Sunday, October 9, 2016

PERHATIAN: Kupinang Putrimu Dengan Seperangkat Kostum Dan Properti Teater Di Bayar Tunai Pak!

Dibuat di Malang, 2014

“Tujuan hidupmu apa Kak? ,” rasanya aku ingin menyembur isi air yang ada dalam rongga mulutku buru- buru. Pertanyaan itu. Mendadak bikin air mineral yang baru masuk ke rongga mulut jadi pahit rasanya.
“Apa? ,” aku menoleh ke mukanya. Tapi. Tolehanku tidak di balas. Dia terus menghadap arah depan. Bicaraku terlalu buru- buru. Belum semua air dalam rongga mulutku kutelan. Nyaris keluar dari sudut bibir sisa air yang belum kutelan.
“TUJUAN HIDUPMU apa? ,” kata ‘tujuan hidup’ dia tekan tiga kali lipat dari ucapan sebelumnya.
“Eh ,” kugaruki kepala belakangku yang tidak gatal.
“Apa? ,” melirik matanya ingin tahu.
“Tujuan hidup… ,” aku mengulang pertanyaan.
“Iya apa? ,” bola matanya kembali menghadap arah depan.
“Eh ,”
“Apa? ,”
“Tujuan… hidup… ,” lagi. Kuulangi pertanyaan dia.
“Iya apa? ,”
Skak! Telak! Aku terpojok. Ini lebih ngeri ketimbang mesti kuis dadakan salah satumata kuliah. Oh oke. Untuk kuis, aku masih bisa dapat bisikan teman atau asal tembak salah satu opsi ganda dengan cara ngawur. Tapi ini!. Bisikan dari siapa yang aku harapakan?. Kami cuma… berdua!.
“Apa? ,” napasku berkejaran. Dia bertanya lagi.
“Pulang kampung ,” apa yang akan terjadi?. Jawaban macam apa ini?.
“Eh? Aku yang bertanya kurang jelas. Benar juga. Setelah ini liburan. Pulang kampung juga tujuan kan? ,” dia tergelak. Terbahak. Diluar dugaan. Anak ini tidak bikin aku terpojok lagi. Mukanya yang datar mendadak cair. Gigi gingsulnya terpajang bebas.
“Maksudku… ,” ah ini dia. Mukanya kembali datar. Nada bicara itu… pasti menyudutkan aku lagi setelah ini!.
“Seperti aku. Aku ingin lulus kuliah. Dalam waktu dekat aku akan mengulang mata kuliah yang belum meluluskan aku ,”
“Jadi tujuan hidupmu? ,” napasku berkejaran lagi. Aku resmi. Ter-po-jok.
“Eh ,” aku menghentak keras satu tarikan napas.
Dia diam. Mukanya tetap. Datar. Lama. Aduh! Diammu terlalu lama nona!. Kamu mirip dosen- dosen mata kuliah yang sebal lihat kelakuanku. Kabur dari ke-las. Melanglang ke sanggar teater kemudian ngobrol dengan teman yang pura- pura tidak tahu prosesku melarikan diri dari banyak kelas!.
“Oh ,” matanya berbinar. Gigi gingsulnya terpajang lagi.
“Tujuan hidupmu untuk menemukan tujuan hidup itu sendiri. Itulah sebabnya kamu hidup di dunia ini Kak ! ,” dia tertawa. Singkat.
Jantungku panas. Seperti di remas.Ditusuk. Di belah kemudian di bumbui dengan garam dan jeruk nipis.
Aku hidup untuk mencari tujuan hidupku. Tujuan hidup yang akucari dalam hidup. Sebab aku hidup untuk mecari tujuan hidup. Demi tujuan hiduplah aku hidup. Dan. Tujuan hidupku adalah menemukan tujuan hidup.
Ah! Anak ini. Bicaranya selalu bikin aku berpikir sepuluh kali!. Kata- kata yang terbolak balik tapi penuh makna yang mengharuskan akumengakui bahwa… aku sama sekali tidak pernah memikirkan jawaban dari pertanyaan anak ini!. Oh nona… aku ingin…
“Ya. Itu tujuan hidupmu. Itulah kenapa kamu hidup. Mencari tujuan hidup sebabnya ,”dia tertawa lagi.
Aku menoleh padanya. Dia tetap menghadap kearah depan.
Pertama kalinya!. Ya!. Ada orang yang menyebut sebab kenapa aku hidup. Bahkan aku sendiri tidak pernah memikirkan itu!.
Makin keras tawanya.
“Dik ,”
“Apa? ,”
“Besok datang lagi?. Pentas teaternya masih ada untuk dua hari kedepan ,”
“Ya. Mungkin. Aku nggak bawa motor Kak. Angkutan umum daerah rumahku juga susah. Tahu sendiri ,” di renggangkan dua tanganya seperti orang baru bangun tidur.
“Datang sendiri atau aku jemput? ,”
“Ter-se-rah ,” nada bicaranya datar.
“Aku jemput kamu nanti ,” asal saja aku menyahut. Ini keputusan sekenanya. Kata ‘terserah’ seperti memojokkan aku. Untuk me-mu-tus-kan.
“Ya. Boleh. Kabari lagi saja besok ,”
“Sekarang kamu mau pulang? ,”
“Terserah ,” seumur hidup kata terserah baru kudengar dari nona ini. Memutuskan sesuatu bukan kebiasaanku. Rasanya… pahit, asam, manis…
“Tunggu ,” aku buru- buru berlari kebelakang panggung. Secepatnya juga aku keluar.
“Ya… nanti aku kembali lagi. Aku antar dia dulu ,” tanganku melambai kepada beberapa teman disana.
***
“Kak jadi jam berapa?.”
Pesan singkatnya bikin leherku panas.
“Jam 13.30 pentas 1.”
Kubalas secepatnya.
“Oke.”
Hanya oke? Lalu aku mesti jawab apa?. Lama. Kuhentak kakiku. Seperti digigiti semut di dasarnya sepatuku. Eh? Aku menyanggupi untuk menjemput dia bukan?. Tapi aku… bagaimana aku harus datang? Bagaimana aku harus memberi salam? Bagaimana aku harus menunggui di di ruang depan? Dan. Bagaimana dengan satu kelas yang aku lewatkan hari ini?. Haruskah aku kabur untuk menjemput perempuan? Atau kabur ke sanggar tempat teman- teman?.
“Uhm. Nanti kalau aku nggak bisa jemput aku kabari.”
Oh Tuhan!. Sudah kuputuskan. Aku… Ragu!.
“Bisa atau nggak bisa tetap kabari ya Kak.”
Menolak. Aku mau menolak. Mana tega?. Tapi demi mengantar dia kemarin, aku sudah tolak ajakan teman- teman untuk sekadar mengobrol. Tapi…
Lama.
“Sorry. Aku nggak bisa jemput kamu.”
Oh Tuhan!. Aku berhasil menolaknya. Tapi. Apa ini mauku?.
“Oke nggak apa- apa.”
Bukan. Bukan. Aku ingin melanjutkan obrolan yang kemarin dengan dia. Atau… aku ingin diskusi soal pentas kemarin dengan teman- teman?. Oh tentu. Aku ingin keduanya. Bagaimana caranya pilih salah satu?. Bukankah aku sudah berhasil menolak nona itu. Eh? Menolak? Memangnya minta apa dia sampai aku menolak?.
***
“Pagi. Aku bisa jemput kamu.”
Apa yang aku lakukan?. Pukul delapan aku mesti ujian tengah semester. Ujian tersebut lisan!. Tidak tahu pukul berapa ujian itu bakal selesai. Semalam aku tidak tidur. Tidak juga mandi pagi ini.Apalagi belajar!.
Lalu? Aku tidak ingin bikin anak itu kecewa dan anggap aku tidak bisa tepat janji. Hah? Kenapa aku tidak rela dia menganggap aku demikian dan blablabla?.
Sudah. Aku sudah janji. Pukul setengah sepuluh. Ya. Aku janji untuk masuk kelas!. Aku juga janji menjemput anak itu sebelum jam tersebut!. Lalu?. Ya. Bagaimana?. Aku sudah janji.
Tidak. Tidak bisa. Anak itu tidak berhak kecewa. Ujian tengah semesterku tidak berhak terlalu lama menyita waktu. Dan. Berhak aku masuk kelas tepat waktu. Berhak. Semua berhak!.
***
“Kamu bisa menepati janji juga ya Kak? ,” terbahak dia selepasnya.
“Ya. Bisa. Aku bisa. Sangat bisa ,” aku seperti di tampar kata- kata anak ini. Sialan.
“Kamu butuh pendamping hidup sepertinya Kak ,”
“Eh? ,” aku memencet tombol lift.
“Biar teratur. Hidupmu… ,”
“Tapi… ” lanjutnya.
“Pendamping hidup juga butuh makan Kak. Kamu mau kasih makan apa? ,”
Geli. Tertampar. Terpojok. Tapi. Selalu aku menunggu kejutan- kejutan di balik lidahnya. Selalu bikin aku berpikir sepuluh kali untuk mencerna. Namun selalu penuh makna.
“Bapak calon pendampingmu pasti memastikan putrinya dapat kelayakan. Kamu menawarkan apa? ,”
Lama. Diam. Tertusuk.
“Aku bakal bilang Kupinang Putrimu Dengan Seperangkat Kostum Dan Properti Teater Di Bayar Tunai Pak! ,”
Tergelak tawanya. Keras. Paling keras di antara tawa dia yang aku tahu selama ini. Senyum tipis kugelar.
Bodoh kurasa yang aku ucap. Tapi. Balasannya berupa tawa bikin aku merasa ucapanku menghibur dan punya harga.
“Kak ,”
“Ya? ” mukanya kembali datar.
“Aku tahu. Dengan ada aku disini, aku jadi mengganggu kebersamaanmu dengan teman- temanmu di sanggar. Kalian butuh bersama. Butuh diskusi ,”
Pintu lift menunjukkan angka dua. Tujuan kami. Lantai satu.
“Ah nggak kok! ,” ayo- ayolah lift cepat turun. Ingin aku segera mengantar nona ini pulang. Mesti cepat kembali aku ke tengah teman- teman. Sudah janji aku bakal bersama mereka malam ini. Diskusi.
Tapi. Kalau nona ini kecewa bagaimana?. Tidak berhak dia kecewa.
Pintu lift menunjukkan angka satu. Lega. Kami sampai.
Pintu terbuka. Tapi. Anak ini. Diam di tempat dengan muka datar.
“Hey ayo ,” berkata ayo aku namun kakiku tetap di tempat.
“Silahkan duluan. Dulu. Aku pernah hampir terjepit lift. Agak takut aku ,” muka datarnya selalu bikin aku gagal percaya dia pernah melewati hal semengerikan itu.
Melawan ragu. Aku berjalan lebih dahulu.
Bahkan untuk memutuskan berjalan lebih dahulu  atau berjalan belakangan. Aku ternyata… tidak terbiasa.
Sekeluarnya dari lift. Jalan anak ini malah melambat. Was- was aku. Ayolah nona… aku mesti kembali ke teman- temanku. Tapi. Bagaimana cara mengabarkan itu padamu?.
“Jangan cepat- cepat. Aku masih ingin mengobrol dengan kamu Kak ,” astagaaaa anak ini. Betapa nyamannya dia mengatakan hal sepribadi itu. Dari hati? Atau? Karena dia sudah biasa bilang seperti itu pada siapa saja?.
“Eh? Oke ,” aku melambatkan langkah. Luluh aku. Menyetujui perpanjangan waktu bersama dia.
“Kak ,”
“Ya? ,”
“Soal kebiasaanmu merokok. Aku tidak berusaha merubah hidupmu…… ,”
“…..hanya mencoba membuat aku hidup lebih lama ,” aku melanjutkan kata- kata dia yang belum selesai. Hafal sekali aku dengan kata itu. Kata yang sama. Tapi. Selalu bikin aku punya harga.
“Dan lagi. Aku mengobrol dengan siapa kalau kamu mati? ,” heh? Mati?. Ringan sekali dia ucap kata itu. Sederhana. Tapi kata- kata dia barusan bikin harga hidupku terasa lebih mahal lagi.
“Kan ada teman yang lain ,” mengucap kata ‘teman’. Jadi ingat aku  janji dengan teman- teman. Ah. Aku harus cepat kembali. Langkah aku percepat. Lagi.
“Ya. Ada teman yang lain. Tapi beda dengan kamu Kak ,” tangannya menarik tas ranselku.
“Jangan cepat- cepat ,” lanjutnya. Terpaksa kakiku melambat.
Lagi. Kusetujui perpanjangan waktu kebersamaan kami.
“Kita bisa duduk disitu ,” kutunjuk dudukan di bawah sebuah pohon diluar ruangan. Aku duduk. Dia berdiri berputar- putar dua kakinya. Tidak bisa diam.
“Maaf hari ini merepotkan ,”
“Ah. Tidak ,” ya Nak. Aku cukup repot hari ini tapi kamu tidak berhak kecewa.
            “Aku tidak mau seperti itu lagi. Tapi. Terimakasih. Aku merasakan suatu rasa yang aneh selama bersama kamu. Bisa bilang ‘terserah’. Bisa berlagak bodoh soal angkutan kota.Berlagak penakut soal lift.”
            “Aku selalu memutuskan. Aku selalu melangkah di depan teman- teman. Apapun. Mereka selalu bertanya padaku. Bosan aku ,”
            “Bukan masalah. Dengan kamu. Aku belajar memerdekakan diri ,”
            “Hah? ,” dahinya di tekuk.
            Ya. Ya nona. Denganmu aku belajar merdeka. Merdeka mengartikan kata ‘terserah’.
Itu sebuah harga bagi yang merdeka tapi tidak merdeka. Dan. Itu aku…

Sebagian besar percakapan dalam cerpen ini, saya comot dari percakapan saya dan teman saya yang seorang pegiat teater. Saya mengenalnya sejak maba, sedang dia kuliah tingkat tiga. Tipe kepribadiannya dominan plegmatis dan dia kesusahan menuruti maunya sendiri. Hingga sekarang, dia belum lulus kuliah. Dalam cerpen ini, saya mencoba masuk dalam sudut pandangnya.

No comments: