Thursday, April 7, 2022

Absen Nyawa, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -1-

Sumber: Dokumentasi Pribadi


“Aman kah?”“

Sehat?”“

Masih hidup?”

“Asu kon...”

Empat kalimat di atas bisa jadi cara menyapa teman. Absen nyawa istilah guyonnya (meski batinmu barangkali bilang, bukannya presensi istilah yang lebih tepat ya?).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan, 29 orang pasien mengalami gejala ringan dari total 68 kasus baru Covid-19 akibat penularan varian Omicron.” Narasi berita mulai masuk ke trending Twitter, fyp Tiktok dan televisi.

Coba tarik nafas dalam-dalam, hembus pelan dan ketik kalimat semacam yang empat tadi, kirim pada teman.

Barangkali kepada mereka yang bulan lalu bilang, sudah boyong dari pondok jadi tidak akan lagi menginjakkan kaki ke kota tempat kalian satu kampus, kecuali waktu legalisir ijazah.

Barangkali kepada mereka yang bilang, bapaknya jadi sensitif sejak sakit paru-paru.

Barangkali kepada mereka yang tiga bulan lalu melihat cinta pertamanya bertunangan atau mereka yang demam setelah vaksin.

Atau bahkan, pada mereka yang menolak menceritakan kabar terkini dan hanya menjawab dengan,”Pokoknya doakan aku baik-baik aja ya...”

Apa yang kita rasakan setelahnya?

Erich Fromm bilang, dalam cinta ada orang-orang dengan karakter produktif;

“Memberi ialah ungkapan tertinggi potensi. Dalam memberi, aku merasakan kekuatanku, kemakmuranku, kekuasaanku. Perasaan daya hidup dan potensi memuncak ini mengisiku dengan kegembiraan. Kurasakan diriku melimpah, lepas, hidup, karenanya aku gembira. Memberi lebih menggembirakan daripada menerima, bukan karena aku kehilangan, tapi karena dalam tindakan memberi ada ungkapan kehidupanku.”

Bagaimana rasanya mencintai orang lain tanpa ‘karena’? Tanpa merasa perlu mengembalikan sesuatu karena ia pernah memberi? Tanpa merasa harus memberi sesuatu karena pasti diberi balik? Menyapa dan bertanya, lepas apapun tanggapannya. Yang demikian, orang-orang dengan karakter produktif.

Dan barangkali dadamu sedang terasa hangat sekarang.

No comments: