Aku
baru duduk tiga puluh detik. “Mobilnya datang!” mereka menerobos masuk sambil
bersiap mengangkat semua tas punyamu.
Badanmu
lemas. Tapi, kamu masih saja menggenggam bolpoin pinjaman dan beberapa lembar
kertas. Isinya puisi. Barangkali.
Aku
kelewat takjub waktu melihat kamu. Kamu ringkih. Jiwamu sudah mengawali
keringkihanmu. Rangkaian ucapan terimakasih buatmu tercecer, sejak aku sampai
di depan pintu.
“Hei.
Terimakasih sudah membuat aku lebih menata niat untuk menulis!” mestinya itu
yang aku ucap.
Kamu
sangat hati- hati bergerak. Kamu menutupi badanmu yang gemetar. Kamu menahan
mual dan sakit.
Aku
fokus bercerita ini itu. Hal- hal yang aku paksa, bisa bikin kamu tersenyum
atau tertawa untuk beberapa detik.
Berhasil.
Kamu tersenyum tipis beberapa detik. Aku tahu, kamu cuma sedang bertoleransi.
Kamu ingin aku segera berhenti berusaha membuat kamu tertawa. Kamu ingin aku
segera pergi. Kamu ingin menutup mata tanpa boleh aku melihatnya.
Kamu
adalah rumah bagi banyak orang. Kamu rumah mereka. Kamu rumahnya. Kamu rumah
dia. Kamu rumahku. Tapi, kamu sendiri tidak pernah memiliki rumah.
Pulanglah.
Naiki mobil itu. Jangan kembali, sebelum kamu mau sedikit merendah buat memeluk
Bapakmu.
Pulanglah.
Naiki mobil itu. Jangan kembali, sebelum kami sudah terbiasa untuk tidak selalu
pulang pada kamu.
Kamu
bakal jadi lebih hebat. Ketika kamu sudah menemukan rumah…
SELESAI
NB: Terinspirasi dari kutipan Anny
Zahra M,”Dia adalah rumah bagi banyak orang. Tapi, dia sendiri tidak meiliki
rumah”
No comments:
Post a Comment