Wednesday, April 15, 2015

Aku dan Rossie O'Donnel

“Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.” tulis Rossie O’Donnel dalam buku nonfiksinya, Find Me.
Aku baru memahami tulisan ini, setelah lembaran terakhir, tamat aku baca. Lama ya? Memang. Buku ini, mesti di pahami dengan hati dan logika yang seimbang.
Ada Sheila, sosok dalam diriku yang cenderung bergerak menggunakan hati. Dan, ada Anomali, sosok dalam diriku yang cenderung bergerak menggunakan logika. Mereka setiap hari bertengkar. Susah sekali mereka untuk berdamai.
Buku yang cuma berjumlah 196 lembar seperti Find Me, mesti aku selesaikan pelan-pelan dalam dua minggu. Aku tidak bisa membaca cepat. Aku selalu kelelahan setiap membaca dua sampai tiga halaman.
Find Me, bercerita soal Rossie O’Donnel, komedian pembawa acara bincang-bincang The Rosie O`Donnel Show. Dia kocak, kaya raya dan terkenal. Di masa lalu, Rossie menyimpan trauma soal kematian ibunya dan soal rumahnya yang makin berantakan setelah ibunya pergi. Rossie bertahan hidup, dengan kenangan-kenangan baiknya, sekalipun kenangan-kenangan itu sebenarnya hadir berbarengan dengan luka-luka yang dia alami di masalalu. Rossie selalu mengingat bagaimana dia dan ibunya berburu barang belanjaan di pasar loak. Rossie selalu ingat, bagaimana kakaknya mencari dia yang kabur dari sekolah. Rossie selalu ingat, bagaimana ayahnya mengajarkan kejujuran,dengan mengembalikan kelebihan gajinya ke bank. Ya, Rossie bertahan dengan semua itu.
Rossie O'Donnel. Penulis buku Find Me dan pembawa acara The Rossie O'Donnel Show.
Rossie melewati luka-luka masa lalunya dengan cukup gemilnag. Makna gemilang adalah, tidak terbunuh hingga saat ini.
Dia, Rossie. Aku rasa mirip seperti aku. Aku punya luka-luka di masalalu. Aku menarik diri, dianggap aneh sejak kecil, di remehkan, dijauhi, tidak punya prestasi yang gemilang, tidak di perhitungkan, di bully sesama teman, merasa tidak pantas untuk hidup, ingin mati. Aku bertahan hidup, juga dengan kenangan-kenangan baik di masalalu. Kenangan dimana ibuku begitu terluka ketika aku di hina oleh orang lain. Kenangan ketika ayahku menganggap semua gambar-gambar karyaku begitu imajinatif dan berharga, lantas berusaha menyimpannya meski semua tidak berhasil.  Rumah kami kecil, kami harus berpindah rumah beberapa kali, dan ibuku hobi mengurangi muatan barang dirumah. Semua gambar-gambar bikinanku hilang, membuat aku ingin berjanji, semua ini tidak akan terjadi pada anak-anakku di hari depan.
Ibu selalu bisa menunjukkan bahwa kehidupan kami normal dan baik-baik saja pada aku.Aku tidak pernah ingat, bahwa aku pernah tersedak gara-gara menelan beras india yang di masak menjadi nasi. Beras itu, satu-satunya beras yang bisa di dapat dengan sejumlah uang milik kami. Beras yang disebut ‘india’ itu, memiliki tekstur keras yang mudah membuat orang tersedak ketika menelannya.
Ayah selalu memberikan benda-benda dan kue-kue yang aku impikan, tanpa aku memintanya. Sosis, barang mewah ketika usiaku delapan. Ayah membawakannya untukku satu atau dua batang. Aku selalu memakan sosis-sosis itu pelan-pelan. Aku selalu puas dengan satu atau dua batang sosis, meski di dalam hati, aku selalu bermimpi untuk bisa makan sekaleng penuh sosis.
Ada almarhumah bu Nurul. Guruku di Sekolah Dasar. Beliau memerhatikan perubahan-perubahan yang dalam diriku. Bahkan, beliau mengajak ibuku bicara soal aku. Beliau menghargai gambar buatanku ketika kelas dua. Bahkan, beliau merekomendasikan gambar karyaku itu sebagai referensi anak kelas lima!
Mbak Zizi, guru mengajiku. Mbak Zizi tidak memarahi aku ketika aku membandel. Aku sedikit beda dengan teman-temanku yang lain. Ketika teman-temanku yang lain sibuk mengerjakan tugas dari mbak Zizi, menurut dengan tugas yang di berikan oleh mbak Zizi, aku malah sibuk menggambar,aku tidak peduli dengan perintah atau tugas. Mbak Zizi tidak mengecap aku sebagai pembangkang atau aneh. Pelan-pelan, mbak Zizi mulai meraih hatiku. Dia melibatkan aku dalam games kelompok bersama teman-teman yang lain. Games itu salahsatunya membutuhkan keahlian menggambar, aku ada disana dan timku selalu menang. Semua tim akan senang ketika aku berada dalam tim tersebut ketika games berlangsung. Aku merasa punya harga. Aku mulai menurut ketika mbak Zizi memberikan tugas, semua berlangsung tanpa mesti aku berhenti menggambar.
Gambar-gambar itu, tempat aku lari. Aku merasa tenang atas segala yang aku alami, dengan menggambar. Diantara gambar-gambar itu, aku memiliki beberapateman bayangan. Teman-teman yang aku namai sendiri, teman-teman yang aku pakaikan kostum sesukaku, teman-teman yang setiapsaat bisa aku ajak bicara. Belakangan, aku baru mengerti, memiliki teman bayangan bagi anak seusiaku waktu itu, bukan sesuatu yang aneh. Teman bayangan terbentuk, ketika seoarang anak merasa tidak di pahami atau memahami lingkungannya. Dan anak itu, adalah aku.
Rossie bertemu Stacy. Gadis yang tiba-tiba bercerita pada dia soal sex karena keterpaksaan, rasa terhina, tertekan dan kehamilan. Sama seperti aku, aku bertemu Nadira. Gadis yang tiba-tiba bercerita, hal yang sama dengan apa yang di alami Stacy, tapi tanpa kehamilan melainkan dengan kematian.
Stacy melarutkan Rossie, hampir seperti aku dilarutkan oleh Nadira. Kami berdua, adalah dua orang yang berhasil bertahan hidup meski pernah mengalami luka-luka. Terlibat masalah orang lain adalah sesuatu yang patut kami lakukan. Kami merasa keren bila bisa membantu. Kami gila, barangkali memang iya. Kami merasa puas ketika seseorang bisa percaya pada kami.
Ibuku, Hanif dan Bu Ellyn. Semua ragu atas apa yang di alami Nadira. Kadang, aku juga begitu, tapi semua aku tepis, aku tidak boleh mengotori empatiku.
“Jangan terlibat terlalu jauh.” kata ibuku.
“Konselor punya wewenang hukum. Kalau memang masalahnya serius, kenapa konselor tidak langsung pergi ke jalur hukum?” Hanif, mahasiswa psikologi. Dia tidak sedang bicara dengan common sense atau intuisi seperti ibuku.
Aku tetap tidak mau mengotori empatiku.
“Sejak samean cerita awal-awal dulu, saya sudah curiga dengan cerita itu (Nadira, meski aku tidak menyebut jati dirinya di depan bu Ellyn). Sepertinya, dia (Nadira) belum bisa membedakan antara yang nyata dan tidak nyata. Jangan terlalu jauh terlibat.” kata bu Ellyn. Salah satu dosen di jurusanku sepulang kuliah.
Aku dan Rossie, sama-sama buta. Aku buat dengan Nadira dan Rossie buta dengan Stacy. Kami sama-sama tidak mau mengotori empati kami, meskiorang-orang di sekitar dengan jelas mampu melihat segalanya yang nampak tidak beres.
“Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.” Aku mehaminya. Seperti pertemuanku dengan Find Me tulisan Rossie O’Donnel. Kami bertemu, melalui buku. Padahal, benua tempat kami tinggal begitu jauhnya.
Rossie menemukan kebenaran soal Stacy. Stacy adalah perempuan tiga puluh delapan tahun, dengan kepribadian ganda. Aku belum menemukan kebenaran soal Nadira, empatiku tidak akan kotor dengan prasangka, tapi aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi…

No comments: