Monday, October 3, 2016

Nyenyak

Lolos Workshop Cerpen Kompas Jawa Timur, 2015 (Ketika dikirim berjudul asli, Oleh Sebab Karena)

“Bunda, bagaimana kabar Akbar?” tanya seorang tetangga yang melintas di depan halaman rumah bunda.
“Kabar Akbar selalu baik. Dia juga selalu tidur nyenyak seperti biasanya. Oleh-sebab- karena tidak bakal menganggu dia lagi.” Bunda menjawab tanpa memandang lawan bicaranya. Dia tetap sibuk membasahi tiap pot tanaman miliknya dengan semprotan air dari selang yang tengah dia genggam.
            Tetangga itu cuma menggelengkan kepala. Dia berlalu pergi tanpa tertarik lagi untuk memerpanjang obrolannya dengan bunda. Toh, sapaannya pada bunda memang hanya sekadar basa basi dan tenggang rasa. Sama seperti para tetangga lain yang coba menyapa bunda.
Rumah bunda terletak di mulut gang. Hampir semua orang keluar masuk gang dengan melewati rumah bunda. Bunda sering berada di halaman kecil depan rumahnya. Sepantasnya memang setiap orang yang lewat untuk menyapa bunda, meski hanya sekadar basa basi, tenggang rasa dan pengakuan kecil bahwa perempuan sepuh usia tujuh puluh dua tahun tersebut masih dianggap ada. Dia selalu kelihatan sibuk mengutak-atik pot tanamannya. Tidak ada yang mengerti, apa sebenarnya yang sedang bunda benahi dari pot- pot tanamannya itu. Halamannya selalu berantakan, pot-pot berdiri tidak teratur di sepanjang jalan menuju pintu rumah. Batang tanaman dan kembang dari pot-pot itu juga menjulur ke segala arah. Sangat memungkinkan membuat siapa saja tersandung, pun bunda.
Setiap orang selalu menyapa bunda dengan alasan menanyakan kabar Akbar, putra tunggalnya yang sudah delapan tahun tidak pernah terlihat lagi berkeliaran diluar rumah. Bunda tidak bakal menjawab pertanyaan apapun selain menyoal Akbar. Kabar Akbar baik dan tidurnya nyenyak, selalu hal itu yang di ucap bunda tiap orang lain bertanya menyoal Akbar. Oleh-sebab- karena, juga selalu disebut bunda sebagai sesuatu yang tidak bakal menganggu hidup putranya lagi.
“Baik buruknya kabarku, aku tidak pernah peduli. Aku cuma mementingkan Akbar. Kabarnya harus selalu baik dan tidurnya mesti selalu nyenyak. Oleh-sebab- karena tidak bakal mengusik hidupnya lagi.” Jawab bunda satu waktu, ketika salah seorang tetangga coba menanyakan kabarnya. Setelahnya, jawaban bunda yang demikian segera menyebar ke seluruh penghuni gang. Setiap orang akhirnya tidak pernah berani menanyakan sesuatu yang selain Akbar ketika menyapa bunda. Perasaan bunda sedang berusaha dijaga…
***
Sebutan ‘bunda’ mulai menyebar ke semua orang yang tinggal dalam gang, semenjak Akbar usianya dua tahun. Di usianya itu, sebutan bunda adalah kata pertama yang mampu dia ucap. Dia senang meracau dengan bahasa miliknya sendiri sambil menyebut ‘bunda’ berkali-kali, ketika para tetangga yang lewat depan rumah menyapanya. Semua orang mulai ikut menyebut perempuan berambut hitam kemerahan itu, dengan sebutan bunda, ibunya Akbar.
Akbar senang berlarian di halaman kecil depan rumahnya. Dua kakinya selalu membuat pot-pot pecah dan batang tanaman milik bunda berserakan kemana-mana. Bunda tidak pernah marah. Dia tahu, bahwa putranya itu hanya kelebihan energi, bukan bermaksud merusak apa-apa yang sudah tertata rapi.
Di masa itu, banyak orang yang juga wara wiri di dalam rumah bunda. Mereka adalah pelanggan baju jahitanya. Akbar terbiasa berbaur dengan banyak orang asing di dalam rumah. Dia selalu riang menyambut siapapun yang wara wiri di dalam rumah.
***
            Semenjak Akbar menghilang dari lingkungan sekitar rumah, kedatangan orang-orang yang menjadi pelanggan baju jahitan bunda mulai berkurang. Lama-lama mereka pun benar-benar menghilang. Kemudian, bunda menutup usahanya itu dan mulai bergantung pada uang pensiun mendiang suaminya.
            “Kamu bisa melihatnya, kan? Akbar selalu bahagia dan nyenyak dalam tidurnya.” Ucap bunda pada pelanggan terakhir sebelum usahanya di tutup.
            Pelanggan bunda itu memaksa untuk mengumbar senyum. Sebelum keluar dari rumah, matanya bertatapan dengan mata Akbar. Mata Akbar terbuka, dia duduk di sofa dekat pintu rumah. Namun, bunda agaknya benar soal putranya itu. Dia tertidur dengan matanya yang terbuka. Mata itu sudah tidak bisa menangkap cahaya. Pelanggan terakhir itu bukan orang pertama yang bergidik dan merinding setelah menangkap mata milik Akbar. Setelahnya, dia tidak pernah kembali, pun para pelanggan yang lain.
            “Akbar, sayangku, lihatlah. Mereka tidak mau menjahit baju-baju mereka lagi pada Bunda karena tatapanmu. Bunda tidak peduli. Terpenting bagimu adalah selalu bahagia dan tidur dengan nyenyak. Oleh-sebab-karena tidak akan mengusikmu lagi.” Gumam bunda sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut Akbar satu waktu.
***
            Bunda selalu menggeleng, setiap Tirta dan Yudha memberi saran untuk memeriksakan kesehatan Akbar ke dokter atau psikiater. Mereka berdua adalah karib Akbar semenjak Sekolah Menengah. Hanya mereka, orang asing yang sering wara wari di dalam rumah, sekalipun usaha bunda sudah ditutup dua tahun setelah Akbar mulai menghilang dari lingkungan sekitar rumah.
            “Tidak. Aku rasa tidak perlu. Akbar sudah bahagia dan nyenyak dalam tidurnya. Oleh-sebab- karena tidak boleh lagi menganggu dia.” Ucap bunda, setiap Titrta dan Yudha memberi saran menyoal kesehatan Akbar.
            “Bunda…” Tirta berhenti melanjutkan ucapannya ketika melihat kantung mata bunda yang mulai penuh dengan air. Padahal, Tirta hanya hendak menawarkan mobil miliknya untuk membawa Akbar pergi ke dokter atau psikiater. Sebuah tawaran yang sebenarnya sudah belasan kali ditolak oleh bunda.
            Tirta dan Yudha saling pandang. Pandangan mereka berbarengan juga mengarah pada Akbar yang duduk sambil memeluk kaki di atas sofa. Matanya terbuka, namun dia memang seperti orang yang tengah tertidur. Dia tidak merespon kegelapan atau cahaya, pun suara tapak kaki orang lain meski itu bundanya.
            “Dulu, dia seorang penggerak yang cemerlang.” Bisik Yudha. Tatapannya tidak lepas dari punggung Akbar yang semakin kurus.
***
Waktu itu, Akbar usianya masih tujuh belas. Dia rajin mengumpulkan anak-anak yang tinggal di dalam gang untuk belajar menggambar tanpa biaya. Akbar pintar berbaur, karakter masa kecil yang masih terus berkembang hingga usianya belasan. Banyak warga yang tinggal dalam gang membolehkan anak-anak mereka belajar bersama Akbar. Tirta dan Yudha, dua karibnya itu, juga selalu di pastikan membantu Akbar mengajar anak-anak. Di usianya yang masih belasan itu, Akbar memang malah sibuk mengajar ketimbang berjalan-jalan seperti kebanyakan sebayanya. Kadang, teman satu sekolah dan beberapa guru juga datang untuk menyumbang buku buat anak-anak asuhan Akbar. Sering juga para donatur berdatangan untuk menyumbang alat-alat belajar. Ide sederhananya, ternyata membuat banyak orang tergerak. Pujian-pujian untuk Akbar dari hampir seluruh warga yang tinggal di dalam gang, selalu mampir ke telinga bunda saban hari. Bunda seringkali cuma tersenyum, berusaha menampakkan mimik rendah hati meski batinnya bangga setengah mati.
“Bar, aku selalu bermimpi untuk memiliki pemikiran yang seperti kamu. Kamu mampu menggerakkan banyak orang untuk berbuat sesuatu.” Ucap Tirta satu waktu.
Akbar cuma terkekeh sambil tangannya sibuk menuang cat ke dalam toples-toples kecil. Beberapa kali kepalanya menggeleng pelan. Baru kali ini, karibnya itu memuji dia sedemikian rupa.
“Tirta benar. Aku pun ingin memiliki pemikiran yang seperti kamu, Bar. Kamu adalah seorang penggerak.” Sambung Yudha.
“Ah, kalian terlalu berlebihan.” Tukas Akbar sambil terus terkekeh.
“Tidak, kami serius, Bar. Aku sendiri juga melihat keihklasan dalam dirimu untuk berbagi semua ini. Sering aku bertanya, mengapa kamu mau memulai hal kecil yang jadi penggerak banyak orang ini. Bagaimana sebenarnya ‘mengapa’ itu sebagai latar belakang atas semua yang kamu lakukan selama ini.” Tirta kembali menyahut.
Dada Akbar mendadak sesak. Keihklasan? Apa sesungguhnya yang di namakan keihklasan? Lalu mengapa? Mengapa dirinya mengajar anak-anak? Sungguh Akbar tidak pernah memikirkan dua hal itu apalagi mengapa sebagai latar belakang atas hal yang dia lakukan. Keihklasan dan mengapa. Mengapa dia mesti memertanyakan keihklasan dan mengapa keihklasan mulai dia pertanyakan sesungguhnya apa.
Setelahnya, di satu waktu yang lain. Akbar mengajukan pertanyaan yang sama kepada dua karibnya itu. “Mengapa kalian berdua mau membantu aku mengajar anak-anak?” kata mengapa ditekan benar oleh Akbar.
Tirta dan Yudha bertukar pandangan sangat lama, pun bunda yang tengah menyuguhkan sirup kelapa di atas meja. Tirta buka suara yang pertama. Napas dia tarik panjang dan lama sebelum dia berucap,”Karena aku ingin mengamalkan apa yang ada dalam hadist-hadist agamaku. Bahwa berbagi memang sangat dianjurkan, meski bukan dengan harta. Untuk itu, aku membantumu, Bar.”
Dada Akbar kembali sesak. Sama sesak seperti kali pertama dia memertanyakan keihklasan dan mengapa dalam dirinya. Setelah mendengar jawaban dari Tirta, matanya melirik Yudha. Senyum kelihatan terpaksa di kembang Yudha. Dia tahu, Akbar, karibnya itu sedang berlaku aneh dengan memasang mimik sangat tegang yang sepanjang pertemanan mereka tidak pernah di perlihatkan oleh Akbar. Yudha juga mengerti bahwa ketidakberesan ini tidak boleh mereka tertawakan atau Akbar bakal sangat terluka dan tidak lagi percaya pada mereka.
“Aku membantu kamu, karena aku bahagia. Senyum anak-anak yang selama ini bersama kita, semua itu membahagiakan buat aku.” Ucap Yudha kemudian.
Mata Akbar mendelik, pun mata bunda yang ikut mendelik setelah kaget melihat mendeliknya mata Akbar. Sore itu, setelah pertanyaan soal mengapa di luncurkan Akbar kepada dua karibnya, dia jadi mengurangi gelak tawa dan dominasinya dalam setiap obrolan.
Sekarang, ada tambahan pertanyaan dalam batin Akbar selain keihklasan dan mengapa. Dia juga mulai memertanyakan soal karena. Apa itu karena? Apakah karena yang menimbulkan sebab? Apakah oleh-sebab-karena, seseorang jadi melakukan satu hal. Bukankah arti ikhlas adalah bukan oleh-sebab-karena. Lalu, dimana letak keihklasan? Dimana? Jangan-jangan dirinya memang dilahirkan sebagai mahluk yang memiliki tendensi yang juga dikelilingi mahluk serupa. Bukankah oleh-sebab-karena adalah bentuk dari sebuah tendensi?
Akbar merasa bahwa dirinya mengalir begitu saja ketika mengumpulkan anak-anak yang tinggal dalam gang untuk bersamanya belajar menggambar. Kelas kecil yang dibentuknya ini menarik donatur buku dan orang-orang yang katanya peduli pada anak-anak juga pendidikan untuk berkontribusi. Bila ditanya mengapa, dia belum pernah memikirkan jawaban yang mengandung awalan karena. Apakah itu yang dinamakan sebuah keihklasan? Jika benar, berarti keihklasannya sudah jauh pergi, ketika dia mulai memertanyakan oleh-sebab-karena. Di sisi lain, tanpa adanya oleh-sebab-karena, Akbar merasa tidak memiliki sebab untuk melanjutkan hal-hal yang sudah dia bangun. Kemudian…
Kepala Akbar berdenyut.
***
Lepas pengumuman kelulusan, Akbar terus melanjutkan kelas menggambar di halaman rumah bersama dua karibnya. Keriangan Akbar makin terkikis saban hari. Kepalanya dipenuhi pertanyaan menyoal oleh-sebab-karena dan dimana letak sebuah keihklasan. Akbar merasa bahwa dirinya makin menjijikkan setiap hari. Dia jijik dengan dirinya yang tidak memiliki jawaban oleh-sebab-karena dan dimana letak sebuah keihklasan. Dirinya tidak berniat membuka kelas menggambar untuk memenuhi tuntunan hadist dalam agamanya. Demi mendapat kebahagiaan? Dia juga tidak berniat untuk memenuhi rasa bahagia dalam dirinya dengan membuka sebuah kelas menggambar. Lalu? Oleh sebab karena apa dia mesti melanjutkan apa yang telah dia lakukan? Motivasi Akbar makin terkikis. Tapi, bagaimana Tirta dan Yudha mampu menjawab oleh-sebab-karena? Pikiran Akbar makin runcing dan kepalanya lebih sering berdenyut.
Akbar mulai sering tidur sepanjang sore. Kelas menggambar akhirnya di komandani dua karibnya saja, tanpa dirinya yang sekarang lebih sering abai. Kantung matanya bengkak dan menghitam. Di malam hari, dia sering kesusahan tidur. Oleh-sebab-karena jadi pokok pikirannya tiap malam. Makin hari makin dalam.
Tirta dan Yudha kemudian sibuk mendaftar ke perguruan tinggi. Saat itu, Akbar malah menambah porsi tidurnya di sore dan pagi hari. Dua karibnya itu sudah menawari Akbar untuk mendaftar bersama ke perguruan tinggi atau setidaknya jika Akbar tidak berminat untuk melanjutkan pendidikannya, dia bisa melamar pekerjaan. Banyak donatur yang menawari biaya kuliah dan lowongan kerja buat Akbar melalui dua karibnya. Para donatur terkesan dengan rekam jejak Akbar dalam menggiatkan kelas menggambar. Tawaran di sekitaran dirinya itu, cuma ditanggapi Akbar dengan kalimat seolah mengiyakan. Matanya juga kelihatan menahan sakit tiap berbicara kelewat banyak karena kepalanya terus berdenyut.
            Kelas menggambar mulai sering diliburkan Akbar tanpa tenggat waktu yang jelas. Anak-anak yang diasuhnya mulai malas kembali karena permainan jadwal yang disusun sekenanya oleh Akbar. Semua itu sejalan dengan dua karibnya yang saat itu sama-sama diterima disebuah perguruan tinggi diluar provinsi. Akbar tidak lagi mampu mengelola kelas menggambarnya sendiri dengan keadaannya pada saat itu.
            “Oleh-sebab-karena apa? Aku mesti melanjutkan hal-hal yang telah aku lakukan? Jika aku menemukan oleh-sebab-karena dalam diriku, bukankah dengan demikian, keihklasanku dalam melakukan sesuatu sudah habis?” gumam Akbar sambil memainkan sendok dalam cangkir tehnya.
            Bunda yang ada di hadapannya cuma geleng-geleng kepala. Dia tahu, dalam diri Akbar makin tumbuh sesuatu yang tidak beres. Keriangan putranya itu sudah lenyap. Pikirannya makin rumit dan runcing. Kelas menggambar yang dia bangun juga bubar lebih cepat daripada lamanya dia membangun. Tiap malam badan Akbar sering menggeliat ke segala arah. Dia kesusahan tidur di malam hari. Putranya itu juga makin malas menunjukkan muka diluar rumah, bahkan hanya di halamannya sekalipun, ia malas.
            “Aku malu pada semua orang, Bunda. Oleh-sebab-karena apa aku melanjutkan hal yang telah aku bangun, tidak mampu aku jawab. Aku sungguh tidak tahu mengapa aku mesti melanjutkan hal-hal yang telah aku bangun. Dengan demikian, aku jadi ingin sekali berhenti melanjutkan semuanya.” Akbar terus menggumam tanpa menyeruput isi cangkirnya sama sekali.
            Kantung mata bunda makin penuh dengan air. Buru-buru dia berdiri menuju dapur, berusaha memunggungi Akbar yang sekarang gemar duduk di sofa dekat pintu masuk. Lebih sering bunda gelisah hingga potongan kain dan jahitan baju pesanan orang yang di serahkan padanya menjadi tidak karuan. Bunda kesusahan menyamakan antara permintaan terkait ukuran dan potongan kain dengan gerak tangannya yang malah sekenanya.
            Tiap malam, Akbar menggumam ditambah menangis. Dia berkata bahwa dirinya ingin tidur dan bahagia. Sering dia juga mengeluhkan kepalanya yang makin sakit saban hari.
            Bunda juga ingin Akbar tidur nyenyak dan bahagia.
***
            Lepas kuliah, Tirta dan Yudha makin jarang mengunjungi bunda dan Akbar. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing yang mereka tekuni. Akbar dapat di pastikan dapat bertemu dua karibnya itu ketika hari raya saja. Makin hari, cahaya dalam mata Akbar terkikis dengan pasti. Pada masa itu, bunda menyebut Akbar telah tertidur meski kelopak matanya terlihat lebih sering terbuka sepanjang hari. Dia tidak lagi menggumamkan oleh-sebab-karena. Tidurnya dianggap lebih nyenyak meskipun bunda tidak lagi bisa mengajakanya mengobrol. Akbar hilang dari lingkungan sekitaran rumah. Bunda sendiri sangsi, apakah anak-anak yang dulunya di asuh oleh Akbar dalam kelas menggambar, masih mengingat muka putranya itu.
            Tirta dan Yudha bukan sekali menyarankan bunda untuk membawa Akbar ke dokter atau psikiater. Namun, ucapan bunda tetap sama. Bunda berucap,”Akbar sudah bahagia dan nyenyak dalam tidurnya. Oleh-sebab-karena tidak lagi mengganggu tidurnya sekarang.”

No comments: