulu ada, memperpendek kalimatnya, meletakkan di antara gambar latar warna-warni.
Orang-orang mendatangi akunnya, tulisan-tulisannya begitu ringkas dibaca, menawan ketika dibagikan ulang di Instagram dan mampu menyadarkan pentingnya kesehatan mental. Mereka yakin, kepeduliannya sudah diwakili C.
Tidak lama, akun C memiliki puluhan ribu pengikut. Setelah rombak sana-sini agar ada isu kesehatan mental nyangkut dalam novelnya, ia lantas mengumumkan novelnya akan terbit secara indie. Para pengikutnya membeli dengan senang hati.
Ada keterikatan dalam hati mereka setelah C dianggap selalu mewakili isi hati dan paling memahami. Bersama C, mereka merasa tercerahkan, paling berempati dan memahami isu kesehatan mental.
“Perasaan semua orang valid.” Demikian yang diamini mereka.
Sedang H punya channel Youtube. Ia pernah membahas kesehatan mental yang sedang tren melalui podcastnya, namun sepi. Ia pernah coba mengedit video dengan latar warna-warni dan intonasi khas, tetap sepi. Belakangan ternyata channel sejenis sudah ada dan ramai lebih dulu.
Kemudian H coba menegasikan isu kesehatan mental yang sudah ada. Ia mengajak pendengarnya yakin, isu kesehatan mental hanya milik anak manja yang mudah tersinggung. Bercanda dengan segala tema di sembarang tempat pada semua orang, mereka namakan tidak ribet.
Tidak lama, channel H subscribernya meningkat pesat. Mereka yang tidak merasa terwakili lewat akun-akun kesehatan mental, kini yakin easy goingnya sudah diwakili H. Jadi berapapun iklan yang muncul tidak pernah mereka lewati.
Ada keterikatan di hati mereka karena merasa H yang paling mewakili isi hati dan paling memahami. Bersama H, mereka merasa paling tercerahkan, paling rebel dan bagian dari klub anti ribet.
“Ketersinggunganmu bukan urusanku.” Demikian yang diamini mereka.
Sebuah kutipan yang umum kamu dengar dalam seminar-seminar seperti berkelebat;
Kalau mau buat produk, sama tapi lebih baik atau beda sekalian.
C dan H sekarang sama-sama memiliki 300 ribu pengikut. Orang-orang terus mengikuti mereka dengan keterikatan serupa; merasa diwakili.
Oleh mereka, jumlah kerumunan dianggap validasi kepakaran seseorang. Tidak jarang, antar pengikut memperdebatkan sebuah isu dengan membawa nilai dari apapun yang dibagikan C dan H.
Di balik layar, C dan H bisa bayar listrik dan makan bebek tiga kali sehari. Sedang tetangga kos C yang mestinya didiagnosa depresi terselubung, sedang meringkuk dalam selimut, tidak keluar kos berhari-hari. Ia pula mulai meragukan kesakitannya valid karena komentar-komentar para subscriber H.
Catatan:
Senin, 03 Oktober 2022
September lalu baru selesai baca novel Okky Madasari judulnya Kerumunan Terakhir dan ternyata temanya juga soal media sosial.
No comments:
Post a Comment