-Untuk Mavalda Junia Anu Sahanah. Selamat 43 yang ke-2.
Dapat juga di akses di, http://gwp.co.id/para-maria/Dimuat dalam antologi Cerpen, Wanita 5 Musim, MP3 FIP UM (kaming sun).
Para Maria
Oleh: Poppy Trisnayanti Puspitasari
Aku
berkali-kali bertanya dalam batin, kenapa semua perempuan kamu panggil sebagai
Maria. Berkali-kali juga, aku hampir bertanya pada kamu, mengapa aku pun kamu
panggil dengan nama Maria. Tanyaku selalu berakhir dengan kata… hampir…
“Maria…”
sapamu dengan mata hangat. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan Maria
mana yang kamu panggil. Aku kah?
“Maria...”
kamu menyentuh tanganku. Aku mendelik, aku merasa terhina. Sungguh, aku
berkali-kali melihat kamu menyentuh tangan dan bibir Maria selain aku. Tapi, jujur
saja, aku mendelik dan merasa terhina, bukan karena junjunganku sungguh tinggi
pada kulit dan kemaluanku. Aku… hanya merasa cemburu, setelah berulang melihat
tanganmu, menyentuh bibir Maria yang selain aku.
“Maria,
terimakasih.” Katamu.
“Terimakasih
untuk apa?” tanyaku dengan alis kiri yang aku tinggikan.
“Untuk
semua hal. Semua hal yang menyoal kamu. Menyoal kamu pada aku.” Kamu menjawab
sambil menempelkan ujung hidungmu di
keningnya.
Aku
mengangguk. Tanganku makin erat kamu genggam. Jantungku detaknya berkejaran,
sesak! Badanku lemas. Aku keras berusaha melawan perasaan yang ingin balas menggenggam
tanganmu. Akhirnya, aku mandek,
berhenti bergerak. Aku takut reaksiku atas genggaman tanganmu terbaca. Namun,
aku sendiri sebenarnya begitu susah melawan untuk tidak membalas genggaman
tanganmu.
Satu
waktu yang lain, sekali lagi aku melihat salah satu Maria yang selain aku, kamu
genggam tangannya. Maria itu berambut panjang sebahu, kulitnya coklat dan
bibirnya berwarna merah muda. Dia adalah Maria selain yang pernah aku lihat.
“Maria,
terimakasih.” Ucapmu.
“Terimakasih
untuk apa?” tanyanya.
“Untuk
semua hal. Semua hal yang menyoal kamu. Menyoal kamu pada aku.” Kamu menjawab
sambil menempelkan ujung hidungmu di
keningnya.
Maria
itu, balik menggenggam tanganmu. Kamu menyentuh bibirnya. Dia menyerahkan
kemaluannya pada kamu.
***
“Kamu
menyentuh bibirnya, dia kemudian menyerahkan kemaluannya pada kamu.” Tanganmu
berusaha meraih tanganku, berkali-kali. Berkali-kali juga aku mengibaskan usaha
tanganmu.
“Kamu
selalu menghakimi aku!” jeritmu.
Aku
diam. Takut mencakari batinku. Barangkali, setelah sekian kalinya aku
menghakimi kamu, kamu bakal pergi. Aku…
Ilustrasi oleh, Windha Dewi Wara |
“Aku
minta maaf… ini tanganku, boleh kamu sentuh dan genggam semaumu.” Aku menarik
paksa tanganmu. Kamu menoleh kearah lain sambil ogah-ogahan menyambut tanganku.
“Maria,
terimakasih.”
“Terimakasih
untuk apa?”
“Untuk
semua hal. Semua hal yang menyoal kamu. Menyoal kamu pada aku.” Pandangan
lembutmu selalu sama. Sama pada aku, maupun pada Maria yang lainnya. Ucapanmu
selalu sama, padaku, maupun pada Maria yang lainnya.
“Satu
dari sekianmu pun, sudah sangat menyenangkan.”
“Kamu
salah. Bukan begitu...”
“Aku
takut sakit. Maka dari itu, aku tidak berani bermimpi jadi satu-satunya buat
kamu…”
“Kamu
tidak akan merasa sakit. Semua sakit itu, bohong.”
“Bagaimana
aku bisa tahu?” aku mulai mengibaskan tanganmu.
Kamu
berdiri menghampiri pintu. Gagang pintu
kamu raih, kamu menoleh,”Masih ada besok, untuk kamu lihat, Maria.”
***
Kamu
menyuruh aku menggenggam pisau dapur, kemudian aku bersembuyi di balik almari atas
perintahmu. Dari celah almari, aku melihat Maria dengan bibir merah muda itu.
Salah satu Maria milikmu. Kamu mengucap terimakasih yang sama untuk aku dan
Maria lainnya, pada Maria yang sekarang ada di hadapanmu.
Ucapan
terimakasihmu kali ini lebih cepat, Maria yang ada di hadapanmu itu, buru-buru mendorong kamu ke atas
kasur. Dia menarik tanganmu untuk menyentuh tangan dan bibirnya, setelahnya,
dia menyerahkan kemaluannya pada kamu.
Dia
beberapa kali menjerit, sebelum lemas terlentang. Kamu memeluknya,”Maria…”
panggilan itu bukan untuk Maria yang ada di pelukanmu, aku tahu, tidak tahu bagaimana caranya. Maria yang
kamu sebut baru saja, adalah panggilan untuk aku.
Aku
keluar dari almari, pisau dapur aku genggam makin rapat.
“Tusukkan
pada sesuatu yang membuat kamu marah.”
Tanganku
gemetaran. Pisau itu aku ayun tepat di leher Maria yang ada di pelukanmu. Dia mendelik, kemudian berhenti bernapas. Ya, aku
marah pada Maria yang ada dalam pelukanmu itu.
Kamu
tersenyum. Kamu mengucap ucapan terimakasih seperti biasa. Ucapan yang jauh
lebih cepat kamu ucap ketimbang pada Maria yang aku buat mati itu.
Pisau
dapur aku lempar sejauhnya dari kasur. Kamu menyentuh tanganku,”Ini untukmu,
Mariaku.” Aku menarik tanganmu untuk menyentuh bibirku. Setelahnya, aku
menyerahkan kemaluanku pada kamu.
Aku
beberapa kali menjerit, sebelum lemas terlentang. Kamu memeluk aku,”Maria…”
panggilan itu bukan untuk aku yang ada di pelukanmu, aku tahu, tidak tahu bagaimana caranya. Maria yang
kamu sebut baru saja, adalah panggilan untuk orang selain aku.
Dari
dalam almari, muncul seorang perempuan, sepertinya dialah Maria yang kamu
maksud. Rambutnya keriting sepinggang, kulitnya putih. Aku pernah melihatmu
menyentuh tangan dan bibirnya di
satu waktu yang lain.
Maria
itu berjalan makin dekat, pisau dapur dia genggam makin rapat.
“Tusukkan
pada sesuatu yang membuat kamu marah.” Katamu, pada Maria itu.
Tangan
Maria itu gemetaran. Pisau itu dia ayun tepat di leherku yang ada di pelukanmu. Aku mendelik, napasku
terputus-putus. Aku memandangi wajahmu dengan marah. Bukan, aku marah bukan
dengan Maria-Maria milikmu, tapi sesungguhnya aku marah dengan kamu. Kamu yang sungguh
membuat aku dan Maria lainnya saling benci dan berebut memersembahkan kemaluan kami
pada kamu.
Mataku
nyaris tertutup, namun aku masih bisa melihat Maria yang baru saja mengayunkan
pisaunya pada aku, menarik tanganmu untuk menyentuh bibirnya.
Gelap.
Baca juga, Kepada Pacarmu (1)
No comments:
Post a Comment