Dua
hari lalu, saya mengantarkan teman lama saya, Kartika Rose Rachmadi buat
mengambil ijasah di kampus.
Obrolan
kami di atas motor akhirnya merujuk pada Oksi, teman perempuan kami yang dulu
pernah sekelas dengan Rose di kelas tujuh dan sembilan. Oksi bertubuh kecil,
berwajah manis dengan rambut yang selalu dikepang dua.
Belakangan,
saat hendak kelulusan, Oksi sering absen pada jadwal ujian praktek bahkan
menghilang hingga waktu yang semestinya dia pergunakan buat cap tiga jari dan
pengambilan ijasah.
Mama
saya sempat mengobrol dengan eyang putri Rose soal keadaan Oksi saat mereka
sempat bertemu di sekolah. Memang, mama dan saya sempat menyambangi Oksi di
rumahnya saat dia sudah terlalu lama menghilang dari sekolah.
Oksi
menangis di hadapan mama dan saya saat kami pergi ke rumahnya. Dia patah hati.
Atau… jika dengan sopan saya boleh berkata, hatinya ‘secara tidak sengaja’
memang dipatahkan oleh salah seorang guru di sekolah kami.
Berbeda
dengan Rose yang cemerlang di bidang akademis dan disayangi oleh hampir semua
guru di sekolah, Oksi memang tidak menonjol dalam bidang akademis, sama seperti
saya.
Namun,
satu ketika seorang oknum guru merendahkan diri Oksi di depan banyak
orang. Saya sangat ingat bagaimana perkataan guru itu. Perkataannya seperti
memerjelas posisi Oksi sebagai seorang siswa yang tidak mampu dan tidak bakal
mampu perkara akademis.
Waktu
itu, saya kebetulan sekelas dengan Oksi di kelas 9-8, kelas kategori lower yang disesuaikan dengan hasil try
out. Sedang Rose, selalu masuk kelas 9-1 dari sembilan kelas yang ada.
Seluruh
kelas saat itu memandangi Oksi termasuk saya. Dia duduk dengan kikuk di sudut
kelas karena kebetulan dia duduk hampir di bangku paling belakang, sedang saya
duduk di bangku paling depan.
Oksi
menghilang lagi dan tidak pernah bisa saya temui lepas kelulusan. Bahkan dia
tidak datang pada saat perpisahan di sekolah.
Rose
sempat tidak percaya dengan perlakuan oknum guru itu terhadap
Oksi. Guru itu sendiri dikenal senang bicara hal-hal berbau religius.
Penampilannya pun juga senapas dengan bahan bicaranya. Pada Rose, oknum guru
tersebut sangat hangat bahkan mendekat pada eyang putri hingga ibu Rose.
Semua
yang ada di sekolah tahu, bahwa oknum guru tersebut sangat bangga pada murid sejenis
Rose. Seolah, murid-murid seperti mereka ada berkat kecanggihan caranya
mengajar. Soal hal yang satu ini, beliau hampir sama dengan Mr. A yang saya
ceritakan dalam (Baca juga: Patah Hati). Padahal, secara objektif, saya berani
bilang bahwa kemampuan mengajar oknum guru tersebut bahkan kurang begitu baik.
Bagaimana
dengan murid seperti Oksi? Oksi sendiri bukan siswi pelanggar peraturan. Dia
lugu, patuh dan sopan. Nilai akademis saya bahkan ada di bawah dia. Tidakkah
secara pribadi Oksi diingat punya kelebihan oleh oknum guru tersebut?
Saya
yakin, oknum guru yang kami kasihi tersebut, tidak pernah mengingat atau
mengetahui seberapa jauh dampak ucapannya pada satu siswinya yang bernama Oksi.
Tuhan
melindungi njenengan, Bu…
Semoga
njenengan selalu ada dalam doa-doa
baik dari Oksi, atau murid lain yang ‘secara tidak sengaja’ hatinya njenengan patahkan.
Semoga
cerita ini sampai padamu satu waktu nanti di saat yang tepat, Bu…
2 comments:
semoga sekarang dan sampai kapan pun beliau bisa memperlakukan semua muridnya dengan perlakuan dan kasih sayang yang sama (saya harap begitu). penghargaan diberikan karena menghargai bu :)
Semoga juga segera berhenti beliau ngaku-ngakuin murid yang udah jadi kayak dirimu sebagai hasil bimbingannya.
Post a Comment