Friday, June 26, 2015

Besar dan Kecil


"Setelah suntuk berbicara hal-hal besar, jangan lupa buang air kecil. Karena mengurusi perkara besar tidak selalu identik dengan terbengkalainya perkara yang kecil. Malah laptopmu ini tersusun dari komponen hardware dan software kecil-kecil." Teriak sahabat Addul yang nongkrong dengan begitu tabah di bawah kolong selangkangan Manusia sejak semula.

Tulis mas Faruq dalam status fesbuk terbarunya. Status yang kelihatannya remeh dan mengandung sesuanu. Tapi, pantas sekali buat di maknai, di like, di bagikan, dan di, dan di lainnya.
Setelahnya, aku ingat gambar bikinan Windha yang ketika di edit dan persatukan dengan status mas Faruq… Gila! Pas sekali hasilnya. Mereka berdua memang gila, aku sangat menyukai mereka berdua.
Hasil tulisan dan gambar,setelah saya edit.

Satus mas Faruq dan gambar Windha, bisa di perjelas dengan cerita sederhana di bawah ini;
Seorang bapak yang bekerja sebagai penjaga gudang, sangat cerdas bertutur soal pemerintahan. Ya, cerdas sekali dia bicara soal faksi A versus faksi B. Pada kenyataannya, tiga minggu yang lalu dia di keluarkan dari pekerjaannya karena ketahuan memasukkan barang di gudang dalam kantung bajunya. Gaji dari pekerjaannya sudah sangat mencukupi, pemilik gudang yang merupakan tiyang[1] Cinten[2] yang kata orang identik dengan pelit, nyatanya juga begitu humanis padanya juga pekerja lainnya, perkara gaji, jam kerja dan kesehatan.
Si bapak kurang apa lagi?
Anak istrinya tidak pernah menuntut macam-macam. Asal bisa makan cukup dan bergizi, juga berpakaian pantas, mereka tidak menuntut apa-apa lagi.
Sesudah keluar dari pekerjaannya sebagai penjaga gudang, bapak tersebut beralih profesi menjadi penjual kerupuk. Kebiasaannya mengoceh soal ‘orang-orang atas’ yang salah menaikkan harga BBM, yang tidak mampu menurunkan harga pendidikan dan yang, dan yang lainnya, tetap jadi ocehannya sehari-hari.
Bapak tersebut selalu keluar masuk rumah dengan jumlah krupuk yang sama. Menjual krupuk sebagai cara lain untuk memberi makan anak istrinya pun, dia ternyata tidak mampu. Tidak satu bungkus kerupuk pun laku dia jual selama dua minggu dan minggu-minggu berikutnya.
“Anak-anak cerdas yang mampu sekolah sampai luar negeri itu, mereka tidak mau kembali ke Indonesia. Kelak, kamu jangan jadi seperti mereka, Nak.” Tutur bapak tersebut pada putrinya yang sudah dua bulan belum membayar SPP dan makan nasi lauk kerupuk saban hari.




[1] Tiyang: Orang dalam bahasa Jawa.
[2] Cinten: Cina/Tionghoa dalam bahasa Jawa.

No comments: