"Setelah suntuk
berbicara hal-hal besar, jangan lupa buang air kecil. Karena mengurusi perkara
besar tidak selalu identik dengan terbengkalainya perkara yang kecil. Malah
laptopmu ini tersusun dari komponen hardware dan software kecil-kecil."
Teriak sahabat Addul yang nongkrong dengan begitu tabah di bawah kolong
selangkangan Manusia sejak semula.
Tulis mas Faruq dalam status
fesbuk terbarunya. Status yang kelihatannya remeh dan mengandung sesuanu. Tapi,
pantas sekali buat di maknai, di like, di bagikan, dan di, dan di lainnya.
Setelahnya, aku ingat gambar
bikinan Windha yang ketika di edit dan persatukan dengan status mas Faruq…
Gila! Pas sekali hasilnya. Mereka berdua memang gila, aku sangat menyukai
mereka berdua.
Hasil tulisan dan gambar,setelah saya edit. |
Satus mas Faruq dan gambar
Windha, bisa di perjelas dengan cerita sederhana di bawah ini;
Seorang bapak yang bekerja sebagai penjaga
gudang, sangat cerdas bertutur soal pemerintahan. Ya, cerdas sekali dia bicara
soal faksi A versus faksi B. Pada kenyataannya, tiga minggu yang lalu dia di keluarkan dari pekerjaannya karena ketahuan memasukkan barang di gudang dalam
kantung bajunya. Gaji dari pekerjaannya sudah sangat mencukupi, pemilik gudang
yang merupakan tiyang[1]
Cinten[2]
yang kata orang identik dengan pelit, nyatanya juga begitu humanis padanya juga
pekerja lainnya, perkara gaji, jam kerja dan kesehatan.
Si bapak kurang apa lagi?
Anak istrinya tidak pernah menuntut
macam-macam. Asal bisa makan cukup dan bergizi, juga berpakaian pantas, mereka
tidak menuntut apa-apa lagi.
Sesudah keluar dari pekerjaannya sebagai
penjaga gudang, bapak tersebut beralih profesi menjadi penjual kerupuk.
Kebiasaannya mengoceh soal ‘orang-orang atas’ yang salah menaikkan harga BBM,
yang tidak mampu menurunkan harga pendidikan dan yang, dan yang lainnya, tetap
jadi ocehannya sehari-hari.
Bapak tersebut selalu keluar masuk rumah
dengan jumlah krupuk yang sama. Menjual krupuk sebagai cara lain untuk memberi
makan anak istrinya pun, dia ternyata tidak mampu. Tidak satu bungkus kerupuk
pun laku dia jual selama dua minggu dan minggu-minggu berikutnya.
“Anak-anak cerdas yang mampu sekolah sampai
luar negeri itu, mereka tidak mau kembali ke Indonesia. Kelak, kamu jangan jadi
seperti mereka, Nak.” Tutur bapak tersebut pada putrinya yang sudah dua bulan
belum membayar SPP dan makan nasi lauk kerupuk saban hari.
No comments:
Post a Comment