Saya
baru saja memahami, apa sebab saya menulis selama ini. Saat SD kelas dua, saya
begitu menyukai bu Nurul Aula. Guru yang menurut teman-teman lain begitu kaku
dan galak. Namun, bagi saya beliau justru tegas dan perhatian.
Siswa
paling pintar bisa diapresiasinya dengan melibatkan seluruh penghuni kelas. Persaingan
sehat dibentuk dari sana. Bahkan, masing-masing siswa yang menjadi jagoan bisa
memiliki simpatisan. Jika di kelas lain, siswa paling pintar, segala apresiasi
dan pujiannya seolah hanya dimiliki sendiri. Beda betul dengan kelas yang
dipimpin bu Nurul. Siswa paling pintar seperti dimiliki bersama oleh seluruh
penghuni kelas.
Bukan
hanya siswa paling pintar. Bu Nurul juga memerhatikan keunikan karakter
masing-masing siswanya. Pernah suatu ketika, teman saya yang tinggal di sebuah
panti asuhan membawa teri balado sebagai bekal. Bu Nurul tidak sungkan memohon
ijin buat memakan sedikit bekal yang dengan antusias dikatakan, sepertinya
memiliki rasa yang enak.
Saya
sangat ingat, teman saya itu buru-buru memberikan satu sendok teri balado dari
kotak bekalnya. Wajahnya kelihatan berbinar dan tersanjung, seolah seorang guru
yang mau makan makanan yang sama dengan anak panti sepetinya adalah hal yang
luar biasa.
Bu
Nurul ternyata hanya menyuap sedikit makanan yang ada di tangannya.
Selanjutnya, dia memuji masakan pengurus panti, yang dibawa sebagai bekal oleh
teman saya itu betul-betul enak. Seluruh kelas bergemuruh. Sebagian siswa yang
biasa bergerak lincah segera mengerubungi bu Nurul, memohon sedikit jatah teri
balado untuk mereka makan.
Teman
saya si anak panti itu makin menunduk dan tersipu. Bu Nurul kemudian meminta
lagi sedikit teri balado dari kotak makan miliknya. Banyak siswa yang kemudian
mengerubungi si anak panti itu. Semua saling berbicara, meski sekadar memohon
ijin buat meminta sedikit teri balado dari si anak panti.
Selanjutnya,
teman saya si anak panti itu, begitu diingat teman-teman sekelas sebagai
seorang yang mau berbagi teri balado dengan mereka.
Belakangan,
ketika dewasa. Saya baru menyadari, cara bu Nurul meminta teri balado adalah buat
melibatkan teman saya, si anak panti itu di dalam kelas. Anak panti itu, baru
saja bergabung di sekolah saat kelas dua, yang juga jadi tahun pertamanya
menjadi warga panti asuhan.
Saya
sering melihat beberapa teman perempuan sengaja menjahilinya hingga mata anak
itu berkaca-kaca karena sedih. Saya sendiri hanya bisa diam dan duduk di sudut
kelas tanpa berbuat apa-apa. Saat itu, saya memang lemah dan belum mengerti
sekuat apa sesungguhnya diri saya jika saja saya lebih berani.
Kamu
tahu? Saya sangat ingin mengatakan pada bu Nurul bahwa saya sangat menyukai
beliau. Namun, saya tidak pernah mengerti bagaimana carnaya. Saya dulunya tidak
seperti siapa yang kamu kenal sekarang. Dulu, saya sangat kesusahan mengungkap
apa yang sesungguhnya saya rasa.
Menjelang
kelulusan, saya nekat masuk dalam ruang guru. Saat itu, tepat ulang tahun saya
yang ke dua belas, tanggal lima juni. Saya menyodorkan selembar kertas berwarna
kuning pada bu Nurul.
“Eh?
Ini buat apa, Pop.” Tanya bu Nurul saat itu.
Dengan
tidak berani menatap mata beliau, saya menjawab,”Itu untuk biodata bu Nurul…”
Oh,
Tuhan… saya sungguh tidak percaya saya bisa seberani itu. Saya berhasil
mengatakan apa yang saya mau pada orang yang sangat saya suka.
Saya
ingat, bu Nurul hanya tersenyum kemudian memersilahkan saya duduk di
hadapannya.
“Diisi
apa nih, Pop?” goda bu Nurul sambil mengetuk-ketuk bolpoinnya di atas kertas.
“Anu…
nama, tanggal lahir…” jelas saya sebisa mungkin tanpa rasa grogi.
Bu
Nurul lagi-lagi tersenyum dan menyelesaikan biodata yang saya minta. Setelah
biodata selesai ditulis dan disodorkan pada saya, buru-buru saya pamit keluar
ruangan. Jika saja bu Nurul tahu, saya sesungguhnya ingin berlama-lama duduk di
hadapannya dan mengobrol banyak hal. Kelulusan makin dekat dan saya tahu,
mustahil melihat bu Nurul setiap hari di SMP.
Ah…
pikir saya saat itu, meski saya tidak berani menyatakan perasaan saya pada bu
Nurul apalagi berlama-lama mengobrol dengannya, saya setidaknya masih bisa
menyimpan tulisan tangan yang saya dapat dari biodatanya itu. Bukankah tulisan
tangan juga punya harga?
Bu
Nurul meninggal sekitar tahun 2010. Tentu saja, saya menangis. Tidak ada wajah
terakhir beliau yang bisa saya rekam. Terakhir, saya hanya bisa menitipkan
sebuah kertas yang asal saya comot dari meja perawat bertulis ‘Bu Nurul, You
Are The Best Teacher’.
Saya
sudah mulai bisa berekspresi saat itu, menulis jadi awalnya. Sayang, kertas
berisi isi hati saya pada bu Nurul yang akhirnya bisa saya ungkapkan itu, hanya
bisa saya titipkan pada adiknya yang berjaga di depan ruang ICU yang kemudian
juga jadi tempat bu Nurul berpulang.
Jika
kamu mengenali saya yang barangkali terlalu ekspresif mengungkap sesuatu saat
ini, baik lewat tulisan atau juga sikap. Kamu mesti tahu, saya hanya tidak
ingin terlambat kemudian menahun dalam sesal…
No comments:
Post a Comment