Baby
Blues merupakan wujud kekecewaan saya kepada teman- teman yang suka sekali
menyisipkan isu- isu penyakit jiwa atau unsur psikologi dalam cerita. Kenapa saya
kecewa? Teman- teman penulis seringkali menggunakan isu dan unsur tersebut
hanya sebagai sensasi agar orang tertarik membaca karya mereka. Bagaimana dengan
isi karyanya? Mereka menjejalkan istilah- istilah penyakit jiwa atau psikologi
dengan berjejalan alias memaksa. Kentara sekali kalau penulis sekadar research dari Wikipedia kemudian mengopi
mentah- mentah dalam cerita. Isi ceritanya pun selalu di dominasi kisah romance dengan istilah dan pengertian penyakit
jiwa yang tipis. Padahal, si penulis suka sekali menggemborkan istilah dan
pengertian tersebut dalam sinopsis atau awalan cerita.
Shcizofrenia jadi
salah satu istilah penyakit jiwa yang suka sekali di pakai orang dalam membuat
sensasi agar cerita bikinan mereka menarik di baca orang. Lagi- lagi kebanyakan
penulis menjejalkan istilah tersebut sekenanya saja. Pembaca pun akhirnya juga
memhamai penyakit jiwa satu ini dengan dangkal. Setiap ada penjabaran penyakit
jiwa yang lain, seseorang akan buru- buru menyatakan bahwa itu shcizofrenia. Oh… jadi semua
penyakitjiwa namanya Shcizofrenia?
Sebelum
Baby Blues, saya juga sempat menulis cerita bersambung berjudul Dheekinesis. Cerita
ini berlatar orng- orang yang memiliki kemampuan necrokinesis. Kemampuan
tersebut sebebanrnya mirip dengan pengolahan tenaga dalam yang seringkali di
kaitkan dengan ilmu ghaib. Padahal, kemampuan semacam ini sebenarnya sangat
masuk akal apabila di bedah menggunakan pisau logika. Dalam cerita tersebut,
saya menggambarkan bagaimana dilema orang sekitar dan si pemilik kemampuan serta
bagaimana orang- orang yang berusaha memanfaatkan kemampuan tersebut untuk
kepentingan tertentu. Saya menyertakan romance, tentu dengan porsi secukupnya
mengingat saya mengutamakan cerita seputar kemampuan khusus para tokoh. Cerita
ini akan saya lanjutkan penulisannya dengan jalan cerita yang lebih utuh
secepatnya.
Baby Blues pun demikian. Baby blues adalah
perasaan sedih dan khawatir yang dialami seorang ibu pasca melahirkan. Seorang
ibu akan terus menerus menangis. Biasanya ada perasaan khawatir akan masa depan
anak hingga kebingungan karena perubahan bentuk tubuh. Gangguan ini biasanya
berlangsung selama dua minggu pasca melahirkan. Gangguan ini tidak bisa di
anggap remeh. Baby blues bisa berubah menjadi depresi apabila berlarut-
larut. Depresi inilah yang akan bertahan selama bertahun- tahun dan bisa
berimbas kekerasan pada anak. Jadi, memang tidak ada baby blues yang
bertahan selama belasan tahun. Depresi yang terpicu dari baby blues yang
tidak terobati itulah yang akan bercokol
selama belasan tahun.
Hal ini sudah tercermin jelas dalam
dialog antar tokoh berikut ini…
Dokter
mengangguk.
“Baby
blues adalah gangguan emosi pada seoarng ibu setelah melahirkan. Biasanya
terbentuk karena tekanan ekonomi, khawatir akan masa depan anak dan lain
sebagainya. Hal ini menyebabkan si ibu akan terus menerus merasa sedih dan
menangis. Kalau berlanjut, bisa berujung depresi, kekerasan dan kebencian terus
menerus pada si anak,”
“Saya
suka memukuli Jingga karena dia nakal! Dia nakal!” Martini menerobos keluar
ruangan. Johan buru- buru berdiri.
“Istri
saya tidak gila!”
“Bukan
gila Pak… hanya depresi. Menurut data yang kami gali, istri Bapak suka
melakukan kekerasan psikis maupun fisik pada putri Bapak. Lama kelamaan, hal
ini bisa mengganggu juga pada jiwa putri Bapak. Saya sarankan, Ibu Martini
segera mendapat terapi,”
Saya
sendiri mendapat inspirasi mengenai gangguan baby blues dalam mata kuliah yang diampu oleh Bu Ellyn Sugeng. Di
kelas, Bu Ellyn menerangkan mengenai salah seorang istri dari temannya yang
mengalami baby blues. Gangguan ini
tidak terdeteksi hingga si anak SMP dan memiliki satu adik. Adakalanya ibu ini
bersikap baik pada anak- anaknya, seperti menemani tidur dan lain sebagainya.
Di sisi lain, si ibu juga suka melakukan kekerasan fisik dan psikis pada anak
tanpa salah yang jelas pada diri si anak. Kekerasan tersebut berupa memukul
sapu dan bentakan. Untung saja suami dari ibu ini tanggap, dia langsung
memeriksakan kesehatan jiwa si istri dan memotivasinya untuk melakukan terapi.
Dalam
cerpen Baby Blues, saya membuat segalanya lebih dramatis. Tokoh Johan tidak mau
Martini mendapat terapi. Di satu sisi, Johan sadar bahwa ada yang tidak beres
dengan istrinya, di lain sisi, Johan menekankan dirinya bahwa istrinya baik-
baik saja dan dia juga tersinggung dengan ucapan dokter yang tidak dia cerna
sepenuhnya.
Ada juga
yang berpendapat bahwa ketikaseseorang mau memeriksakan kesehatan jiwanya,
artinya dia sudah bersedia mendapat terapi lanjutan. Hal ini belum tentu,
banyak orang merasa tersinggung dan mengingkari kenyataan setelah mengetahui diagnosa
sebenarnya. Saya ingat bagaimana sekolah saya melarang home visit bagi siswa jurusan Pekerja Sosial yang tengah praktek
kerja (PSG) di sebuah lembaga terhadap klien. Hal ini dikarenakan pernah
terjadi protes hebat dari orang tua klien yang di tangani siswa praktek jurusan
Pekerja Sosial karena anaknya di anggap bermasalah sampai perlu di tangani. Kemungkinan,
siswa pekerja sosial memang gaya bicaranya menyinggung orang tua klien yang
ditangani atau bisa jadi si orang tua tidak bisa menerima kenyataan mengenai
anaknya sendiri sehingga orang tua yang awalnya bersedia menerima bantuan
akhirnya menentang mentah- mentah bantuan tersebut.
Kejadian
ini, mirip dengan Johan yang sadar ada sesuatu yang tidak beres dengan Martini.
Namun Johan akhirnya malah tersinggung dan menolak bantuan untuk terapi
Martini.
Cerpen
Baby Blues dapat di baca selengkapnya di http://gwp.co.id/baby-blues/?pid=32698&Baby%20Blues atau http://semangkaaaaa.blogspot.com/2015/06/baby-blues_16.html
SELESAI
No comments:
Post a Comment