“
Untuk kamu,
Seorang Lelaki.
Seorang Lelaki.
Aku
Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 60 kg.
“Kurusin dikit lah,” katamu. Aku pikir, kamu peduli. Padahal kamu bicara atas dasar logika milikmu. Ya. Logika yang kamu gadang cuma milik para Lelaki. Logikamu meminta kamu bicara, atas dasar maunya mata dan kemaluanmu. Pada aku, sungguh kamu mana pernah peduli.
“Kurangi makanmu dong!” katamu. Aku pikir, kamu peduli. Kamu mana pernah tahu? Sebanyak apa, aku pernah makan. Aku makan, tidak lebih dari separuh porsi kebutuhan asliku. Adanya tubuhku, memang seperti ini. Pun Ibuku. Mata dan kemaluanmu menuntut aku, memiliki penampakan sesuai inginnya.
Aku Sheilamu. Aku menuruti kamu. Setengah mati aku mengurangi separuh lagi, porsi kebutuhan asliku. Aku lemas. Tapi, aku tetap ngeyel. Aku mual dan muntah.
Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 57 kg. Kamu senang? Aku senang. Aku makin lemas. Aku lebih sering mual dan muntah. Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 42 kg. Aku pingsan. Jarum infus menancap di punggung tanganku. Dokter menyuruh aku, untuk menambah porsi makan sesuai kebutuhan asliku. Setiap hari, aku di berikan kapsul-kapsul yang katanya bisa membuat infus terlepas dari punggung tanganku.
“Aku takut jadi gemuk,” aku menolak piring makanan yang di sorongkan pada pangkuanku. Aku tetap mual dan muntah. Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 34 kg. Aku terlalu kurus , untuk kamu raba dan jamah sekarang, sayangku. Kamu hilang.
Sungguh aku lupa. Kamu adalah Lelaki. “Aku suka perempuan yang cantik alami,” katamu. Kamu tahu? Cantik tidak bisa memilih, sayangku. Mereka tidak cantik, pun Ibu mereka. Kamu mencibir mereka yang pakai kamera 360, buat menuruti cantik maumu. Kamu mencibir mereka yang mendempul muka memakai bedak, buat menuruti cantik maumu.
Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 30 kg. Dokter sekarang datang, ketika mata resmi aku pejam. Pekerja sosial menunggui aku sepanjang hari. Dia tanya ini dan itu, termasuk soal kamu dan cantik menurut versimu.
Sayangku. Aku sekarang sudah mau menambah porsi makan sesuai porsi kebutuhan asliku. Tapi, aku tetap mual dan muntah. Dokter berbisik,”Sudah terlambat,”
Mestinya. Aku ingat bahwa kamu seorang Lelaki. Mestinya. Aku menjawab cantik versimu, dengan kemandirianku.
”
“Tika.
Kamu baik-baik saja?” Bu Maria menepuk pundakku. Aku menoleh padanya dengan
sesenggukan. Kertas yang baru saja aku baca, tidak terasa aku remas hingga
hampir robek.
Bu
Maria, adalah pekerja sosial senior di Rumah Sakit ini. Sebagai lulusan
terbaik, aku langsung di percaya untuk mendapingi Bu Maria. Aku menjadi
asistennya selama tiga bulan terkahir. Kami mendapingi pasien anoreksia berusia
dua puluh tahun. Namanya Sheila.
Sheila
baru mau bercerita lebih banyak, tiga minggu sebelum dia meninggal. Dia meminta
Bu Maria dan aku untuk mengetik semua perkataannya. Dia berbisik-bisik selama
satu jam. Untuk bersuara lebih keras, dia sudah tidak mampu.
Aku
merutuki Sheila yang mengidap anoreksia, sebelum dia bercerita banyak kepada
kami. “Dia bodoh sekali! Penyakit itu, hanya terjadi karena pola pemikirannya
dia sendiri,” tiap aku merutuk, Bu Maria cuma tersenyum.
Sheila
sudah pergi lima hari yang lalu. Aku tetap menangis sambil membaca
berulang-ulang surat terkahir yang dia percayakan pada aku dan Bu Maria.
“Resapi empati semacam itu, Tik. Setelah ini,
akan lebih banyak pekerjaan yang bukan cuma mengandalkan kecerdasanmu, tapi
juga empatimu,”
Empati?
Aku selama ini, memang belum memilikinya…
No comments:
Post a Comment