“Ayo!”
Z mempersilahkan aku untuk duduk di boncengan motornya.
Z
matanya sedih. Aku tahu kamu pasti ngerti.
Bermenit- menit setelah kamu pergi naik mobil, dia tetap sedih. Tapi dia
tidak menangis. Dia laki- laki. Laki- laki kebanyakan, yang tidak terlatih
untuk menangis.
Kamu
jahat. Kamu biasakan Z untuk selalu pulang pada kamu. Z menganggap kamu rumah.
Dan selalu begitu!
Kamu
pergi naik mobil. Z rasa, dia sudah kehilangan rumah. Kamu tahu apa rasa
kehilangan rumah?
Z
takut kena panas. Z takut kena hujan. Z kelewat terbiasa, tidak
kena panas dan hujan. Karena kamu, adalah rumahnya. Rumah yang membuat dia lupa
bagaimana rasa ketika terkena panas dan hujan.
“Z
aku lupa bilang pada dia. Aku berterimakasih. Karena dia, aku jadi lebih niat untuk menulis,” Z meilirik aku dari
spion. Kemudian, dia buru-buru kembali melihat kearah depan.
“Nanti
juga dia bakal kembali. Katakan saja waktu dia kembali lagi,” ucapan Z
kedengaran tidak meyakinkan. Bukan berarti dia bohong soal ucapannya. Tapi, Z
suaranya kelihatan takut. Takut menghadapi panas dan hujan selama kamu belum
kembali.
“Oke.
Baiklah,” suaraku selalu ceria. Padahal, aku kecewa penuh karena ucapan
terimakasihku pada kamu tercecer begitu saja.
Kami
diam. Aku melihat ke kiri dan kanan. Memberi kesempatan buat Z untuk
mengendalikan napas dan ketakutannya.
“Dia
guru yang hebat. Bukan begitu?”
Z
menarik napas dalam- dalam. Dia seperti bersiap untuk bicara banyak tanpa jeda
napas.
“Dia
memang guru yang hebat. Dengan ilmu psikologinya dia bisa…” Z terus bicara.
Inti pembicarannya sama. Bahwa kamu. Adalah guru yang hebat.
Aku
mengalihkan pandanganku ke sisi kiri. Aku berkali- kali cuma mengiyakan ucapan
Z.
SELESAI
No comments:
Post a Comment