Monday, October 3, 2016

Jodoh

Lolos Workshop Cerpen Kompas Jawa Timur, 2015

“Kamu ini terlalu pemilih, Agni!” nada bicara ibu mulai meninggi. Suara pisau yang dia ayunkan di atas talenan, ketukannya makin keras. Beberapa potongan wotel berceceran di lantai, seolah mereka lebih memilih melompat, ketimbang terkena ayunan pisau ibu yang mulai sembarangan.
“Ah, aku bukannya pemilih, Bu. Aku hanya… ya… mencoba mendapat seseorang yang tulus. Andai saja, aku dianugrahi Tuhan, kemampuan untuk mengetahui bagaimana karakter masa kecil seseorang. Aku pasti tidak bakal ragu, untuk memilih satu diantara mereka. Ibu tahu, kan? Karakter masa kecil, merupakan gambaran sifat seseorang yang sesungguhnya.” Balasku.
Ibu tidak membalik punggungnya ataupun menoleh, setelah mendengar balasanku. Namun, pundak ibu mulai kelihatan naik dan turun teratur. Sepertinya, ibu tengah menahan sesenggukan setelah mendengar balasanku. Ini bukan terjadi pertama kali. Ah, ini hanya taktik ibu, biar aku melunak kemudian mengiyakan atau mengamini ucapannya. Ucapannya, bahwa aku adalah seorang pemilih.
Aku pelan-pelan berjalan menjauh dari dapur. Kursi meja makan aku tarik, kemudian aku duduk di atasnya dengan punggung yang melorot. Napasku berkejaran, seperti telah lelah berlari kencang. Berdebat dengan ibu, selalu jadi satu hal yang sungguh melelahkan. Hal yang sama, selalu jadi bahan perdebatanku dengan ibu, soal sikapku yang menurutnya pemilih perkara jodoh.
Ah, aku hanya mencoba mendapatkan yang terbaik. Aku bukannya seorang pemilih. Seperti tiga minggu yang lalu misalnya, ada seorang lelaki yang usianya lebih tua dua belas tahun dari aku, dia bekerja sebagai seorang notaris. Selama enam bulan, dia rajin bertandang kerumahku dengan membawa buah tangan yang isinya macam-macam, ada kerudung buat ibuku, dua kardus martabak buatku, dan banyak buah tangan lainnya. Setelah beberapa lama rajin membawa buah tangan, dia berani juga mengutarakan niatnya buat melamar aku.
Lelaki itu tidak terlalu tampan, kulitnya putih, tuturnya santun, cukup supel, rambutnya cepak dan kelihatnnya merupakan pekerja keras. Sesungguhnya, dengan semua hal yang nampak terlihat dimilikinya itu, aku sempat simpatik pada dia. Namun, aku menolak ketika dia melamarku. Terus terang, saat menolak lamarnnya itu, rasa simpatiku sudah cukup lama berubah menjadi antipati. Dua bulan pertama, ketika kami saling kenal dari seorang teman lama, dia mendadak menyatakan ketertarikannya pada teman satu kantorku di Taman Kanak-Kanak tempatku bekerja. Kali pertama dia melihat wajah teman perempuanku itu, dari foto kami bersama, yang dengan sengaja aku posting di media sosial. Ranti, nama temanku itu. Wajahnya kalem, kepalanya dibalut jilbab dengan kacamata tebal yang disangga oleh tulang hidungnya.
Aku kemudian mengenalkan dia pada Ranti. Ranti pendiam dan kaku, beda dengan aku yang kata banyak orang kelihatan cepat berbaur dan hangat. Barangkali, itulah yang membuat Ranti hingga sekarang hanya dikelilingi teman-temannya yang sesama perempuan, termasuk aku. Bahkan untuk seorang lelaki yang berstatus teman pun, aku tidak pernah melihatnya di sekitar Ranti. Meski begitu, Ranti selalu tampil memesona di hadapan anak-anak. Dia seorang pendongeng yang ekspresif dan selalu menyedot perhatian. Dia selalu kelihatan percaya diri, ketika mulai memainkan boneka tangan.
Setelah pertemuan pertama, lelaki itu makin menunjukkan ketertarikannya yang lebih terhadap Ranti. Dengan semangat, dia selalu memuji paras kalem Ranti yang menurutnya sangat memesona, di hadapanku.
“Ranti pernah membicarakan soal aku pada kamu?” tanyanya satu waktu dengan mata berbinar.
Aku menggeleng. Selain pendiam dan kaku, Ranti juga tertutup. Usia kami sama-sama menjelang seperempat abad, tapi sungguh, aku belum pernah melihat ekspresi kekagumannya pada seorang lelaki, selama dua tahun kami bekerja di tempat yang sama. Dia beda dengan aku, juga dengan teman-teman kami lainnya yang sekantor. Bagi kami yang masih melajang, cerita-ceria soal kekaguman pada laki-laki tertentu, jadi topik utama yang biasa kami angkat dalam obrolan sehari-hari.
“Ehm, Agni. Dia sering berusaha menelepon aku. Semalam pun begitu, dia dua kali menelepon aku, tapi aku sengaja tidak mengangkat teleponnya.” Ranti tiba-tiba bercerita soal lelaki itu sambil jarinya sibuk memencet tombol virtual di ponselnya.
“Oh, ya? Bukan masalah kan, Ran? Kamu lajang dan dia pun lajang. Apa salahnya, kalau kalian berdua memulai… ehm… penjajakan.” Sahutku menggebu-gebu. Aku seolah lupa, bahwa diriku sendiri pun adalah seorang lajang. Aku terlalu bersemangat untuk menjodohkan Ranti dengan lelaki itu. Mereka berdua adalah orang baik, pikirku. Aku menyimpan kekaguman atas kerja keras dan kesopanan lelaki itu dan juga kekaguman atas kemampuan Ranti mendongeng di depan anak-anak.
Ranti menggeleng. Dia tidak pernah membahas lelaki itu lagi setelahnya. Seminggu kemudian, terdengar kabar bahwa Ranti dekat dengan seorang lelaki yang usianya lima tahun lebih tua daripada kami. Ternyata, salah seorang teman sekantor kami yang telah berkeluarga mengenalkan lelaki itu padanya. Lelaki yang gambar wajahnya, selalu menjadi tampilan utama di layar ponsel Ranti dalam minggu-minggu berikutnya. Foto di mana lelaki itu melamar Ranti, tersebar melalui media sosial kemudian. Ranti mendapat hujan ucapan selamat sekaligus menjadi bahan guyonan di kantor.
“Wah, Dik Ranti ini macam artis-artis itu ya, ternyata. Selama ini kelihatan melajang, eh tiba-tiba lamaran,” Salah seorang teman sekantor kami yang usianya empat puluhan, tergelak paling keras.
“Nah, gimana dengan Dik Agni? Kapan nih, menyusul?” lanjutnya. Rasa tersinggungku sedikit tersulut. Wajahku terasa panas. Aku takut kalau kulitku yang berwarna kuning langsat, menyemburkan warna merah karena rasa malu. Buru-buru kurogoh kaca seukuran kepalan tangan dari dalam tasku. Sekilas aku melihat wajahku dari pantulannya. Aku lega, tidak ada warna merah tersembur dari wajahku.
“Saya pasti bakal segera menyusul, andai saja saya dianugrahi Tuhan, kemampuan untuk melihat masa kecil seseorang.”
“Hah? Kamu ini, itu semua tidak menentukan apapun, Dik.”
“Karakter masa kecil, menggambarkan karakter seseorang sesungguhnya.”
“Ah, pantaslah ibu dan bapakmu menamai kamu dengan nama Agni. Kamu memang seperti geni, api. Cerdas, kuat, kritis, sinis dan tidak mudah dikalahkan.” Gelak tawa bersahutan dan menyebar di seluruh ruangan. Wajahku makin terasa panas. Sungguh aku tersinggung. Ini semua memang keteguhan yang aku pegang! Tidak pantas dipergunakan sebagai bahan bercanda semacam ini!
***
Setelah mengetahui status Ranti yang telah menjadi calon istri lelaki lain. Lelaki kenalanku yang gagal mendekatinya itu, mulai gencar menyapa aku melalui pesan singkat. Dia sering menawarkan diri buat menjemput aku dari tempat kerja, namun aku menolaknya. Ajakan untuk makan bersama juga sering dia tawarkan, namun aku tetap menolaknya.
Sikapnya yang setelah kalah dalam mendapatkan Ranti, lantas berbalik arah mendekati aku, menurutku sangat memuakkan. Aku antipati padanya. Seolah aku adalah pilihan lain setelah Ranti lepas. Sebuah pilihan yang sayang dilewatkan ketimbang tidak ada pilihan lain. Usia lelaki itu sudah kelewat matang untuk dibilang pantas berumah tangga. Dia pasti lelaki yang tengah kelabakan mencari pasangan hidup. Perempuan manapun yang ada di hadapannya, dia anggap sebagai satu peluang buat menjadi pendamping hidup. Benar-benar sikap yang memuakkan!
Ah, andai Tuhan benar-benar menganugrahi aku sebuah kemampuan untuk mengetahui karakter masa kecil seseorang. Aku tentunya tidak perlu menerka seberapa besar tendensi seorang lelaki yang tengah mendekati diriku. Dengan kemampuan itu, langsung saja aku dapat menentukan apakah dia benar-benar tulus dalam bersikap atau hanya sekadar menjunjung etika. Singkat kata, aku bakal mampu mendeteksi ketulusan seorang lelaki.
Keyakinan bahwa karakter masa kecil seseorang, merupakan gambaran sifat sesungguhnya bagi orang tersebut di masa depan, aku yakini dari pendapat ayah. Menurut ayah, aku memang seperti namaku, Agni. Sejak kecil, aku memang keras membela banyak hal yang aku rasa benar. Aku seperti geni, api. Melahap apa saja yang aku anggap menghalangi keyakinanku.
Ketika aku dewasa, sifatku yang cenderung melahap apapun, yang menghalangi, aku tutupi dengan etika yang kubentuk sendiri. Sikap hangat dan mudahnya aku berbaur, menyamarkan karakter asliku yang nampak kesemuanya di masa kecil.
Selama hampir empat tahun, aku sendiri juga berkecimpung di dunia anak-anak. Aku menjadi guru di sebuah Taman Kanak-Kanak. Dengan mataku sendiri, aku melihat bagaimana anak-anak berlaku sesuai dengan karakter yang mereka bawa. Mereka belum mampu menutupi karakter mereka dengan etika, lepas dari baik buruknya.
“Agni! Temanmu sedang menunggu di teras depan.” Ibu berkata-kata berbarengan dengan tangannya yang mengetuk pintu kamarku.
Aku merenggangkan tangan dan kakiku di atas kasur. Ah, dia sudah datang rupanya. Buru-buru aku melompat untuk memutar gagang pintu. Ketika pintu mulai terbuka, sosok ibu dengan mimik wajah yang cemas mulai kelihatan.
“Ada apa, Bu? Kenapa wajah ibu…” ucapanku belum selesesai. Ibu buru-buru mendelik dan menekan suaranya yang marah, berusaha berbisik.
“Kamu berteman dekat dengan pemuda yang menunggumu itu, Agni?”
“Tentu, kami dekat.” Aku cengengesan sambil pelan-pelan keluar melalui pintu kamarku. Sengaja aku menggoda ibu. Wajah ibu kelihatan makin pucat.
“Agni!” ibu membentak aku dengan tetap berusaha berbisik.
Sambil terkekeh, aku berlari menuju teras depan. Aku tidak lupa berteriak,”Hanya teman, Bu!”
Mendengar lanjutan dari ucapanku, wajah pucat ibuku kelihatan berkurang. Aku mengerti, ibuku selalu khawatir. Pemuda yang dikatakan ibuku, sebagai seorang teman yang tengah menunggu aku di depan teras rumah itu, namanya Akbar. Rambutnya panjang sebahu, bahkan lebih panjang dari rambutku. Kulitnya hitam, perawakannya kurus. Akbar gemar memakai celana yang sobek di bagian lutut. Sepintas, dia lebih mirip pedagang asongan yang banyak berkeliaran dekat warung ibu di terminal. Padahal, Akbar sesungguhnya adalah seorang perupa yang punya cukup banyak uang buat membeli celana baru dari hasil penjualan karyanya.
Akbar bukan satu-satunya teman lelaki eksentrik yang justru membuat aku simpatik dan nyaman. Penampilan mereka, memang jauh dari kata ‘normal’ menurut ibuku, jika dibandingkan dengan lelaki yang gagal mendekati Ranti dan lamarannya aku tolak itu. Ibuku sudah cukup kenyang, melihat aku membawa seorang lelaki bertindik tiga atau berambut oranye ke dalam rumah.
“Kenapa kamu tidak bisa membuka diri untuk seorang lelaki yang…ehm… lebih ‘normal’? hanya untuk berteman saja, Agni.” Tutur ibu satu waktu.
“Apakah mereka yang ‘normal’ itu tulus? Aku tidak mengetahui bagaimana karakter masa kecil mereka” aku balas bertutur.
“Bagaimana dengan teman-temanmu yang… ehm… kurang ‘normal’ itu? Apa mereka tulus? Apa kamu mengetahui karakter masa kecil mereka?” ibu balik bertanya.
“Andai mereka busuk. Mereka setidaknya memang sebusuk penampilannya. Tidak terlalu mengecawakan. Jika itu terjadi, aku tidak bakal merasa dikhianati.” Ucapanku semacam pamungkas. Memang mata ibu terluka mendengar ucapanku yang satu ini, Namun, dengan ucapan ini, ibu berhenti menyahut.
Aku memang Agni…
***
“Menikah?!” ibu setengah menjerit. Dua tangannya meremas taplak yang menempel di meja makan.
Aku mengangguk.
“Apa yang membuat kamu menerima dia, Agni?” ibu bertanya sambil meneliti seluruh gerakan bola mataku.
“Dia teman sekelasku ketika Taman Kanak-Kanak. Ibu beberapa kali mengobrol dengan ibunya di depan pagar sekolah. Dulu, dia selalu membela siapa saja yang tidak mampu membela dirinya sendiri. Aku yakin, karakter itu tetap berjaya dalam dirinya hingga saat ini. Karakter seorang Kesatria.”
Ibu hanya diam. Dia tidak mengutarakan hal apapun yang menunjukkan ketidaksetujuan ataupun dukungannya. Namun, setelah ibu betemu dengan Tirta, lelaki pilihanku itu, tatapan matanya penuh mengiyakan hubungan kami. Padahal, pertemuan kembali kami baru berjalan dua minggu dan ajakannya buat menika langsung aku iyakan.
Tirta berambut kelimis, badannya tegap, tuturnya halus dan setia memakai hem batik kemana pun dia beranjak. Tampilan lelaki bersahaja yang begitu diidamkan ibu buat jadi pendampingku.
Selain itu, Tirta aku anggap sebagai air. Penyeimbang apiku. Dia selalu tenang dan adem ketika aku mengutarakan banyak hal yang cenderung aku ungkapkan dengan sinis dan berapi-api. Beda dengan ibu, paman yang menjaga aku dan ibu setelah ayah tiada, tatapan matanya kelihatan bimbang ketika berhadapan dengan Tirta. Dia berusaha menyambut Tirta, lelaki pilihanku itu, dengan sehangat mungkin. Namun, rasa ragu dalam matanya tidak bisa dia sembunyikan penuh. Aku mengetahuinya.
“Kamu sudah dewasa, sudah mampu menetukan jalan milikmu sendiri.” Jawab paman. Satu jawaban yang selalu sama, tiap aku bertanya soal pendapatnya mengenai Tirta. Paman sepertinya begitu takut melukai aku jika saja ucapannya berani lebih panjang.
Ada ucapan yang tertahan dalam hati paman, menyoal Tirta. Serupa sebuah keraguan yang aku sendiri menyangsikan keberadaannya. Dari sinar matanya, paman kelihatan berusaha benar untuk menahan ucapannya. Dia sendiri, nampaknya juga ragu soal ucapan yang bakal dia nyatakan pada aku. Makin hari, dia juga semakin sedikit berbicara.
Setelah empat minggu semenjak pertemuan kami, aku dan Tirta dinikahkan oleh pamanku. Selain menjaga aku dan ibu setalah ayah tiada, paman merupakan pihak tertua yang berhak menikahkan aku. Paman tetap sedikit bicara.
“Pamanmu hanya sedikit salah sangka, soal roman muka lelaki yang kamu pilih itu, Agni.” Jawab ibu ketika aku bertanya perihal paman yang terus saja sedikit bicara, hingga pernikahanku resmi dihelat.
Aku cuma mengangguk, dengan debaran dalam dada yang berkejaran. Roman muka Tirta? Ada apa sesungguhnya?
***
Paman menggebrak meja makan. Aku sesenggukan dalam pelukan ibu.
“Kenapa kamu tidak mengatakan semua ini dari awal, Agni?!” jerit paman.
Aku tidak menjawab dan terus saja sesenggukan di dalam pelukan ibu. Semenjak dua bulan awal dalam pernikahan kami, aku memergoki bekas lipstick pada kerah baju Tirta. Setelahnya, aku berkali-kali memergoki pesan singkatnya yang begitu mesra terhadap perempuan lain yang asing bagiku. Kedekatan Tirta dengan banyak perempuan yang selain aku, desas desunya ternyata sudah berhembus di kantor tempatnya bekerja, jauh sebelum dia berani melamar aku. Aku sudah mengajak Tirta dan beberapa perempuan yang menjalin hubungan dengannya untuk berbicara, memohon supaya segalanya segera berakhir. Tirta selalu menangis, merangkul kakiku dan bersumpah tidak akan berhubungan dengan permpuan yang selain aku. Setelahnya, aku berulang tetap menemukan bekas lipstick di kerah baju Tirta, juga pesan singkat yang sangat mesra pada perempuan yang selain aku.  Aku memohon semuanya segera berakhir, pun Tirta yang kembali menangis, merangkul kakiku dan…
            “Agni! Kamu bercerai saja!” tegas paman.
Aku mengelus perutku yang mulai membesar sambil berbisik,”Bercerai?”
Ibu memelukku makin erat, tanpa menangis.

No comments: