“Pliss… kita balas pesan singkat dari dia
ya, Nom?” mata Sheila berkaca-kaca.
“Nggak.” Anomali menyahut ketus.
“Pliss… barusan, dia bilang kalau dia
sedang sakit. Kasihan dia.”
“Nggak!” Anomali mulai membentak.
Sheila
diam. Pipinya mulai basah. Dia menangis.
“Kamu
nangis, Sheil?” Anomali duduk di sebelah
Sheila. Sheila makin sesenggukan.
“Tentu!
Dia sedang sakit! Dia butuh teman! Dia…”
“Dia?
Dia cuma ngartis Sheil. Cari sensasi,
cari perhatian. Dia butuh di sorot banyak orang sebagai maha artis, bukan butuh
teman. Dia mengemis perhatian bukan cuma pada kamu, Sheil.” Anomali menyerobot
ucapan Sheila yang belum selesai. Setelahnya, Anomali merogoh ponsel miliknya,
kemudian dia membuka folder screenshoot yang ada di galeri
ponselnya.
“Apa
ini?” Sheila ragu-ragu, ketika Anomali menyodorkan ponsel itu padanya.
“Bukti-bukti
bahwa dia…
1. Mengatakan
bahwa dirinya sakit.
2. Butuh
buah segar.
3. Ingin
di jenguk.
4. Besok,
dia sepertinya akan mati…
…yang
kesemuanya, di ucapkan pada siapa saja, bukan cuma pada kamu. Pesan singkat
yang dia kirim pada kita itu, adalah tiga dari keempat kalimat ini. Keempat hal
ini akan sama maknanya, sekalipun yang melakukannya buat dia, bukan kamu.”
“Dia
manusia, Nom. Jangan rasionalisasi macam-macam. Apa salahnya? Menyenangkan sesama
manusia? Memerhatikan sesama manusia? Sekadar balas pesan singkatnya,
mengingatkan soal obat yang mesti dia minum.”
“Halah! Terserah kamu saja Sheil!”
Anomali menarik ponselnya dari tangan Sheila. Sheila kembali berkaca-kaca.
“Kapan,
kita bisa berteman, Nom?”
“Tidak
akan pernah!” suara Anomali makin keras. Membentak. Dia berdiri dari duduknya.
“Kenapa?”
“Kita
berbeda Sheil! Sangat!”
“Berbeda?
Kita ada dalam satu tubuh.”
“Cara
kita bertindak. Semua terang perbedaanya.”
“Fakta-fakta
yang berhasil kamu rasionalisasi, semuanya belum tentu benar, Nom.” Sheila
menarik tangan Anomali.
Anomali
mendelik.
“Apa
yang nyaman di kuping dan hatimu, semuanya juga belum tentu benar, Sheil.”
Anomali mengibaskan tangan Sheila.
No comments:
Post a Comment