Friday, October 14, 2016

Bagaimana Cara Menjadi Manusia?


Suatu saat, tulisan ini pasti akan sampai padamu. Tidak mungkin kamu yang menemukannya sendiri. Saya ingat, kamu tidak pernah terlalu suka membaca. Cara menulismu selalu seperti bahasa dalam pesan singkat, bahkan dalam karya tulis yang jadi tugas kuliah.
Saya tahu, kamu terus berjalan bahkan semenjak kita saling mengusir dan makin merentang jarak. Mereka bilang, kamu mengagumkan. Seorang lelaki agamis yang tidak berpacaran bahkan tidak juga bersalaman dengan perempuan. Itu kamu yang sekarang dan saya tidak tahu apa yang kamu dengar tentang saya dari orang.
Kamu yang dulu, begitu bangganya saat menceritakan bagaimana kakak tingkat di SMAmu memberimu kado, sebuah kitab suci dengan statusnya yang sebagai pacarmu. Kamu yang dulu, bercakap-cakap dengan pacarmu begitu lekatnya, hingga berciuman lewat udara.
“Saya suka dengan prinsipmu, tapi saya tidak suka dengan kamu.” Sebelum saya menatapmu lekat, kamu mengalihkan pandangan dengan jari-jari tanganmu yang bergerak gelisah.
“Prinsip?” tanya saya.
“Soal tidak pacaran...” jawabmu.
“Oh…”
“Lanjutkan prinsip itu. Saya suka…” kamu buru-buru berdiri dan berjalan makin jauh.
Saya tidak pernah menyatakan apa yang jadi prinsip saya padamu atau pada siapa saja. Dan saya tidak perlu tahu bagaimana kamu mulai menerka-nerka.
“Saya kemarin ikut kajian agama di komunitas X. Saya mulai ragu soal saya dan pacar saya.” Ucapmu.
“Segera bikin keputusan, entah itu ragu atau itu yakin. Dia perempuan yang jelas punya rasa, kamu jahat kalau tidak tegas soal hubungan kalian.”
“Oke… saya akan segera bikin keputusan.”
Tidak lama, saya dengar kamu putus dengan pacarmu yang beda kampus itu. Kita sendiri makin menjauh satu sama lain. Kamu dengan caramu mencari jati diri dan saya pun sama.
Saya kemudian mulai melihatmu yang melontar komentar panas soal anti hari valentine, berpacaran hingga percampuran antara perempuan dengan lelaki.
“Saya tidak setuju dengan percampuran antara perempuan dengan lelaki…” ucapmu.
“Percampuran yang bagaimana?” tanya saya.
“Ya… antara perempuan dan lelaki…”
“Kamu suka cak Nun tidak?”
“Ya… saya nonton dia waktu di UMM.”
“Laki-laki dan perempuan berbaur di sana, lintas generasi, lintas profesi, yang bertato hingga yang tanpa tato. Tidak ada sekat buat belajar. Percampuran macam begitu yang kamu tidak setuju?”
Kamu diam dan kembali pergi.
“Cara belajarmu itu salah. Mestinya, kamu belajar syariat dulu baru ma’rifat…” tuduhmu.
“Saya cuma ingin jadi manusia…” balas saya.
“Tapi kamu salah. Kata guruku, mestinya syariat dulu baru ma’rifat.”
Kita makin berjarak setelahnya. Saya jengah dengan agama yang berubah jadi momok di tanganmu. Kamu jengah dengan saya, yang kamu tangkap seperti tidak terikat pada satu tata cara beragama tertentu. Semoga kita menemukan cara menjadi manusia…
Tuhanku yang maha kasih, lihat betapa memuakkannya umatmu ini…
Yang atas namamu, kami saling meretas hubungan setelah perdebatan-perdebatan…

Tambahan November 2021,
Kira-kira 2016 atau 2017, seorang teman lelaki menyatakan kekagumannya padamu di depan saya. Dia bilang, prinsip dan beragamamu keren. Kala itu, dengan lantang kamu menyatakan apa-apa saja yang jadi peganganmu hingga banyak orang tahu memang.
Lalu tahun ini, seorang teman yang lain terkekeh melihatmu mengunggah video berboncengan dan berpelukan dengan pacarmu di media sosial.
Tapi lebih dari itu, saya justru salut atas kejujuran beserta semua prosesmu hari ini. Bukankah proses tidak pernah layak dihakimi? Hanya saja semoga, kita sama-sama sudah saling memaafkan dengan siapa saja di hari lalu yang kita tuding sebagai si tidak benar, lalu dengan legowo juga mengakui kita juga sedang berproses.

Tambahan Mei 2023,
Sampai juang di pernikahan. Semoga langgeng dalam ibadah seumur hidupmu.
Temanmu yang terkekeh di 2021 itu sedang 'merasa paling' juga ternyata. Lantas ia diuji pula di 2022.
'Merasa paling', meski itu dalam hati sedemikian menakutkan ternyata. Tuhan menyiapkan ujian-ujian setiap rasa paling ini berembus. Ya, setiap embusannya.