Lolos Workshop Cerpen Kompas
Jawa Timur, 2015
“Kamu
ini terlalu pemilih, Agni!” nada bicara ibu mulai meninggi. Suara pisau yang
dia ayunkan di atas talenan, ketukannya makin keras. Beberapa potongan wotel berceceran
di lantai, seolah mereka lebih memilih melompat, ketimbang terkena ayunan pisau
ibu yang mulai sembarangan.
“Ah,
aku bukannya pemilih, Bu. Aku hanya… ya… mencoba mendapat seseorang yang tulus.
Andai saja, aku dianugrahi Tuhan, kemampuan untuk mengetahui bagaimana karakter
masa kecil seseorang. Aku pasti tidak bakal ragu, untuk memilih satu diantara
mereka. Ibu tahu, kan? Karakter masa kecil, merupakan gambaran sifat seseorang
yang sesungguhnya.” Balasku.
Ibu
tidak membalik punggungnya ataupun menoleh, setelah mendengar balasanku. Namun,
pundak ibu mulai kelihatan naik dan turun teratur. Sepertinya, ibu tengah
menahan sesenggukan setelah mendengar balasanku. Ini bukan terjadi pertama
kali. Ah, ini hanya taktik ibu, biar aku melunak kemudian mengiyakan atau
mengamini ucapannya. Ucapannya, bahwa aku adalah seorang pemilih.
Aku
pelan-pelan berjalan menjauh dari dapur. Kursi meja makan aku tarik, kemudian
aku duduk di atasnya dengan punggung yang melorot. Napasku berkejaran, seperti
telah lelah berlari kencang. Berdebat dengan ibu, selalu jadi satu hal yang
sungguh melelahkan. Hal yang sama, selalu jadi bahan perdebatanku dengan ibu,
soal sikapku yang menurutnya pemilih perkara jodoh.
Ah,
aku hanya mencoba mendapatkan yang terbaik. Aku bukannya seorang pemilih.
Seperti tiga minggu yang lalu misalnya, ada seorang lelaki yang usianya lebih
tua dua belas tahun dari aku, dia bekerja sebagai seorang notaris. Selama enam
bulan, dia rajin bertandang kerumahku dengan membawa buah tangan yang isinya
macam-macam, ada kerudung buat ibuku, dua kardus martabak buatku, dan banyak
buah tangan lainnya. Setelah beberapa lama rajin membawa buah tangan, dia
berani juga mengutarakan niatnya buat melamar aku.
Lelaki
itu tidak terlalu tampan, kulitnya putih, tuturnya santun, cukup supel,
rambutnya cepak dan kelihatnnya merupakan pekerja keras. Sesungguhnya, dengan
semua hal yang nampak terlihat dimilikinya itu, aku sempat simpatik pada dia.
Namun, aku menolak ketika dia melamarku. Terus terang, saat menolak lamarnnya
itu, rasa simpatiku sudah cukup lama berubah menjadi antipati. Dua bulan
pertama, ketika kami saling kenal dari seorang teman lama, dia mendadak
menyatakan ketertarikannya pada teman satu kantorku di Taman Kanak-Kanak
tempatku bekerja. Kali pertama dia melihat wajah teman perempuanku itu, dari
foto kami bersama, yang dengan sengaja aku posting
di media sosial. Ranti, nama temanku itu. Wajahnya kalem, kepalanya dibalut
jilbab dengan kacamata tebal yang disangga oleh tulang hidungnya.
Aku
kemudian mengenalkan dia pada Ranti. Ranti pendiam dan kaku, beda dengan aku
yang kata banyak orang kelihatan cepat berbaur dan hangat. Barangkali, itulah
yang membuat Ranti hingga sekarang hanya dikelilingi teman-temannya yang sesama
perempuan, termasuk aku. Bahkan untuk seorang lelaki yang berstatus teman pun,
aku tidak pernah melihatnya di sekitar Ranti. Meski begitu, Ranti selalu tampil
memesona di hadapan anak-anak. Dia seorang pendongeng yang ekspresif dan selalu
menyedot perhatian. Dia selalu kelihatan percaya diri, ketika mulai memainkan
boneka tangan.
Setelah
pertemuan pertama, lelaki itu makin menunjukkan ketertarikannya yang lebih
terhadap Ranti. Dengan semangat, dia selalu memuji paras kalem Ranti yang
menurutnya sangat memesona, di hadapanku.
“Ranti
pernah membicarakan soal aku pada kamu?” tanyanya satu waktu dengan mata
berbinar.
Aku
menggeleng. Selain pendiam dan kaku, Ranti juga tertutup. Usia kami sama-sama
menjelang seperempat abad, tapi sungguh, aku belum pernah melihat ekspresi
kekagumannya pada seorang lelaki, selama dua tahun kami bekerja di tempat yang
sama. Dia beda dengan aku, juga dengan teman-teman kami lainnya yang sekantor.
Bagi kami yang masih melajang, cerita-ceria soal kekaguman pada laki-laki
tertentu, jadi topik utama yang biasa kami angkat dalam obrolan sehari-hari.
“Ehm,
Agni. Dia sering berusaha menelepon aku. Semalam pun begitu, dia dua kali
menelepon aku, tapi aku sengaja tidak mengangkat teleponnya.” Ranti tiba-tiba
bercerita soal lelaki itu sambil jarinya sibuk memencet tombol virtual di
ponselnya.
“Oh,
ya? Bukan masalah kan, Ran? Kamu lajang dan dia pun lajang. Apa salahnya, kalau
kalian berdua memulai… ehm… penjajakan.” Sahutku menggebu-gebu. Aku seolah
lupa, bahwa diriku sendiri pun adalah seorang lajang. Aku terlalu bersemangat
untuk menjodohkan Ranti dengan lelaki itu. Mereka berdua adalah orang baik,
pikirku. Aku menyimpan kekaguman atas kerja keras dan kesopanan lelaki itu dan
juga kekaguman atas kemampuan Ranti mendongeng di depan anak-anak.
Ranti
menggeleng. Dia tidak pernah membahas lelaki itu lagi setelahnya. Seminggu
kemudian, terdengar kabar bahwa Ranti dekat dengan seorang lelaki yang usianya
lima tahun lebih tua daripada kami. Ternyata, salah seorang teman sekantor kami
yang telah berkeluarga mengenalkan lelaki itu padanya. Lelaki yang gambar
wajahnya, selalu menjadi tampilan utama di layar ponsel Ranti dalam
minggu-minggu berikutnya. Foto di mana lelaki itu melamar Ranti, tersebar
melalui media sosial kemudian. Ranti mendapat hujan ucapan selamat sekaligus
menjadi bahan guyonan di kantor.
“Wah,
Dik Ranti ini macam artis-artis itu ya, ternyata. Selama ini kelihatan
melajang, eh tiba-tiba lamaran,” Salah seorang teman sekantor kami yang usianya
empat puluhan, tergelak paling keras.
“Nah,
gimana dengan Dik Agni? Kapan nih, menyusul?” lanjutnya. Rasa
tersinggungku sedikit tersulut. Wajahku terasa panas. Aku takut kalau kulitku
yang berwarna kuning langsat, menyemburkan warna merah karena rasa malu.
Buru-buru kurogoh kaca seukuran kepalan tangan dari dalam tasku. Sekilas aku
melihat wajahku dari pantulannya. Aku lega, tidak ada warna merah tersembur
dari wajahku.
“Saya
pasti bakal segera menyusul, andai saja saya dianugrahi Tuhan, kemampuan untuk
melihat masa kecil seseorang.”
“Hah?
Kamu ini, itu semua tidak menentukan apapun, Dik.”
“Karakter
masa kecil, menggambarkan karakter seseorang sesungguhnya.”
“Ah,
pantaslah ibu dan bapakmu menamai kamu dengan nama Agni. Kamu memang seperti geni, api. Cerdas, kuat, kritis, sinis
dan tidak mudah dikalahkan.” Gelak tawa bersahutan dan menyebar di seluruh ruangan.
Wajahku makin terasa panas. Sungguh aku tersinggung. Ini semua memang keteguhan
yang aku pegang! Tidak pantas dipergunakan sebagai bahan bercanda semacam ini!
***
Setelah
mengetahui status Ranti yang telah menjadi calon istri lelaki lain. Lelaki kenalanku
yang gagal mendekatinya itu, mulai gencar menyapa aku melalui pesan singkat.
Dia sering menawarkan diri buat menjemput aku dari tempat kerja, namun aku
menolaknya. Ajakan untuk makan bersama juga sering dia tawarkan, namun aku
tetap menolaknya.
Sikapnya
yang setelah kalah dalam mendapatkan Ranti, lantas berbalik arah mendekati aku,
menurutku sangat memuakkan. Aku antipati padanya. Seolah aku adalah pilihan
lain setelah Ranti lepas. Sebuah pilihan yang sayang dilewatkan ketimbang tidak
ada pilihan lain. Usia lelaki itu sudah kelewat matang untuk dibilang pantas
berumah tangga. Dia pasti lelaki yang tengah kelabakan mencari pasangan hidup.
Perempuan manapun yang ada di hadapannya, dia anggap sebagai satu peluang buat
menjadi pendamping hidup. Benar-benar sikap yang memuakkan!
Ah,
andai Tuhan benar-benar menganugrahi aku sebuah kemampuan untuk mengetahui
karakter masa kecil seseorang. Aku tentunya tidak perlu menerka seberapa besar
tendensi seorang lelaki yang tengah mendekati diriku. Dengan kemampuan itu,
langsung saja aku dapat menentukan apakah dia benar-benar tulus dalam bersikap
atau hanya sekadar menjunjung etika. Singkat kata, aku bakal mampu mendeteksi
ketulusan seorang lelaki.
Keyakinan
bahwa karakter masa kecil seseorang, merupakan gambaran sifat sesungguhnya bagi
orang tersebut di masa depan, aku yakini dari pendapat ayah. Menurut ayah, aku
memang seperti namaku, Agni. Sejak kecil, aku memang keras membela banyak hal
yang aku rasa benar. Aku seperti geni,
api. Melahap apa saja yang aku anggap menghalangi keyakinanku.
Ketika
aku dewasa, sifatku yang cenderung melahap apapun, yang menghalangi, aku tutupi
dengan etika yang kubentuk sendiri. Sikap hangat dan mudahnya aku berbaur, menyamarkan
karakter asliku yang nampak kesemuanya di masa kecil.
Selama
hampir empat tahun, aku sendiri juga berkecimpung di dunia anak-anak. Aku
menjadi guru di sebuah Taman Kanak-Kanak. Dengan mataku sendiri, aku melihat
bagaimana anak-anak berlaku sesuai dengan karakter yang mereka bawa. Mereka
belum mampu menutupi karakter mereka dengan etika, lepas dari baik buruknya.
“Agni!
Temanmu sedang menunggu di teras depan.” Ibu berkata-kata berbarengan dengan
tangannya yang mengetuk pintu kamarku.
Aku
merenggangkan tangan dan kakiku di atas kasur. Ah, dia sudah datang rupanya.
Buru-buru aku melompat untuk memutar gagang pintu. Ketika pintu mulai terbuka,
sosok ibu dengan mimik wajah yang cemas mulai kelihatan.
“Ada
apa, Bu? Kenapa wajah ibu…” ucapanku belum selesesai. Ibu buru-buru mendelik
dan menekan suaranya yang marah, berusaha berbisik.
“Kamu
berteman dekat dengan pemuda yang menunggumu itu, Agni?”
“Tentu,
kami dekat.” Aku cengengesan sambil
pelan-pelan keluar melalui pintu kamarku. Sengaja aku menggoda ibu. Wajah ibu
kelihatan makin pucat.
“Agni!”
ibu membentak aku dengan tetap berusaha berbisik.
Sambil
terkekeh, aku berlari menuju teras depan. Aku tidak lupa berteriak,”Hanya
teman, Bu!”
Mendengar
lanjutan dari ucapanku, wajah pucat ibuku kelihatan berkurang. Aku mengerti,
ibuku selalu khawatir. Pemuda yang dikatakan ibuku, sebagai seorang teman yang
tengah menunggu aku di depan teras rumah itu, namanya Akbar. Rambutnya panjang
sebahu, bahkan lebih panjang dari rambutku. Kulitnya hitam, perawakannya kurus.
Akbar gemar memakai celana yang sobek di bagian lutut. Sepintas, dia lebih
mirip pedagang asongan yang banyak berkeliaran dekat warung ibu di terminal.
Padahal, Akbar sesungguhnya adalah seorang perupa yang punya cukup banyak uang
buat membeli celana baru dari hasil penjualan karyanya.
Akbar
bukan satu-satunya teman lelaki eksentrik yang justru membuat aku simpatik dan
nyaman. Penampilan mereka, memang jauh dari kata ‘normal’ menurut ibuku, jika
dibandingkan dengan lelaki yang gagal mendekati Ranti dan lamarannya aku tolak
itu. Ibuku sudah cukup kenyang, melihat aku membawa seorang lelaki bertindik
tiga atau berambut oranye ke dalam rumah.
“Kenapa
kamu tidak bisa membuka diri untuk seorang lelaki yang…ehm… lebih ‘normal’?
hanya untuk berteman saja, Agni.” Tutur ibu satu waktu.
“Apakah
mereka yang ‘normal’ itu tulus? Aku tidak mengetahui bagaimana karakter masa
kecil mereka” aku balas bertutur.
“Bagaimana
dengan teman-temanmu yang… ehm… kurang ‘normal’ itu? Apa mereka tulus? Apa kamu
mengetahui karakter masa kecil mereka?” ibu balik bertanya.
“Andai
mereka busuk. Mereka setidaknya memang sebusuk penampilannya. Tidak terlalu
mengecawakan. Jika itu terjadi, aku tidak bakal merasa dikhianati.” Ucapanku
semacam pamungkas. Memang mata ibu terluka mendengar ucapanku yang satu ini,
Namun, dengan ucapan ini, ibu berhenti menyahut.
Aku
memang Agni…
***
“Menikah?!”
ibu setengah menjerit. Dua tangannya meremas taplak yang menempel di meja
makan.
Aku
mengangguk.
“Apa
yang membuat kamu menerima dia, Agni?” ibu bertanya sambil meneliti seluruh
gerakan bola mataku.
“Dia
teman sekelasku ketika Taman Kanak-Kanak. Ibu beberapa kali mengobrol dengan
ibunya di depan pagar sekolah. Dulu, dia selalu membela siapa saja yang tidak
mampu membela dirinya sendiri. Aku yakin, karakter itu tetap berjaya dalam
dirinya hingga saat ini. Karakter seorang Kesatria.”
Ibu
hanya diam. Dia tidak mengutarakan hal apapun yang menunjukkan ketidaksetujuan
ataupun dukungannya. Namun, setelah ibu betemu dengan Tirta, lelaki pilihanku
itu, tatapan matanya penuh mengiyakan hubungan kami. Padahal, pertemuan kembali
kami baru berjalan dua minggu dan ajakannya buat menika langsung aku iyakan.
Tirta
berambut kelimis, badannya tegap, tuturnya halus dan setia memakai hem batik
kemana pun dia beranjak. Tampilan lelaki bersahaja yang begitu diidamkan ibu
buat jadi pendampingku.
Selain
itu, Tirta aku anggap sebagai air. Penyeimbang apiku. Dia selalu tenang dan adem ketika aku mengutarakan banyak hal
yang cenderung aku ungkapkan dengan sinis dan berapi-api. Beda dengan ibu,
paman yang menjaga aku dan ibu setelah ayah tiada, tatapan matanya kelihatan
bimbang ketika berhadapan dengan Tirta. Dia berusaha menyambut Tirta, lelaki
pilihanku itu, dengan sehangat mungkin. Namun, rasa ragu dalam matanya tidak
bisa dia sembunyikan penuh. Aku mengetahuinya.
“Kamu
sudah dewasa, sudah mampu menetukan jalan milikmu sendiri.” Jawab paman. Satu
jawaban yang selalu sama, tiap aku bertanya soal pendapatnya mengenai Tirta.
Paman sepertinya begitu takut melukai aku jika saja ucapannya berani lebih
panjang.
Ada
ucapan yang tertahan dalam hati paman, menyoal Tirta. Serupa sebuah keraguan
yang aku sendiri menyangsikan keberadaannya. Dari sinar matanya, paman
kelihatan berusaha benar untuk menahan ucapannya. Dia sendiri, nampaknya juga
ragu soal ucapan yang bakal dia nyatakan pada aku. Makin hari, dia juga semakin
sedikit berbicara.
Setelah
empat minggu semenjak pertemuan kami, aku dan Tirta dinikahkan oleh pamanku.
Selain menjaga aku dan ibu setalah ayah tiada, paman merupakan pihak tertua
yang berhak menikahkan aku. Paman tetap sedikit bicara.
“Pamanmu
hanya sedikit salah sangka, soal roman muka lelaki yang kamu pilih itu, Agni.”
Jawab ibu ketika aku bertanya perihal paman yang terus saja sedikit bicara,
hingga pernikahanku resmi dihelat.
Aku
cuma mengangguk, dengan debaran dalam dada yang berkejaran. Roman muka Tirta?
Ada apa sesungguhnya?
***
Paman
menggebrak meja makan. Aku sesenggukan dalam pelukan ibu.
“Kenapa
kamu tidak mengatakan semua ini dari awal, Agni?!” jerit paman.
Aku
tidak menjawab dan terus saja sesenggukan di dalam pelukan ibu. Semenjak dua
bulan awal dalam pernikahan kami, aku memergoki bekas lipstick pada kerah baju Tirta. Setelahnya, aku berkali-kali
memergoki pesan singkatnya yang begitu mesra terhadap perempuan lain yang asing
bagiku. Kedekatan Tirta dengan banyak perempuan yang selain aku, desas desunya
ternyata sudah berhembus di kantor tempatnya bekerja, jauh sebelum dia berani
melamar aku. Aku sudah mengajak Tirta dan beberapa perempuan yang menjalin
hubungan dengannya untuk berbicara, memohon supaya segalanya segera berakhir.
Tirta selalu menangis, merangkul kakiku dan bersumpah tidak akan berhubungan
dengan permpuan yang selain aku. Setelahnya, aku berulang tetap menemukan bekas
lipstick di kerah baju Tirta, juga
pesan singkat yang sangat mesra pada perempuan yang selain aku. Aku memohon semuanya segera berakhir, pun
Tirta yang kembali menangis, merangkul kakiku dan…
“Agni! Kamu bercerai saja!” tegas
paman.
Aku
mengelus perutku yang mulai membesar sambil berbisik,”Bercerai?”
Ibu
memelukku makin erat, tanpa menangis.
No comments:
Post a Comment