Bilur,
Sarasvati
Saya
tidak bisa melihat apapun di lapangan berkerikil itu. Tidak ada teman-teman
atau lemparan bola kasti seperti beberapa menit lalu. Saya tidak ingat apa
sebabnya. Apakah semua karena saya tidak kunjung pulang hingga lewat pukul
lima, atau karena saya terus tidur hingga pukul lima lewat. Matahari makin
lenyap, dan saya tetap tidak menemukan siapapun. Senyap.
***
Matahari
tidak pernah lagi muncul sejak jalan saya yang senyap. Langit warnanya abu-abu,
begitu juga dengan tanah dan udara yang saya lewati. Saya terus berjalan lurus,
namun hanya lapangan berkerikil yang sama, saya dapati.
“Dia hilang…”
“Kabarnya, setelah tidak pulang
bermain lewat pukul lima.”
“Kabarnya, setelah tidur hingga
pukul lima lewat.”
Saya
mendengar suara bersahut-sahutan. Tahu-tahu, saya sudah ada di halaman rumah
seseorang. Terlihat beberapa orang lelaki mengobrol sambil mengisap
berbatang-batang rokok.
“Saya
ingin pulang!” jerit saya.
Namun,
mereka diam.
“Saya
ingin pulang!” Jerit saya lagi dengan langkah makin mendekat pada mereka.
“Kamu tidak bakal pulang!”
Gemuruh
suara lelaki dan perempuan bersahutan. Saya tidak yakin, suara-suara itu
berasal dari para lelaki yang tengah mengobrol di hadapan saya.
“Saya
ingin pulang! Kalian dengar?!” jerit saya berulang.
“Diam!”
Bentak
suara bergemuruh yang makin mendekati diri saya.
Tangan-tangan
hitam menarik saya menjauh dari kerumunan lelaki yang tengah mengobrol di
hadapan saya. Mereka membikin kulit saya terasa melepuh dan menyakitkan.
“Saya
ingin pulang!”
***
Seorang
lelaki sepuh kelihatan menenteng sekaleng cucian. Saya seperti pernah mengenal
dia dengan baik. Dia tidak sesepuh itu, sebelum segala yang saya pandang jadi
abu-abu dan senyap. Betul! Dia seorang tetangga yang tinggal beberapa blok dari
rumah saya. Bagaimana dia bisa setua itu?
“Saya
ingin pulang!” jerit saya.
Namun,
sosok lelaki itu malah menjauh dari tempat saya berdiri. Dia menoleh pada saya
dengan posisinya yang makin menjauh. Beberapa kali dia mengusap mata kirinya.
Dia melihat saya!
“Se…
Seno?” panggilnya memastikan siapa saya.
Dia
berusaha mendekat. Namun tangan-tangan hitam membekap bibir hingga seluruh
wajah saya. Lelaki tua itu berusaha mendekat menuju tempat saya berdiri, sedang
tangan-tangan itu mulai membuat kulit saya seperti melepuh dan makin
menyakitkan.
Saya
kembali berada di lapangan yang penuh dengan kerikil. Saya berjalan lurus
dengan udara dan tanah yang berwarna abu-abu.
***
“Bertahun-tahun
lalu, ada seorang tetangga yang menemukan dia. Dia sudah jadi lelaki dewasa.
Tetangga itu berusaha mengejarnya. Sayang, dia lenyap.” Ucap seorang perempuan
paruh baya pada lelaki muda yang ada di hadapannya.
Seorang
gadis kecil yang kira-kira berusia enam tahun, menggenggam erat tangan lelaki
muda yang agaknya memang ayahnya.
Saya
berjongkok mendekati gadis itu. Dia memandangi saya dengan kacamata yang
melorot dari tulang hidungnya.
“Kamu
bisa antar saya pulang?” tanya saya.
Gadis
itu tanpa rasa takut nyaris menyentuh wajah saya. Namun, mendadak tangan-tangan
hitam mulai membekap bibir hingga wajah saya. Kulit yang terasa melepuh mulai
menjalar di sepanjang punggung saya.
Saya
melihat pipi gadis itu mendadak basah. Dia mulai menjerit sambil
memunjuk-nunjuk tangan-tangan hitam yang menarik saya menjauh. Ayah gadis itu
berusaha menenenangkannya dengan menepuk kepalanya berkali-kali.
Hingga
saya tidak bisa melihatnya lagi, gadis itu tetap menunjuk-nunjuk sambil
menangis.
***
Saya
melihat gadis itu membawa sebuah kitab kecil. Gadis berkacamata yang sama. Dia
yang menjerit ketakutan melihat tangan-tangan hitam yang membekap bibir hingga wajah
saya beberapa waktu lalu.
Gadis
itu tetap anak-anak. Hanya saja tinggi tubuhnya bertambah beberapa senti,
barangkali. Bagaimana bisa tinggi tubuhnya bertambah beberapa senti dalam
beberapa waktu?
Dia
menatap saya. Matanya gelisah. Saya tahu, dia tidak bermaksud untuk takut pada
saya. Namun, mungkin tangan-tangan hitam itu masih membuatnya ngeri dan menerus dia ingat.
Gadis
itu kemudian membaca kitabnya keras-keras. Nama Tuhan disebutnya berkali-kali. Dia
ketakutan dan agaknya ingin saya pergi melalui nama-nama Tuhan yang dia sebut.
Bacaannya itu membikin tangan-tangan hitam yang hendak membekap saya menjauh.
Tubuh saya sendiri terasa sedikit panas. Gadis itu tidak berhenti, hingga saya
memutuskan pergi menembus dinding kamarnya.
***
“Ayah,
saya ingat cerita soal anak lelaki yang hilang waktu kecil itu.” Ucap seorang
gadis berkacamata pada seorang pria paruh baya yang tengah mengaduk kopi di
hadapannya.
“Seorang
warga pernah menemukannya. Anehnya, dia dalam keadaan sudah dewasa dan kemudian
menghilang waktu tetangga itu coba mendekatinya.” Balas ayahnya.
“Saya
tidak suka tinggal di tempat itu, Ayah. Banyak hal aneh.”
“Dan
kita sudah tidak tinggal di sana sekarang…”
Saya
berjalan makin mendekat. Gadis yang agakanya sekarang berusia dua puluh tahunan
itu merasai tengkuknya yang merinding.
“Saya
ingin pulang…” bisik saya.
Ada
perasaan pengap, sedih dan gelap saya rasakan. Saya hanya ingin pulang.
“Bisa
kamu bantu saya?” bisik saya lagi.
Gadis
itu malah menunduk sambil mulai menangis. Tidak seperti masa kecilnya, dia
tidak benar-benar bisa mengenali wajah saya sekarang. Namun, agaknya dia yang
sekarang justru malah bisa merasakan emosi yang saya rasakan.
“Ada
apa?” tanya lelaki paruh baya yang memang ayahnya itu.
“Dia
di sini. Saya rasakan rasa sedih, gelap dan pengapnya.” Jelas si gadis.
Ayah
gadis itu merasai tengkuknya yang merinding, sedang tangan-tangan hitam mulai
merambat dari punggung menuju bibir dan wajah saya.
“Dia
hanya ingin pulang. Sebut nama Tuhan. Antar dia pulang…” jelas si ayah meski
saya yakin, dia tidak merasakan perasaan sedih, pengap dan gelap seperti yang
saya dan anak gadisnya rasakan.
Gadis
itu menyebut nama Tuhannya berkali-kali. Kali ini, bukan buat mengusir saya,
namun agaknya memang buat mengantar saya. Rasa hangat mulai merayap naik dari
jari-jari kaki saya. Tangan-tangan hitam yang hendak membekap bibir saya itu menjauh.
“Berhenti! Kamu tidak bakal
pulang!”
Jerit
tangan-tangan itu dengan suara bergemuruh. Mereka makin menjauh dan rasa hangat
makin naik hingga ujung kepala saya.
Selanjutnya,
saya tidak lagi melihat gadis itu dan ayahnya. Hanya ada jalan panjang bercahaya
putih di hadapan saya. Saya berjalan lurus dengan pengap, gelap dan sedih yang
lenyap.
Saya
selalu yakin, saya bakal bisa kembali pulang…
***
“Untukmu, yang semestinya memang segera pulang.”
Anomali
No comments:
Post a Comment