Dimuat dan dapat juga di donwload secara lengkap di http://imadiklus.com/penelantaran-anak-dalam-keluarga-tenaga-kerja-wanita-tkw/
KARYA
TULIS ILMIAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Problematika Pendidikan Luar Sekolah
Yang dibina oleh Bapak Dr. H. Muhadjir
Effendy, M.Ap
Dibuat Oleh:
Poppy Trisnayanti P 120141400970
UNIVERSITAS NEGERI
MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
November 2014
BAB
I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Sepanjang 2013, jumlah buruh migran asal Jawa
Timur yang berangkat ke luar negeri tercatat 52.571 orang. Terjadi penurunan
sekitar delapan persen dari penempatan di sepanjang 2012 yang sebanyak 68.003
orang.[1]
Istilah “tenaga kerja” baru di perkenalkan
secara resmi pada tahun 1966. Waktu itu dibentuk Kabinet Ampera dan Departemen
Perburuhan diganti namanya menjadi Departemen Tenaga Kerja. Menurut Undang-
undang No. 14 tahun 1969 Bab I ayat 1 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja disebutkan bahwa:
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa terutama untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri atau masyarakat.”
Sedangkan pekerja adalah “Setiap orang yang
bekerja atau menerima upah atau imbalan lain.”
Tenaga kerja adalah “Golongan atau bagian
penduduk yang berumur antara 10- 56 tahun.” Tegasnya adalah semua orang atau
penduduk yang berumur 10- 56 dan mampu melakukan pekerjaan guna mendapatkan
penghasilan termasuk Tenaga Kerja Wanita yang sering disebut TKW.[2]
Motif
keberangkatan buruh migran keluar negeri/ Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagian besar adalah pemenuhan ekonomi. Munculnya
pemikiran untuk bekerja diluar negeri juga karena ketidakberdayaan atau
kebuntuan usaha dalam mencari pemenuhan ekonomi di dalam negeri.
Memang TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah profesi
yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Pilihan untuk bekerja di luar
nege ri adalah keputusan yang cukup
berani, mengingat fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh para majikan
kepada TKW (Tenaga Kerja Wanita). Kasus tindak kekerasan sampai tahun 2011 ini
saja, banyak yang belum bisa diungkap dan ditindak lanjuti dengan serius oleh pemerintah
Indonesia. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan minat orang Indonesia untuk
bekerja di negeri orang. Kebanyakan dari para tenaga kerja tersebut adalah kaum
perempuan yang seharusnya lebih berorientasi kepada rumah tangga untuk lebih berperan
mengurusi bagian internal keluarganya. Tetapi, karena alasan kebutuhan ekonomi,
para ibu rumah tangga ini nekad memutuskan untuk bekerja dengan marantau ke
negeri orang dengan bekal tekat untuk merubah nasib dan kehidupannya dan
keluarga.[3]
Pemenuhan ekonomi keluarga itulah yang
menjadikan seorang wanita nekad pergi keluar negeri. Meninggalkan keluarga pun
seperti menjadi resiko lazim bagi seorang TKW.
Keluarga menurut Ki Hadjar Dewantara dalam
Soeratman (1997) adalah kumpulan beberapa yang karena terikat oleh satu turunan
atau perkawinan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang
memiliki hak dan berkehendak bersama- sama memperteguh gabungan itu untuk
kemuliaan semua anggotanya. Batasan di atas mencerminkan bahwa keluarga secara
hakiki memiliki keistimewaan karena dipimpin oleh kepala keluarga, biasanya
seorang Ayah atau seorang Ibu dalam keluarga tunggal (single parent)
berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan
bertempat tinggal. Dengan demikian patutlah dikatakan bahwa keluarga adalah
tempat terindah, surga (dalam ajaran Islam) terindah di dunia, agen dalam
proses sosial dan media komunikasi warganya.[4]
Banyak sekali kajian yang membahas Tenaga
Kerja Wanita. Akan tetapi dari sekian banyak kajian tersebut, sebagian besar
pastilah membahas mengenai eksploitasi TKW itu sendiri diluar negeri apalagi
banyak dari mereka yang pergi bekerja sendirian tanpa suami atau keluarga.
Padahal, keluarga yang ditinggalkan Tenaga Kerja Wanita pun tidak luput dari
permasalah. Utamanya pada anak- anak Tenaga Kerja Wanita yang tentu saja belum
bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Ketika memutuskan untuk bekerja dan menjadi
TKW mereka tidak pernah berpikir jauh tentang resiko apa yang akan didapatkan selama bekerja dan sesudah
bekerja bagi diri dan keluarga. Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana
mendapatkan uang yang banyak untuk perbaikan ekonomi (memutuskan rantai
kemiskinan).[5]
Kepergian ibu dalam sebuah keluarga sebagai Tenaga
Kerja Wanita mengakibatkan anak- anak harus di asuh oleh ayah mereka sebagai
orang tua tunggal. Ayah muncul sebagai pemangku tanggung jawab yang kemudian
berperan ganda setelah kepergian ibu, karena ayah merupakan alternatif pertama dan
paling dekat dengan keseharian anak- anak di dalam keluarga inti. Anak- anak
yang dimaksudkan adalah anak- anak dengan usia yang belum dewasa. Seorang anak yang
belum dewasa belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi dan perlindungan dirinya. Mereka
masih sangat membutuhkan figur orang dewasa untuk mengarahkan kehidupan mereka
sehari- hari.
Dalam Undang- Undang Perkawinan no. 01 tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), anak didefinisikan sebagai berikut:
“Anak yang belum mencapai umur 18 tahun
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.”[6]
Sayangnya, banyak ayah yang tidak sanggup mengelola sendiri berbagai
kebutuhan dan perlindungan anak- anak tanpa kehadiran ibu. Ketidaksanggupan ini
berupa ketidaksanggupan pengasuhan dan pengelolaan dana. Ketidaksanggupan
pengasuhan apabila berasal dari ayah mengakibatkan munculnya peran pengganti
orang tua bagi anak seperti nenek, bibi, kerabat bahkan hingga anak jatuh di
tangan keluarga lain.
Disamping ketidaksanggupan pengasuhan yang
seringkali menimpa anak- anak yang ditinggal ibunya bekerja sebagai Tenaga
Kerja Wanita, penyalahgunaan dana yang dikirim dari gaji hasil bekerja ibu juga
sering terjadi. Penyalahgunaan ini bahkan terjadi di tangan ayah atau kerabat
sebagai alternatif pengasuh anak. Penyalahgunaan yang dimaksud ialah ketika
gaji ibu yang dikirim dari hasil bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita
dipergunakan bukan untuk utamanya pendidikan dan kesehatan anak. Dana tersebut
digunakan diluar kepentingan anak bahkan hingga kepentingan anak tidak
terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan finansial anak merupakan bentuk
penelantaran apalagi sampai membuat anak tersebut kesulitan dalam mengahadapi
kehidupan yang berkelanjutan.
Seperti telah dijelaskan dalam perundangan di
atas, hak orang tua atau wali atas pengasuhan anak sebenarnya bisa dicabut.
Syarat pencabutan tersebut ketika orang tua atau wali yang mengasuh menelantarkan
hak- hak yang mestinya di dapat oleh anak. Sayangnya, perlindungan terhadap
anak melalui perundangan yang sudah jelas isinya seperti tersebut di atas belum
bisa nyata di tegakkan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang melatarbelakangi seorang perempuan bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
2.
Bagaimana
munculnya orang tua tunggal dan orang tua asuh dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita
(TKW)?
3.
Bagaimana
permasalahan pengasuhan anak dalam keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
hal apa yang melatarbelakangi seorang perempuan bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
2.
Mengetahui
bagaimana munculnya orang tua tunggal dan orang tua asuh dalam Keluarga Tenaga
Kerja Wanita (TKW).
3.
Mengetahui
permasalahan pengasuhan anak dalam keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).
BAB
II
Pembahasan
A. Latar
Belakang Seorang Perempuan Bekerja Sebagai
Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Ketidakmampuan kepala keluarga dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi membuat dorongan besar bagi seorang istri sekaligus ibu di
dalam keluarga untuk turut membantu pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sayangnya,
seringkali istri sekaligus ibu di dalam keluarga memiliki pendidikan dan
ketrampilan yang rendah sehingga sulit mendapat pekerjaan layak yang sanggup
menyambung kebutuhan ekonomi keluarga. Perempuan pun pergi keluarga negeri demi
memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjadi TKW. Pergi keluar negeri sebagai
tenaga kasar di pabrik bahkan sebagai pembantu rumah tangga pada kenyataannya
memang tidak menuntut pendidikan dan ketrampilan yang tinggi sehingga di anggap
sebagai jalan pintas yang paling mudah bagi para ibu tersebut demi membantu
pemenuhan ekonomi keluarga.
Melihat
pada kenyataan yang ada bahwa kepergian perempuan-perempuan (terutama perempuan
pedesaan) sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri adalah tidak
terlepas dari banyaknya persoalan yang ada dan tidak teratasi di dalam negeri,
terutama persoalan lapangan pekerjaan bagi kaum miskin (terutama perempuan yang
berpendidikan dan berketrampilan rendah). Rakyat miskin selalu dihadapkan pada
persoalan kesulitan ekonomi, rakyat miskin ingin bekerja layak dan mendapatkan pekerjaan
yang layak, tetapi karena skill yang rendah semua keinginan rakyat
miskin tidak terealisasi. Dengan ketrampilan yang rendah, memang alternatif
pekerjaan yang mudah dijalani adalah sebagai pembantu Rumah Tangga (PRT).
Keinginan dan keputusan para perempuan menjadi TKW di luar negeri adalah
merupakan langkah yang bagi TKW adalah sangat tepat untuk diambil, karena
bekerja di luar negeri memberikan jaminan gaji yang berkali kali lipat besarnya
daripada bekerja di negeri sendiri. Padahal dengan memutuskan bekerja di luar
negeri, banyak sekali resiko-resiko yang harus ditanggung. Perempuan, terutama
yang sudah berkeluarga, akan menghadapi resiko yang lebih besar daripada yang
belum berkeluarga. Para ibu/istri yang berangkat ke luar negeri sebagai TKW dengan
meninggalkan keluarganya (suami dan anak) akan menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan/pergeseran- pergeseran dalam keluarganya.[7]
Kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi
mengakibatkan sebuah keluarga bisa juga disebut sebagai keluarga pra sejahtera.
Pengukuran model BKKBN melahirkan klasifikasi keluarga yang terdiri dari
keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga
Sejahtera III Plus.
Keluarga Pra Sejahtera: jika tidak memenuhi
satu sayarat sebagai Keluarga Sejahtera I.
Keluarga Sejahtera I: dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, yaitu:
1. Melaksanakan
ibadah menurut agama oleh masing- masing anggota keluarga.
2. Pada
umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali atau lebih.
3. Seluruh
anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/
bersekolah dan berpergian.
4. Bagian
terluas dari rumah bukan lantai tanah.
5. Bila
anak sakit dan atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana
kesehatan.[8]
Terkait
kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi, sebuah keluarga pra sejahtera tidak
bisa memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya. Tidak terpenuhinya kebutuhan
sandang dan pangan tercermin dalam pengukuran keluarga pra sejahtera model
BKKBN poin kedua, ketiga dan kelima. Dimana di dalamnya termasuk tidak
terpenuhinya kesehatan. Jadi, latar belakang keluarga dimana seorang wanita memutuskan
untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita keluar negeri sebagian besar adalah
keluarga pra sejahtera.
B. Munculnya
Orang Tua Tunggal Dan Orang Tua Asuh Dalam Keluarga Tenaga kerja Wanita (TKW)
Keberangkatan Tenaga Kerja Wanita keluar
negeri sepintas memang seperti sebuah jalan keluar akan permasalahan ekonomi
yang dialamai oleh keluarganya. Pada kenyataannya, kepergian TKW keluar negeri
dengan meninggalkan keluarganya terutama anak ternyata meninggalkan berbagai
masalah. Masalah tersebut sebagaian besar terkait pengasuhan anak dan gaji hasil
kerja yang dikirimkan semestinya dikelola siapa dan bagaimana pelaksanaan
pengelolaanya.
Migrasi
yang dilakukan oleh perempuan menyangkut beberapa persoalan dan konsekuensi yang harus mereka tanggung.
Bagi yang belum berkeluarga akan terjadi perubahan dan pergeseran status dan
peran, dari sebelumnya ikut orang tua dengan aneka macam peraturan yang harus
dipatuhi, dan dalam posisi selalu tergantung kepada orang tua, kemudian berubah
menjadi perempuan yang mandiri yang tidak tergantung, kepada orang tua. Bagi
yang sudah berkeluarga, akan
menimbulkan pergeseran- pergeseran dalam kehidupan rumah tangga mereka, baik
dalam hal pola hidup, pola kerja,
maupun dalam peran yang selama
ini mereka jalani sebagai
seorang istri dan ibu. Oleh karenanya dengan perginya perempuan
bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja memunculkan eksistensi perempuan dalam
hubungannya dengan orang tua/ keluarga, hubungannya dengan suami, dan hubungannya
dengan anaknya, serta dengan masyarakat.[9]
Lebih jelas lagi, resiko terbesar bagi wanita
tersebut adalah meninggalkan anak- anak yang
harus ditinggalkan bersama ayah mereka sebagai alternatif pengasuhan pertama.
Dengan demikian, ayah menjadi orang tua tunggal.
Dimaksudkan dengan orang tua tunggal (dalam
konsep Barat disebut “single parent”) dalam bahasan ini ialah orang tua dalam
satu keluarga yang tinggal sendiri yaitu ayah saja atau ibu saja. Orang tua
tunggal dapat terjadi karena perceraian, atau karena salah satu meninggalkan
keluarga, atau siapa saja baik muda maupun tua dalam kondisi ayah meninggal
dunia, sehingga ibu menyendiri bersama seluruh anggota keluarganya, atau ibu
meninggal dunia sehingga ayah menyendiri bersama dengan keluarganya.
Orang tua tunggal dihadapkan kepada kenyataan
dan tantangan untuk melakukan berbagai tugas dan fungsi keluarga sendirian.
Keluarga dengan orang tua tunggal mempunyai situasi dan kondisi khas yang
mungkin berbeda dengan keadaan keluarga utuh. Situasi itu akan membawa berbagai
kemungkinan munculnya berbagai masalah, termasuk masalah- masalah psikologis.
Dalam keluarga tunggal ayah atau ibu harus melaksanakan dua fungsi sekaligus
yaitu fungsi ayah atau fungsi ibu. Fungsi- fungsi keluarga seperti fungsi ekonomi,
fungsi pendidikan, fungsi sosial, fungsi budaya dan sebagainya harus dipikul
sendirian.[10]
Ayah
dalam keluarga Tenaga Kerja Wanita harus juga berperan ganda untuk menggantikan
posisi ibu yang hilang. Keadaan tersebut merupakan satu hal yang tidak lazim
dilakukan sehari- hari oleh ayah sehingga di dalam keluarga muncul sebuah
kekosongan atas ketidak hadiran ibu bagaimanapun ayah mencoba berperan ganda.
Kekosongan ini dapat menimbulkan kekagetan dan masalah- masalah psikologis
lainnya baik pada diri ayah maupun diri anak- anak yang ditinggalkan.
Ketidakhadiran ibu sehingga ayah mesti melakukan peran ganda membuat ayah bisa
dikatakan sebagai orang tua tunggal.
Kekosongan
dalam keluarga bisa berdampak perasaan tidak mampu dalam diri ayah untuk
mengasuh anak- anak di dalam keluarga. Perasaan tidak mampu tersebut bisa juga
benar- benar terwujud dalam pengasuhan. Anak- anak akhirnya harus di alihkan
pengasuhannya kepada kerabat terdekat ketika pengasuhan benar- benar tidak
mampu dilakukan oleh ayah.
Bukan cuma
terkait masalah pengasuhan, pengelolaan dana hasil kerja ibu sebagai Tenaga
Kerja Wanita juga bisa menjadi sumber kekagetan pada diri ayah sebagi pemangku
tanggung jawab. Dana yang cukup besar bisa dipergunakan untuk segala keperluan
diluar hak- hak anak. Hak- hak anak yang tidak terpenuhi akan menimbulkan
kesadaran kerabat terdekat untuk mengambil alih pengasuhan anak.
Sayangnya,
banyak ketidakjelasan siapa yang berhak mengelola dana hasil kerja ibu dan
untuk apa dipergunakan dana tersebut. Pengasuhan dan pengelolaan dana tidak
memiliki landasan yang kuat sehingga ayah, kerabat maupun orang lain yang telah
diberi kuasa menerima dana hasil bekerja akan tetap dapat menyalahgunakan dana
tersebut. Meskipun dalam perundangan telah disebutkan bahwa seorang anak berada
dalam perlindungan orang tua atau wali dan apabila perlindungan yang berarti
terkait pengasuhan dan pemenuhan ekonomi tersebut tidak dipenuhi orang tua atau
wali, sebenarnya hak atas pengasuhan anak bisa di cabut dari orang tua atau
wali.
Meskipun
anak- anak telah berada di tangan yang tepat dalam pengasuhannya sekalipun itu
diluar lingkup ayah atau bahkan kerabat, hak- hak finansialnya bisa saja tidak
terpenuhi karena gaji ibu yang seharusnya dipergunakan untuk memenuhi hal
tersebut bisa jadi tidak dikendalikan atau dikuasai juga oleh pihak yang
bersedia mengasuh mereka dengan baik. Masalah akan berlanjut lebih jauh apabila
ternyata pihak tersebut juga sama- sama memiliki keterbatasan di sisi ekonomi.
Keberadaan anak tambahan yang mesti di asuh pun menjadi beban bagi keluarga
yang bersedia mengasuh.
Pihak-
pihak yang dirasa mampu atau mau bertanggung jawab atas pengasuhan anak disebut
sebagai orang tua asuh meskipun pihak tersebut berasal dari kerabat anak
tersebut sendiri.
Keberadaan
orang tua asuh muncul karena kepedulian dengan sesama dalam membantu anak yang
sangat kekurangan. Kekurangan bisa di artikan pula sebagai ketidakmampuan pihak
sebelumnya untuk mengasuh anak dan juga pemenuhan hak- hak finansial anak.
Orang dewasa yang menjadi orangtua asuh
memberikan beberapa alasan: (1) untuk memiliki anak (2) menjadi orang yang
perduli dengan sesama (altruis), dan (3) membantu anak yang sangat kekurangan.[11]
C. Permasalahan
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Sebagian besar
keluarga yang terbentuk di Indonesia menekankan pembagian peran antara pria dan
wanita yang sangat terang perbedaannya. Hal ini juga terjadi di dalam keluarga Tenaga
Kerja Wanita. Perempuan yang perannya biasa di bebankan seputar pekerjaan rumah,
mengelola keuangan dan pengasuhan anak akhirnya harus pergi bekerja keluar
negeri dengan meninggalkan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan dan juga anak-
anak. Sedangkan suami sebagai keluarga inti terdekat setelah istri yang biasa
dibebani pekerjaan terkait menopang ekonomi harus menjadi pengganti istri dalam
pekerjaan rumah, mengelola keuangan dan pengasuhan. Hal ini akan menimbulkan
kekosongan dan kebingungan bagi anak- anak dalam keluarga maupun ayah yang
harus melaksanakan peran ganda. Peran ganda pun sebagian besar tidak terlalu
bisa dilaksanakan dengan baik. Peran ayah maupun ibu dalam keluarga akhirnya menjadi
rumpang.
Peran
mengelola keuangan adalah salah satu peran yang kemungkinan besar sulit
dijalankan oleh ayah karena dahulunya di anggap bukan sebagai peran atas
dirinya di dalam keluarga. Mengelola keuangan terkait dengan hasil kerja yang
sudah biasa di dapat dari profesi ayah dan juga hasil kerja ibu sebagai Tenaga
Kerja Wanita di luar negeri apabila memang di percayakan kepada suami untuk
kepentingan keluarga terutama anak.
Aplikasi Struktural
Fungsional dalam Keluarga berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari
anggota keluarga tersebut, hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu
dan anak perempuannya, dll. Terdapat 2 (dua) Bentuk keluarga yaitu: (1)
Keluarga Inti (nuclear family), dan (2) Keluarga Luas (extended
family). [12]
Persyaratan struktural yang harus dipenuhi
oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi: (1) Diferensiasi peran
yaitu alokasi peran/ tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga,
(2) Alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga,
(3) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota
keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) Alokasi politik yang menyangkut
distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) Alokasi integrasi dan ekspresi
yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian
nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi
tuntutan norma-norma yang berlaku.[13]
Apabila
pengasuhan tidak dapat dilakukan ayah maka pengasuhan akan dilakukan oleh
kerabat diluar keluarga inti. Sayangnya, pengalihan pengasuhan tidak juga
diikuti dengan pengalihan pengelolaan dana dari gaji ibu yang bekerja sebagai Tenaga
Kerja Wanita diluar negeri. Pengelolaan
dana akan di bebankan tanggung jawabnya kepada orang pertama yang memang
diberikan tanggung jawab sebelum ibu berangkat keluar negeri. Meskipun orang
pertama yang diberikan tanggung jawab tersebut selanjutnya tidak dapat
menjalankan tanggung jawabnya, pengelolaan dana bisa jadi akan tetap dikelola
oleh pihak pertama yang diberikan tanggung jawab. Pengasuhan bisa juga beralih
dari orang pertama yang diberikan tanggung jawab kepada pihak lain. Namun,
tidak ada landasan hukum yang bisa menekan bahwa dana yang berasal dari gaji
ibu sebagai Tenaga Kerja Wanita harus juga dialihkan kepada siapa saja yang
membawa beban tanggung jawab dalam pengasuhan anak. Akibatnya, seringkali anak-
anak yang ditinggalkan ibunya keluar negeri dan pengasuhannya telah dialihkan, tidak
diikuti pengelolaan dana hasil kerja ibu yang juga dikelola dan alokasikan
untuk pengasuhan anak. Terjadilah kesenjangan antara pihak yang leluasa
mengelola dana dengan pihak yang dibebani pengasuhan anak. Pihak yang leluasa
mengelola dana bisa jadi menyalahgunakan haknya untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Adanya pengalihan tanggung jawab anak- anak yang
ditinggalkan ibunya ke Arab Saudi kepada keluarga (suami, orang tua, mertua).
Umumnya orang tua atau ibu mertua menerima tanggung jawab tersebut dengan
sukarela. Mereka ikut membantu mengurus keluarga yang ditinggalkan.
Permasalahan muncul makanala menyangkut uang kiriman dari TKW. Ini dapat
menimbulkan salah paham antara orang tua dengan suami, bahkan sampai pada
pertengkaran atau konflik rumah tangga.[14]
Gangguan emosional terjadi pada anak- anak
yang ditinggalkan, atau orang tua yang menanggung beban tanggung jawab mengurus
cucu yang ditinggalkan ibunya.[15]
Kondisi ini memicu konflik antar anggota keluarga,
seperti mertua dan menantu. Hal ini merupakan dampak dari perubahan pertanggung
jawaban keluarga, yang semula merupakan tanggung jawab intern keluarga ini,
setelah istrinya pergi ke Arab Saudi, tanggung jawab, terutama anak- anak dan
pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, memasak dan membersihkan rumah
diserahkan pada suami, orang tua atau anak yang sudah dianggap dewasa.[16]
Keluarga
yang mengasuh anak bisa juga memiliki keterbatasan terkait ekonomi sedangkan
dana dari gaji ibu yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita tidak disalurkan
sama sekali untuk kepentingan anak oleh pihak yang terlanjur mengendalikan
pengolaannya. Maka, utamanya pendidikan dan kesehatan anak tidak akan terpenuhi
dan keberadaan anak akan menjadi tambahan beban bagi keluarga yang mengasuhnya.
Anak selain mengalami kekagetan terkait pengalihan pengasuhan juga tidak akan
terpenuhi hak- haknya secara finansial.
Landasan hukum mengenai pengasuhan sudah
jelas tercantum dalam perundangan. Akan tetapi, pengelolaan dana hasil gaji
Tenaga Kerja Wanita yang dikirim untuk keluarga biasanya hanya mempergunakan
perjanjian tidak tertulis antar keluarganya sendiri terkait untuk apa dana
tersebut dipergunakan. Hal ini kemudian menjadikan dana yang dikirim rawan
penyalahgunaan. Terkait dengan pengasuhan anak telah tercantum dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th. 2002) Bab VI mengenai kuasa asuh
pasal 30.
1. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26,
melalaikan kewajibannya dapat dilaksanakan tindakan pengawasan atau kuasa asuh
orang tua dapat dicabut.
2. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan
kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan[17]
Keluarga sendiri sebenarnya memiliki tiga
fungsi yaitu fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan dan
motivasi sosial.
1. Fungsi Pendidikan
Keluarga pada awal perkembangan peradaban
manusia merupakan satu- satunya institusi pendidikan. Proses pendidikan pada
masa tersebut sepenuhnya ada dalam keluarga. Keluarga masih mampu mendidik
anaknya untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja untuk sekadar memenuhi
kebutuhan hidup, misalnya pendidikan untuk bekal di bidang pertanian, berburu,
pendidikan moral atau agama dan pendidikan untuk mempertahankan diri dari
serangan musuh. Pada perkembangan berikutnya karena tuntutan jaman berangsur-
angsur fungsi pendidikan pindah ke institusi diluar keluarga yaitu pendidikan
nonformal dan formal. Pendidikan nonformal berkembang lebih awal karena
kebutuhan belajar tentang norma yang terkait dengan keyakinan agama. Keluarga
merasa perlu untuk mengirimkan anaknya ke pondok pesantren agar memiliki bekal
agama yang cukup untuk hidup di masyarakat. Di dalam pondok pesantren disamping
belajar agama masih juga belajar bela diri untuk memppertahankan diri dari
serangan lawan dan banyak lagi materi pendidikan yang diperoleh di
lingkingkungan pondok tersebut. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa
pendidikan formal dapat berkembang lebih cepat karena perkembangan ilmu
pengetahuan lebih maju dan tidak mungkin dipelajari di dalam keluarga dan di
lembaga pendidikan nonformal. Pendidikan formal dapat memberikan jaminan untuk
memperoleh pekerjaan sesuai dengan diferensisasi pekerjaan yang ada di dalam
masyarakat. Namun pada masa terkahir kini sudah dirasakan fungsi pendidikan
formal tidak dapat sepenuhnya menjamin lapangan kerja karena perkembangan
penduduk yang sangat cepat, sehingga lulusan pendidikan formal tidak dapat
mengimbangi jumlah lapangan kerja yang tersedia. Pertambahan bertambah kompleks
setelah kebutuhan ekonomi tidak lagi dapat terpenuhi oleh keluarga dengan
jumlah anak semakin banyak.
2. Fungsi Ekonomi
Proses perubahan ekonomi pada masyarakat
industri telah mengubah sifat keluarga dari institusi pendesaan dan agraris
menjadi institusi perkotaan dan industri. Perubahan tersebut mempengaruhi
fungsi keluarga yang awalnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil
pekerjaan anggota keluarga, menjadi keluarga yang kebutuhan hidupnya dicari
diluar keluarga dan bahkan meninggalkan desanya untuk bekerja dalam dunia
industry. Dengan demikian fungsi produksi keluarga hilang, berubah menjadi
fungsi konsumtif, dimana anggota keluarga menjadi satuan konsumsi semata. Dalam
proses perubahan tersebut keluarga mempunyai fungsi motivasi sosial yang dapat
mendoronganaknya gar memperoleh pendidikan yang cukup sehingga dapat memasuki
dunia kerja yang dapt menopang kebutuhan hidup keluarganya.
3. Fungsi Perlindungan dan Motivasi Sosial
Pada masyarakat tradisional keluarga berusaha
memberikan perlindungan baik fisik maupun sosial. Perlindungan fisik diberikan
kepada anak- anak yang masih kecil, berupa pemberian rawatan, kesehatan,
pemberian pakaian untuk melindungi badan atau perlindungan dari ancaman lawan
dan bahkan perlindungan tersebut dapat berupa pemberian rumah tempat tinggal
untuk anaknya yang mulai berumah tangga. Sedangkan masyarakat maju atau modern
sudah merubah bentuk perlindungannya, misalnya perawatan di ambil alih oleh
perawat yang di datangkan dari luar keluarga, anak cukup diberi pendidikan yang
memadai sehingga dapat mandiri. Demikian pula untuk motivasi sosial orang tua
terhadap anaknya. Dalam masyarakat tradisional motivasi sosial diberikan kepada
anaknya sesuai dengan tuntutan hidup keluarga, sedangkan dalam keluarga maju
motivasi sosial diberikan terhadap anaknya agar mereka dapat hidup mandiri,
tidak tergantung pada orang tuanya atau tergantung kepada orang lain.[18]
Kelalaian keluarga dalam mengasuh anak
sehingga tidak bisa menjalankan ketiga fungsi tersebut sebenarnya dapat
berakibat pencabutan hak asuh. Hal ini juga berlaku di dalam keluarga Tenaga
Kerja Wanita dimana seorang anak sampai berpindah pengasuhan dari satu pihak ke
pihak lain akibat kelalaian pihak pertama. Hukum semacam ini sayangnya belum
dapat secara penuh ditegakkan.
BAB
III
Penutup
Sebuah keluarga dengan istri atau ibu yang
memutuskan pergi keluar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)
kemungkinan besar akan mengalami disfungsi antar anggota keluarga. Semua ini
terkait dengan peran antar anggota keluarga hingga kekagetan- kekagetan menyoal
pengalihan pengasuhan yang mungkin tidak bisa di kendalikan dengan baik oleh
anggota keluarga inti sehingga harus melibatkan kerabat bahkan orang lain
diluar anggota keluarga inti.
Keluarga bukan hanya tempat bagi anak- anak
untuk mendapat pengakuan darimana mereka berasal dalam bentuk administratif namun
keluarga sebenarnya juga memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi pendidikan,
fungsi ekonomi, fungsi perlindungan dan motivasi sosial. Dengan ini, keluarga
bisa disebut sebagai sebuah institusi pendidikan. Keluarga merupakan institusi
pertama dan utama dimana seorang anak pertama kali mengenal orang lain selain
dirinya sendiri, mengenal peraturan, sekaligus juga mendapat perlindungan
selama masa pertumbuhannya. Oleh karena itu, keluarga memiliki pengaruh besar
dalam proses pertumbuhan seorang anak. Keseharian seorang anak juga sebenarnya
dihabiskan jauh lebih banyak dalam lingkup pendidikan informal yaitu keluarga
ketimbang dalam lingkup pendidikan formal (persekolahan) maupun nonformal
(masyarakat). Untuk itu, dalam perubahan selama proses pertumbuhan seorang
anak, keluarga memiliki pengaruh sangat besar ketimbang institusi pendidikan
lainnya.
Terkait keluarga Tenaga kerja Wanita.
Ketidakjelasan pengelolaan dana hasil gaji Tenaga kerja Wanita bekerja diluar
negeri yang sebenarnya dipertukkan utamanya bagi peningkatan kesehatan anak-
anak dalam keluarga dan juga ketidakjelasan pengalihan pengasuhan anak- anak
menjadi permasalahan utama.
Mengenai pengasuhan oleh orang tua atau wali
memang memiliki payung hukum. Anak- anak yang tidak terpenuhi kebutuhan atau
hak- haknya sebenarnya bisa dicabut hak asuhnya dari orang tua atau wali
meskipun dalam kenyataannya, hal tersebut belum bisa nyata di tegakkan.
Sayangnya, terkait dana yang dikirimkan Tenaga
kerja Wanita dari luar negeri pada keluarga yang sesungguhnya diharap mampu
meningkatkan taraf hidup utamanya anak- anak. Tidak ada kejelasan dan payung
hukum yang menekan bahwa dana hasil kerja yang dikirim Tenaga kerja Wanita
kepada keluarganya harus memiliki alokasi khusus untuk memenuhi kebutuhan anak-
anak. Penelantaran anak akhirnya rawan terjadi. Disebut sebagai penelantaran
anak adalah ketika hak dan kebutuhan anak tidak terpenuhi hingga kehidupan anak
menjadi sulit baik saat ini maupun dihari depan.
Model bimbingan kepada keluarga agaknya
memang tepat untuk memantau terpenuhi atau tidaknya kebutuhan dan hak- hak anak
dalam keluarga Tenaga kerja Wanita mempergunakan gaji yang dikirimkan. Namun,
model bimbingan kepada keluarga tidak akan cukup menekan penyalahgunaan dana
yang dikirim Tenaga kerja Wanita kepada keluarga dari luar negeri. Model surat
perjanjian agaknya jauh lebih tepat dan mampu menekan penyalahgunaan dana
tersebut.
Model surat perjanjian dalam keluarga terkait
pengelolaan dana sebenarnya sudah dipergunakan dalam Program Keluarga Harapan
(PKH). Akan tetapi, dana yang dikelola dalam PKH berasal dari pemerintah
terkait yang bertujuan memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan keluarga
utamnya anak- anak.
PKH (Program Keluarga Harapan) adalah suatu
program yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RSTM),
jika mereka memenuhi persayaratan yang terkait dengan upaya peningkatan
kualitas sumberdaya manusia (SDM, yaitu peningkatan pendidikan dan kesehatan.
Tujuan utama PKH adalah untuk mengurangi
kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama pada kelompok
masyarakat miskin. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat
pencapaian target MDGs. Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas:
1).
Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM
2).
Meningkatkan taraf pendidikan anak- anak RTSM
3).
Meningkatkan status kesehatan dan gizi RTSM
4).
Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya
pagi RTSM.
Sasaran atau penerima bantuan PKH adalah RTSM
yang memiliki anggota keluarga terdiri dari anak usia 0- 15 tahun dan atau ibu
hamil atau nifas dan berada pada lokasi terpilih. Penerima bantuan adalah Ibu
atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (jika
tidak ada ibu maka: nenek, tante/ bibi, atau kaka perempuan dapat menjadi
penerima bantuan). Jadi, pada kartu kepesertaan PKH pun akan tercantum nama
ibu/ wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Untuk itu, orang
yang harus dan berhak mengambil pembayaran adaah orang yang namanya tercantum
di Kartu PKH.[19]
Serupa dengan program PKH. Model perjanjian
pengasuhan dalam keluarga Tenaga kerja Wanita dalam rangka menanggulangi
penelantaran anak, juga menghadirkan salah satu penanggung jawab yang telah
berusia dewasa dimana penanggung jawab tersebut berperan sebagai pengelola dana
yang dikirim Tenaga kerja Wanita kepada keluarga dalam rangka memenuhi hak dan
kebutuhan anak- anak. Penganggung jawab tersebut juga bisa menjadi wali bagi
anak.
Calon penerima terpilih harus menandatangani
persetujuan bahwa selama mereka menerima bantuan, mereka akan:
1).
Menyekolahkan anak 7- 15 tahunserta anak usia 16- 18 tahun namun belum selesai
pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar
2).
Membawa anak usia 0- 6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur
kesehatan PKH bagi anak
3).
Untuk ibu hamil, harus memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitas
kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi ibu hamil.[20]
Dalam perjanjian pengasuhan, poin ketiga
tidak perlu dituliskan. Titik tekan persetujuan ini terutama kepada
penyelesaian pendidikan anak selama 9 tahun mempergunakan gaji ibu sebagai
Tenaga Kerja Wanita yang dikirim kepada wali sebagai penanggung jawab.
Pelaksanaan surat perjanjian pengasuhan ini bisa bekerja sama dengan pihak-
pihak yang terkait dalam Program Keluarga Harapan yang juga mempergunakan surat
pernyataan sebagai landasaan pemenuhan hak- hak anak. Wali atau penanggung
jawab akan mengisi data- data terkait anak- anak yang menjadi tanggungan dan
juga akan menandatangani surat pernyataan terkait pemenuhan hak- hak anak
mempergunakan gaji yang dikirim. Dengan demikian meskipun ibu jauh dari
lingkungan anak- anak, hasil kerja ibu berupa gaji tidak akan disalahgunakan,
pemenuhan hak kesehatan dan pendidikan akan menjadi prioritas utama dari dana
hasil kerja tersebut.
Dalam pemenuhan kebutuhan anak menggunakan
gaji yang dikirimkan ibu dari luar negeri juga ada pendampingan bagi setiap
keluarga. Pendampingan dan pengawasan pemenuhan kebutuhan kesehatan dan
pendidikan anak serupa dengan yang ada di Program Keluarga Harapan. Dengan
pendampingan, keluarga yang dipantau akan lebih mudah medapat bantuan apabila
terjadi hambatan- hambatan. Pendampingan ini terutama memastikan bahwa
kebutuhan anak atas pendidikan dan kesehatan terpenuhi sepenuhnya. Pendampingan
juga berperan melindungi anak- anak dan menekan pihak keluarga yang bertanggung
jawab apabila terdapat penyimpangan- penyimpangan yang menyalahi hak dan
kebutuhan anak.
Penanggung jawab pengelolaan dana gaji ibu
akan dicatat secara administratif. Penanggung jawab tersebut bisa menjadi
penanggung jawab pengelolaan dana sekaligus wali bagi anak atau bisa juga wali
dan pengelola dana adalah orang yang berbeda.
Daftar
Pustaka
Kumalasari, Luluk Dwi 2011, ‘ Keharmonisan
Keluarga TKW Dalam Perpektif Gender (Studi
Di Donomulyo Malang)’, Humanity, vol. 6, no. 2
Marta, Nur’aeni 2008, ‘ Tenaga Kerja Wanita Yang Bekerja Di Arab Saudi
Tahun 1983- 1990’, tesis, Universitas Indonesia
Brooks, Jane 2011, The Process Of Parenting, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mundzir, H.S 2005, Sosiologi Pendidikan, Elang Mas, Malang
Surya, Mohammad 2001, Bina Keluarga, Aneka Ilmu, Semarang
Sinar Grafika 2005, Undang- Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th.
2002, Sinar Grafika, Jakarta.
Sudiapermana, Elih 2012, Pendidikan Keluarga Sumberdaya Pendidikan Sepanjang Hayat, Edukasia
Press, Bandung
Diakses pada 15 oktober 2014 <http://uulgintingg.wordpress.com/2012/05/31/batas-usia-dewasa-menurut-aturan-hukum-di- Indonesia/>
Surya Online 2014, Surabaya, dikases 15
oktober 2014, <http://surabaya.tribunews.com/2014/01/12/jumlah-tki-jatim-berkurang>
[1] Surya Online 2014, Surabaya, dikases 15
oktober 2014,
[2]
Nur’aeni, Marta 2008, ‘ Tenaga Kerja Wanita Yang Bekerja Di Arab Saudi Tahun
1983- 1990’, tesis, Universitas Indonesia
[3] Luluk Dwi, Kumalasari
2011, ‘ Keharmonisan Keluarga TKW Dalam Perpektif Gender (Studi Di Donomulyo Malang)’, Humanity, vol. 6, no.
2, hlm. 106 - 115
[4]
H.S, Mundzir 2005, Sosiologi Pendidikan,
Elang Mas, Malang, hlm. 71
[5]
Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit hlm. 106
- 115
[6] Diakses pada 15 oktober 2014 <http://uulgintingg.wordpress.com/2012/05/31/batas-usia-dewasa-menurut-aturan-hukum-di- Indonesia/>
[7] Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit hlm. 106
- 115
[8]
Elih, Sudiapermana, 2012, Pendidikan
Keluarga Sumberdaya Pendidikan Sepanjang Hayat, Edukasia Press, Bandung,
hlm. 77
[9]
Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit, hlm. 106
- 115
[10]
Mohammad, Surya 2001, Bina Keluarga,
Aneka Ilmu, Semarang, hlm 230
[11]
Jane, Brooks 2011, The Process Of
Parenting, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 887
[12]
Institut Pertanian Bogor, ‘Konsep dan Teori Keluarga, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
[13]
Ibid
[14]
Marta, Nur’aeni, loc.cit
[15]
Ibid
[16]
Ibid
[17]
Sinar Grafika 2005, Undang- Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th. 2002,
Sinar Grafika, Jakarta.
[18]
H.S, Mundzir, op.cit hlm. 72-74
[19]
Elih, Sudiapermana, op.cit hlm 116-118
[20]
Elih, Sudiapermana, op.cit hlm 119
No comments:
Post a Comment