Tuesday, June 16, 2015

Baby Blues

Merupakan Nominasi 26 Cerpen Terbaik sebuah kompetisi tingkat nasional, 06 April 2015.
Tentang Baby Blues, klik http://semangkaaaaa.blogspot.com/2015/04/baby-blues.html
'Baby Blues' Wujud Kekecewaan Kepada Teman-Teman penulis yang Asal Comot Istilah Psikologi, klik http://semangkaaaaa.blogspot.com/2015/02/baby-blues-sebuah-cerpen-wujud.html

Baby Blues
Oleh: Poppy Trisnayanti Puspitasari
17 Januari…
Jingga memeluk buku tebal warna hijau dengan sampul bertulis Sybil. Badannya gemetaran. Rambutnya lepek. Minyak dan ketombe melapisi hampir seluruh rambutnya yang sebahu. Dua pipinya dipenuhi jerawat. Matanya kelihatan ketakutan dan kikuk.
“Sa… saya mau mengembalikan buku,” Jingga meletakkan buku dan kartu anggota di meja petugas perpustakaan.
“Kamu baik- baik saja?” perempuan usia tiga puluhan yang menjadi petugas mengamati Jingga dari ujung kepala hingga kaki.
Jingga menggeleng. Dia buru- buru menarik kartu anggotanya setelah si petugas mencatat bukti pengembalian.
Baru dua langkah. Badan Jingga makin gemetaran. Kakinya lemas. Badannya jatuh. Si petugas perpustakaan berdiri memastikan. Dia kembali duduk, setelah beberapa orang mengerumuni dan berusaha menyadarkan Jingga.
“Jingga!” suara Baba mulai kedengaran. Tipis. Berulang. “Jingga!” suara Baba makin keras. Jingga tergagap. Kepalanya sangat sakit. Matanya terbuka pelan- pelan.
“Ba… Baba… aku kenapa?” Baba meletakkan kain basah di kening Jingga.
“Suhu badanmu tinggi Jingga. Kamu sempat hilang kesadaran,” tangan kiri Jingga berusaha menggapai meja kecil di samping kasurnya. Dia meraih kaca rias yang besarnya hampir dua kali telapak tangannya.
“Jingga jangan banyak bergerak. Badanmu masih sangat lemah,”
“Aku hanya…,” Jingga tidak melanjutkan ucapannya. Gemetaran. Dia meletakkan kaca itu hingga pantulan mukanya mulai kelihatan. Jingga menarik kemudian melepas napasnya cepat- cepat. Dia kelihatannya lega setelah melihat pantulan mukanya di kaca.
Tidak ada rambut lepek berminyak yang dipenuhi ketombe. Tidak ada jerawat menjijikkan yang memenuhi dua pipinya. Tidak ada mata ketakutan. Cuma ada Jingga. Rambut lurus sebahu. Wajah bersih dengan kulit kuning langsat. Mata bulat kelihatan percaya diri.
“Kamu kenapa Jingga?” Baba mengambil kain di kening Jingga yang mulai kering. Kain itu di masukkannya dalam mangkuk berisi air. Baba mengangkat kain itu kemudian memerasnya sebentar. Kain itu diletakkan di kening Jingga setelahnya.
“Tidak ada. Aku cuma mimpi buruk Ba…,”
Brak!
Pintu kamar dibanting hingga terbuka.
“Tidur! Tidur! Kamu cuma bisa tidur!” Martini. Ibu Jingga. Dia mengambil mangkuk air yang ada di atas meja. Mangkuk itu hendak di lemparkan kearah Jingga. Baba mendorong Martini hingga menabrak pintu. Mangkuk terlempar dekat pintu hingga pecah.
Jingga cuma diam. Dua tangannya meremas selimut. Matanya kelihatan tegang.
Johan. Papa Jingga. Dia bersandar lemas di depan pintu. Matanya merah. Kemejanya kelihatan kumal.
“Martini! Aku mohon berhentilah! Lima belas menit saja aku mohon. Aku lelah sekali Martini. Jingga jadi seperti itu karena kamu Martini,” badan Johan merosot hingga terduduk. Dua tangannya menjambaki rambut.
Aku jadi seperti itu? Apa maksud Papa? Jingga gagal mencerna kata- kata Johan.
“Om. Biar saya bawa Jingga keluar rumah,” Johan tidak memandang atau menanggapi ucapan Baba. Baba meraih badan Jingga. Baba menggendong Jingga ke teras rumah. Mata Jingga sedikit cair setelah badannya diraih Baba. Dia merasa aman.
Dari teras, kedengaran Johan dan Martini saling berteriak. Napas Jingga mulai berkejaran. Kelopak matanya sudah penuh dengan air.
“Lupakan saja Jingga. Ada aku sekarang,” Baba memeluk Jingga dari samping. Jingga meredam air matanya yang hampir jatuh cepat- cepat. Badan Baba didorong sedikit menjauh setelahnya.
 Jingga mengamati wajah Baba. Wajah Baba tirus. Alisnya tebal. Kulitnya lebih cerah daripada Jingga. Untuk seorang laki- laki, wajah Baba kelihatan kelewat lembut.
Dimana aku mengenal Baba? Kepala Jingga berdengung.
Dimana aku mengenal Baba? Jingga mengulang pertanyaan yang sama dalam batinnya. Kepalanya sekarang sepertidi remas.
Ada yang tidak beres dengan kepalanya setiap dia berusaha mempertanyakan kapan dia mengenal Baba.
“Jingga?” Baba menyentuh punggung tangan Jingga. Secara tidak sadar, Jingga meletakkan tangan kanannya di atas kepala sambil berkali- kali meremasnya. Jingga merasa sakit yang lumayan menggangu di kepalanya.
Jingga menggeleng. “Baba… dimana kita pertama bertemu?” mata Baba kelihatan terluka. “Kamu keberatan menjawab? Baik, tidak usah saja kalau begitu,” Jingga memalingkan mukanya.
            “Tidak apa- apa,” Baba tersenyum memaksa. Tangannya mengelus kepala Jingga.
            “Kita mulai berkenalan dari pembatas novel yang kamu sewa dari perpustakaan kota. Kamu ingat?”
            “Novel Sybil?”
            “Tepat Jingga. Kamu lupa mengambil pembatas buku punyamu ketika mengembalikan novel itu ke perpustakaan,”
            “Lalu kamu menghubungi nomor telepon yang tertera dalam pembatas buku itu?”
            “Iya. Karena aku merasa… jarang orang yang menggemari novel nonfiksi semacam Sybil,”
            “Banyak orang akan merasa ngeri ketika membaca Sybil. Tidak akan ada yang percaya seorang Mama bisa melakukan hal semenjijikkan itu pada putrinya. Setiap hari dia selalu menyiksa Sybil. Tapi aku tidak terkejut waktu membaca buku itu. Kamu tahu Mamaku Ba… meski tidak seburuk Mama Sybil tapi dia…,” Jingga mulai sesenggukan.
            “Ada aku sekarang… kamu tidak semestinya terus ketakutan begini Jingga,” Baba meletakkan tangan Jingga di pipinya.
            Suara pecahan piring mulai bersahutan dari dalam rumah. Johan berlari keluar rumah. Menuju teras.
            “Jingga! lari Jingga!” Johan berteriak. Martini membawa pecahan piring. Dia berlari menuju teras. Johan sudah berlari ke seberang jalan. Martini matanya kelihatan sangat marah. Dia melirik Jingga. Jingga dan Baba tetap berada di tempat.
            “Semua gara- gara kamu Jingga!” Martini hampir saja menusuk pecahan kaca itu pada leher Jingga. Baba menyeruduk perut Martini. Martini jatuh terlentang. Pecahan kaca di genggamannya terlempar tepat di kaki Baba.
            Baba maraih pecahan kaca itu kemudian menusukkannya ke leher Martini. Martini menjerit kemudian mulai berhenti bernapas dan bergerak.
            Jingga memeluk Baba dari belakang. Para tetangga mulai berlarian mendekat di sekeliling teras. Johan menarik badan Jingga.
            “Berhenti! Jingga berhenti!” Jingga mulai merasa basah dan lengket di kedua tangannya. Bau amis memenuhi hidungnya. Dia menunduk. Dia lihat tangannya penuh darah. Pecahan piring ada di tangan kanannya.
            Jingga gemetaran hebat. Pecahan piring itu dia lepas di lantai.
            “Tidak! Baba tidak salah. Mama selalu berlaku jahat padaku setiap hari. Papa tidak pernah membela aku seperti Baba membela aku!”
            “Jingga!” Johan mengguncang dua lengan Jingga.
            “Jangan masukkan Baba ke penjara Pa! Jangan! Dia cuma membela aku. Dia temanku Pa!” Jingga menjerit. Dia terduduk di lantai.
            “Baba? Siapa Baba? Kamu selalu ngeyel bercerita soal Baba dua minggu terakhir ini Jingga!”
            Salah seorang lelaki bertubuh tambun berinisatif memanggil ambulans dan polisi. Dia sibuk berbicara dengan ponselnya. Dia adalah tetangga yang tinggal di samping rumah Jingga.
            “Baba! Tolong aku Baba!” Jingga menoleh ke sekeliling. Dia mencari Baba. Baba tidak ada!
            Jingga berlari tehuyung menerobos orang- orang yang berkerumun. Dia mengguncang pundak seorang perempuan yang rumahnya ada di seberang jalan. “Baba! Apa Ibu melihat Baba? Dia laki- laki. Wajahnya tirus, kulitnya putih, alisnya tebal,” perempuan itu menggeleng. “Tidak ada laki- laki semacam itu sejak kami semua berkumpul disini Jingga,”
            “Papa!” Jingga menjerit. Kembali dia menerobos kerumunan. Dia mengambil pecahan piring yang ada di lantai. Dia meraih kerah baju Johan. “Karena Papa! Karena Papa, Baba jadi pergi meninggalkan aku!” Jingga hampir mengayunkan pecahan piring itu menuju leher Johan. Dua lelaki muncul di antara kerumunan. Mereka berdua memegang lengan Jingga. Jingga meronta hingga pecahan piring di tangannya jatuh lagi ke lantai.
            Polisi datang. Jingga di borgol kemudian dimasukkan dalam mobil polisi.
            “Kami butuh keterangan Bapak. Apa benar, Bapak adalah Bapak Johan?” polisi yang memiliki perut buncit dan bertubuh paling pendek menggiring Johan kedalam mobil polisi yang berbeda.
            Johan mengangguk lemah. Para tetangga mulai bubar. Garis polisi di pasang di sekeliling rumah.
            “Ini karena baby blues Pak polisi…,” Johan mencengkeram pundak polisi yang menanyainya.
            “Tenang Pak. Bisa Bapak jelaskan lebih lanjut di kantor,”           
***
Dokter mulai menulis di atas sebuah buku catatan. Mata Johan dan Martini kelihatan tegang.
“Istri anda mengidap Baby blues. Agaknya gangguan tersebut tidak diketahui selama tiga belas tahun hingga berlanjut dengan depresi. Ngomong- ngomong berapa usia putri semata wayang anda sekarang Pak?”
“Dua bulan lagi, dia genap tiga belas tahun,” Johan mulai melirik Martini yang kelihatan marah.
Dokter mengangguk.
Baby blues adalah gangguan emosi pada seoarng ibu setelah melahirkan. Biasanya terbentuk karena tekanan ekonomi, khawatir akan masa depan anak dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan si ibu akan terus menerus merasa sedih dan menangis. Kalau berlanjut, bisa berujung depresi, kekerasan dan kebencian terus menerus pada si anak,”
“Saya suka memukuli Jingga karena dia nakal! Dia nakal!” Martini menerobos keluar ruangan. Johan buru- buru berdiri.
“Istri saya tidak gila!”
“Bukan gila Pak… hanya depresi. Menurut data yang kami gali, istri Bapak suka melakukan kekerasan psikis maupun fisik pada putri Bapak. Lama kelamaan, hal ini bisa mengganggu juga pada jiwa putri Bapak. Saya sarankan, Ibu Martini segera mendapat terapi,”
“Kau!” Johan menunjuk wajah dokter. Napasnya berkejaran. Dia menggebrak meja kemudian buru- buru menerobos keluar ruangan.
***
“Jadi tiga tahun yang lalu, seorang psikolog sudah menyarankan agar Ibu Martini mendapat terapi gangguan baby blues?
Johan mengangguk.
“Saya mengabaikannya. Saya membohongi diri dengan mengatakan bahwa keluarga saya baik- baik saja,” pipi Johan mulai basah.
***
17 Januari…
Jingga memeluk buku tebal warna hijau dengan sampul bertulis Sybil. Badannya gemetaran. Rambutnya lepek. Minyak dan ketombe melapisi hampir seluruh rambutnya yang sebahu. Dua pipinya dipenuhi jerawat. Matanya kelihatan ketakutan dan kikuk.
“Sa… saya mau mengembalikan buku,” Jingga meletakkan buku dan kartu anggota di meja petugas perpustakaan.
“Kamu baik- baik saja?” perempuan usia tiga puluhan yang menjadi petugas mengamati Jingga dari ujung kepala hingga kaki.
Jingga menggeleng. Dia buru- buru menarik kartu anggotanya setelah si petugas mencatat bukti pengembalian.
Baru dua langkah. Badan Jingga makin gemetaran. Kakinya lemas. Badannya jatuh. Si petugas perpustakaan berdiri memastikan. Dia kembali duduk setelah beberapa orang mengerumuni dan berusaha menyadarkan Jingga.
“Suhu badan gadis ini panas sekali. Cari ponselnya. Hubungi Ayah atau keluarganya,”
Perempuan berkacamata tebal berinisiatif merogoh saku baju Jingga. Ponsel Jingga di temukan. Dia menelepon Johan.
Johan datang tiga puluh menit kemudian. Jingga sempat hilang kesadaran beberapa menit. Berkali- kali Johan mengucap terimakasih pada setiap orang yang membantu Jingga. Johan memasukkan tubuh putrinya ke dalam mobil.
Jingga di tidurkan Johan di atas kasur setelah sampai dirumah. Johan meletakkan kain basah di kepala Jingga. Setelahnya, Johan keluar kamar. Dia hendak menyiapkan makanan untuk Jingga.
“Papa. Siapkan makan juga untuk Baba…,” Jingga berbisik lemah. Johan cuma mengangguk. Dia menjaga perasaan Jingga.
Siapa Baba? Jingga selalu menyebut namanya dua minggu belakangan Johan selalu berpikir keras tanpa berani bertanya ketika Jingga mulai menyebut nama Baba.
Martini masuk kedalam kamar. Dia kelihatan sedih. Dia mendekati Jingga. Duduk di pinggiran kasur. Tangannya mengelus kepala Jingga.
“Jingga… jangan sakit. Mama sedih waktu Jingga sakit,” Jingga terpejam sampil menikmati tangan Martini yang hangat.
Johan tiba di depan pintu kamar sambil membawa baki makanan. Dia tersenyum.
Beberapa detik kemudian. Martini bangkit. Matanya kelihatan tegang dan marah. Dia menghampiri Johan. Dia rebut baki yang ada di tangan Johan. Dia membanting baki itu ke lantai. Pecahan piring berserakan.
“Tidur! Tidur! Kamu cuma bisa tidur!” Jingga tergagap. Dia memaksa membuka matanya yang berkunang- kunang.
Martini menghampiri Jingga. Dia menjambaki Jingga.
“Papa tolong…,” Johan cuma menggeleng. Pipinya basah. Dia membalik badan dan berjalan menjauhi kamar. Jingga menjerit kesakitan berkali- kali.
“Martini baik- baik saja. Dia tidak gila. Dia memukuli Jingga karena Jingga memang nakal,” Johan berbisik berkali- kali. Dia duduk di lantai teras rumah.
“Jingga! Jangan lari!” Martini menjerit. Jingga berlari. Dia berhenti di teras rumah sambil membawa pecahan piring.
Jingga mengacungkan pecahan piring itu kedepan.
“Jingga!” Johan ikut menjerit.
“Papa tidak pernah membela Jingga! Papa tidak pernah melindungi Jingga!” Jingga berteriak sambil kembali menerobos masuk rumah. Dia menyeret Martini hingga teras. Pecahan kaca dia tusukkan di leher Martini.
Martini menjerit sekerasnya. Para tetangga mulai berdatangan.
***
“Baba melindungi aku dari Mama!” Jingga menggeliat di atas kasur rumah sakit. Kaki dan tangannya diikat di tiap ujung kasur.

Lomba yang saya maksud, adalah lomba yang diadakan oleh Forum Sastra Bumi Pertiwi (FSBP). Tidak seperti lomba lain yang sudah nampak ganjil di depan. FSBP makin menampakkan keganjilannya justru saat distribusi buku bersama Be Book Publisher. Antara penyelenggara dan penerbit indie yang ditunjuk, saling lempar tanggung jawab. Ternyata, penyelenggara dan penerbit yang ditunjuk, hanya mengincar naskah para peserta. Kerjasama dengan penerbit indie Be Book, tidak sedari awal diketahui peserta. 

No comments: