“Bunda,
bagaimana kabar Akbar?” tanya seorang tetangga yang melintas di depan halaman
rumah bunda.
“Kabar
Akbar selalu baik. Dia juga selalu tidur nyenyak seperti biasanya. Oleh-sebab-
karena tidak bakal menganggu dia lagi.” Bunda menjawab tanpa memandang lawan
bicaranya. Dia tetap sibuk membasahi tiap pot tanaman miliknya dengan semprotan
air dari selang yang tengah dia genggam.
Tetangga itu cuma menggelengkan
kepala. Dia berlalu pergi tanpa tertarik lagi untuk memerpanjang obrolannya
dengan bunda. Toh, sapaannya pada bunda memang hanya sekadar basa basi dan
tenggang rasa. Sama seperti para tetangga lain yang coba menyapa bunda.
Rumah
bunda terletak di mulut gang. Hampir semua orang keluar masuk gang dengan
melewati rumah bunda. Bunda sering berada di halaman kecil depan rumahnya.
Sepantasnya memang setiap orang yang lewat untuk menyapa bunda, meski hanya
sekadar basa basi, tenggang rasa dan pengakuan kecil bahwa perempuan sepuh usia tujuh puluh dua tahun
tersebut masih dianggap ada. Dia selalu kelihatan sibuk mengutak-atik pot
tanamannya. Tidak ada yang mengerti, apa sebenarnya yang sedang bunda benahi
dari pot- pot tanamannya itu. Halamannya selalu berantakan, pot-pot berdiri
tidak teratur di sepanjang jalan menuju pintu rumah. Batang tanaman dan kembang
dari pot-pot itu juga menjulur ke segala arah. Sangat memungkinkan membuat
siapa saja tersandung, pun bunda.
Setiap
orang selalu menyapa bunda dengan alasan menanyakan kabar Akbar, putra
tunggalnya yang sudah delapan tahun tidak pernah terlihat lagi berkeliaran
diluar rumah. Bunda tidak bakal menjawab pertanyaan apapun selain menyoal
Akbar. Kabar Akbar baik dan tidurnya nyenyak, selalu hal itu yang di ucap bunda
tiap orang lain bertanya menyoal Akbar. Oleh-sebab- karena, juga selalu disebut
bunda sebagai sesuatu yang tidak bakal menganggu hidup putranya lagi.
“Baik
buruknya kabarku, aku tidak pernah peduli. Aku cuma mementingkan Akbar.
Kabarnya harus selalu baik dan tidurnya mesti selalu nyenyak. Oleh-sebab-
karena tidak bakal mengusik hidupnya lagi.” Jawab bunda satu waktu, ketika
salah seorang tetangga coba menanyakan kabarnya. Setelahnya, jawaban bunda yang
demikian segera menyebar ke seluruh penghuni gang. Setiap orang akhirnya tidak
pernah berani menanyakan sesuatu yang selain Akbar ketika menyapa bunda.
Perasaan bunda sedang berusaha dijaga…
***
Sebutan
‘bunda’ mulai menyebar ke semua orang yang tinggal dalam gang, semenjak Akbar
usianya dua tahun. Di usianya itu, sebutan bunda adalah kata pertama yang mampu
dia ucap. Dia senang meracau dengan bahasa miliknya sendiri sambil menyebut
‘bunda’ berkali-kali, ketika para tetangga yang lewat depan rumah menyapanya.
Semua orang mulai ikut menyebut perempuan berambut hitam kemerahan itu, dengan
sebutan bunda, ibunya Akbar.
Akbar
senang berlarian di halaman kecil depan rumahnya. Dua kakinya selalu membuat
pot-pot pecah dan batang tanaman milik bunda berserakan kemana-mana. Bunda
tidak pernah marah. Dia tahu, bahwa putranya itu hanya kelebihan energi, bukan
bermaksud merusak apa-apa yang sudah tertata rapi.
Di
masa itu, banyak orang yang juga wara wiri di dalam rumah bunda. Mereka adalah
pelanggan baju jahitanya. Akbar terbiasa berbaur dengan banyak orang asing di
dalam rumah. Dia selalu riang menyambut siapapun yang wara wiri di dalam rumah.
***
Semenjak Akbar menghilang dari
lingkungan sekitar rumah, kedatangan orang-orang yang menjadi pelanggan baju
jahitan bunda mulai berkurang. Lama-lama mereka pun benar-benar menghilang.
Kemudian, bunda menutup usahanya itu dan mulai bergantung pada uang pensiun
mendiang suaminya.
“Kamu bisa melihatnya, kan? Akbar
selalu bahagia dan nyenyak dalam tidurnya.” Ucap bunda pada pelanggan terakhir
sebelum usahanya di tutup.
Pelanggan bunda itu memaksa untuk
mengumbar senyum. Sebelum keluar dari rumah, matanya bertatapan dengan mata
Akbar. Mata Akbar terbuka, dia duduk di sofa dekat pintu rumah. Namun, bunda
agaknya benar soal putranya itu. Dia tertidur dengan matanya yang terbuka. Mata
itu sudah tidak bisa menangkap cahaya. Pelanggan terakhir itu bukan orang
pertama yang bergidik dan merinding setelah menangkap mata milik Akbar.
Setelahnya, dia tidak pernah kembali, pun para pelanggan yang lain.
“Akbar, sayangku, lihatlah. Mereka
tidak mau menjahit baju-baju mereka lagi pada Bunda karena tatapanmu. Bunda
tidak peduli. Terpenting bagimu adalah selalu bahagia dan tidur dengan nyenyak.
Oleh-sebab-karena tidak akan mengusikmu lagi.” Gumam bunda sambil menyuapkan
sesendok nasi ke mulut Akbar satu waktu.
***
Bunda selalu menggeleng, setiap
Tirta dan Yudha memberi saran untuk memeriksakan kesehatan Akbar ke dokter atau
psikiater. Mereka berdua adalah karib Akbar semenjak Sekolah Menengah. Hanya
mereka, orang asing yang sering wara wari di dalam rumah, sekalipun usaha bunda
sudah ditutup dua tahun setelah Akbar mulai menghilang dari lingkungan sekitar
rumah.
“Tidak. Aku rasa tidak perlu. Akbar
sudah bahagia dan nyenyak dalam tidurnya. Oleh-sebab- karena tidak boleh lagi
menganggu dia.” Ucap bunda, setiap Titrta dan Yudha memberi saran menyoal
kesehatan Akbar.
“Bunda…” Tirta berhenti melanjutkan
ucapannya ketika melihat kantung mata bunda yang mulai penuh dengan air.
Padahal, Tirta hanya hendak menawarkan mobil miliknya untuk membawa Akbar pergi
ke dokter atau psikiater. Sebuah tawaran yang sebenarnya sudah belasan kali
ditolak oleh bunda.
Tirta dan Yudha saling pandang.
Pandangan mereka berbarengan juga mengarah pada Akbar yang duduk sambil memeluk
kaki di atas sofa. Matanya terbuka, namun dia memang seperti orang yang tengah
tertidur. Dia tidak merespon kegelapan atau cahaya, pun suara tapak kaki orang
lain meski itu bundanya.
“Dulu, dia seorang penggerak yang
cemerlang.” Bisik Yudha. Tatapannya tidak lepas dari punggung Akbar yang
semakin kurus.
***
Waktu
itu, Akbar usianya masih tujuh belas. Dia rajin mengumpulkan anak-anak yang
tinggal di dalam gang untuk belajar menggambar tanpa biaya. Akbar pintar
berbaur, karakter masa kecil yang masih terus berkembang hingga usianya
belasan. Banyak warga yang tinggal dalam gang membolehkan anak-anak mereka
belajar bersama Akbar. Tirta dan Yudha, dua karibnya itu, juga selalu di
pastikan membantu Akbar mengajar anak-anak. Di usianya yang masih belasan itu,
Akbar memang malah sibuk mengajar ketimbang berjalan-jalan seperti kebanyakan
sebayanya. Kadang, teman satu sekolah dan beberapa guru juga datang untuk
menyumbang buku buat anak-anak asuhan Akbar. Sering juga para donatur
berdatangan untuk menyumbang alat-alat belajar. Ide sederhananya, ternyata
membuat banyak orang tergerak. Pujian-pujian untuk Akbar dari hampir seluruh
warga yang tinggal di dalam gang, selalu mampir ke telinga bunda saban hari.
Bunda seringkali cuma tersenyum, berusaha menampakkan mimik rendah hati meski
batinnya bangga setengah mati.
“Bar,
aku selalu bermimpi untuk memiliki pemikiran yang seperti kamu. Kamu mampu
menggerakkan banyak orang untuk berbuat sesuatu.” Ucap Tirta satu waktu.
Akbar
cuma terkekeh sambil tangannya sibuk menuang cat ke dalam toples-toples kecil.
Beberapa kali kepalanya menggeleng pelan. Baru kali ini, karibnya itu memuji
dia sedemikian rupa.
“Tirta
benar. Aku pun ingin memiliki pemikiran yang seperti kamu, Bar. Kamu adalah
seorang penggerak.” Sambung Yudha.
“Ah,
kalian terlalu berlebihan.” Tukas Akbar sambil terus terkekeh.
“Tidak,
kami serius, Bar. Aku sendiri juga melihat keihklasan dalam dirimu untuk
berbagi semua ini. Sering aku bertanya, mengapa kamu mau memulai hal kecil yang
jadi penggerak banyak orang ini. Bagaimana sebenarnya ‘mengapa’ itu sebagai
latar belakang atas semua yang kamu lakukan selama ini.” Tirta kembali
menyahut.
Dada
Akbar mendadak sesak. Keihklasan? Apa sesungguhnya yang di namakan keihklasan?
Lalu mengapa? Mengapa dirinya mengajar anak-anak? Sungguh Akbar tidak pernah
memikirkan dua hal itu apalagi mengapa sebagai latar belakang atas hal yang dia
lakukan. Keihklasan dan mengapa. Mengapa dia mesti memertanyakan keihklasan dan
mengapa keihklasan mulai dia pertanyakan sesungguhnya apa.
Setelahnya,
di satu waktu yang lain. Akbar mengajukan pertanyaan yang sama kepada dua
karibnya itu. “Mengapa kalian berdua mau membantu aku mengajar anak-anak?” kata
mengapa ditekan benar oleh Akbar.
Tirta
dan Yudha bertukar pandangan sangat lama, pun bunda yang tengah menyuguhkan
sirup kelapa di atas meja. Tirta buka suara yang pertama. Napas dia tarik
panjang dan lama sebelum dia berucap,”Karena aku ingin mengamalkan apa yang ada
dalam hadist-hadist agamaku. Bahwa berbagi memang sangat dianjurkan, meski
bukan dengan harta. Untuk itu, aku membantumu, Bar.”
Dada
Akbar kembali sesak. Sama sesak seperti kali pertama dia memertanyakan
keihklasan dan mengapa dalam dirinya. Setelah mendengar jawaban dari Tirta,
matanya melirik Yudha. Senyum kelihatan terpaksa di kembang Yudha. Dia tahu,
Akbar, karibnya itu sedang berlaku aneh dengan memasang mimik sangat tegang
yang sepanjang pertemanan mereka tidak pernah di perlihatkan oleh Akbar. Yudha
juga mengerti bahwa ketidakberesan ini tidak boleh mereka tertawakan atau Akbar
bakal sangat terluka dan tidak lagi percaya pada mereka.
“Aku
membantu kamu, karena aku bahagia. Senyum anak-anak yang selama ini bersama
kita, semua itu membahagiakan buat aku.” Ucap Yudha kemudian.
Mata
Akbar mendelik, pun mata bunda yang ikut mendelik setelah kaget melihat
mendeliknya mata Akbar. Sore itu, setelah pertanyaan soal mengapa di luncurkan
Akbar kepada dua karibnya, dia jadi mengurangi gelak tawa dan dominasinya dalam
setiap obrolan.
Sekarang,
ada tambahan pertanyaan dalam batin Akbar selain keihklasan dan mengapa. Dia
juga mulai memertanyakan soal karena. Apa itu karena? Apakah karena yang
menimbulkan sebab? Apakah oleh-sebab-karena, seseorang jadi melakukan satu hal.
Bukankah arti ikhlas adalah bukan oleh-sebab-karena. Lalu, dimana letak keihklasan?
Dimana? Jangan-jangan dirinya memang dilahirkan sebagai mahluk yang memiliki
tendensi yang juga dikelilingi mahluk serupa. Bukankah oleh-sebab-karena adalah
bentuk dari sebuah tendensi?
Akbar
merasa bahwa dirinya mengalir begitu saja ketika mengumpulkan anak-anak yang
tinggal dalam gang untuk bersamanya belajar menggambar. Kelas kecil yang
dibentuknya ini menarik donatur buku dan orang-orang yang katanya peduli pada
anak-anak juga pendidikan untuk berkontribusi. Bila ditanya mengapa, dia belum
pernah memikirkan jawaban yang mengandung awalan karena. Apakah itu yang
dinamakan sebuah keihklasan? Jika benar, berarti keihklasannya sudah jauh
pergi, ketika dia mulai memertanyakan oleh-sebab-karena. Di sisi lain, tanpa
adanya oleh-sebab-karena, Akbar merasa tidak memiliki sebab untuk melanjutkan
hal-hal yang sudah dia bangun. Kemudian…
Kepala
Akbar berdenyut.
***
Lepas
pengumuman kelulusan, Akbar terus melanjutkan kelas menggambar di halaman rumah
bersama dua karibnya. Keriangan Akbar makin terkikis saban hari. Kepalanya
dipenuhi pertanyaan menyoal oleh-sebab-karena dan dimana letak sebuah
keihklasan. Akbar merasa bahwa dirinya makin menjijikkan setiap hari. Dia jijik
dengan dirinya yang tidak memiliki jawaban oleh-sebab-karena dan dimana letak
sebuah keihklasan. Dirinya tidak berniat membuka kelas menggambar untuk
memenuhi tuntunan hadist dalam agamanya. Demi mendapat kebahagiaan? Dia juga
tidak berniat untuk memenuhi rasa bahagia dalam dirinya dengan membuka sebuah
kelas menggambar. Lalu? Oleh sebab karena apa dia mesti melanjutkan apa yang
telah dia lakukan? Motivasi Akbar makin terkikis. Tapi, bagaimana Tirta dan
Yudha mampu menjawab oleh-sebab-karena? Pikiran Akbar makin runcing dan
kepalanya lebih sering berdenyut.
Akbar
mulai sering tidur sepanjang sore. Kelas menggambar akhirnya di komandani dua
karibnya saja, tanpa dirinya yang sekarang lebih sering abai. Kantung matanya
bengkak dan menghitam. Di malam hari, dia sering kesusahan tidur.
Oleh-sebab-karena jadi pokok pikirannya tiap malam. Makin hari makin dalam.
Tirta
dan Yudha kemudian sibuk mendaftar ke perguruan tinggi. Saat itu, Akbar malah
menambah porsi tidurnya di sore dan pagi hari. Dua karibnya itu sudah menawari
Akbar untuk mendaftar bersama ke perguruan tinggi atau setidaknya jika Akbar
tidak berminat untuk melanjutkan pendidikannya, dia bisa melamar pekerjaan.
Banyak donatur yang menawari biaya kuliah dan lowongan kerja buat Akbar melalui
dua karibnya. Para donatur terkesan dengan rekam jejak Akbar dalam menggiatkan
kelas menggambar. Tawaran di sekitaran dirinya itu, cuma ditanggapi Akbar
dengan kalimat seolah mengiyakan. Matanya juga kelihatan menahan sakit tiap
berbicara kelewat banyak karena kepalanya terus berdenyut.
Kelas menggambar mulai sering
diliburkan Akbar tanpa tenggat waktu yang jelas. Anak-anak yang diasuhnya mulai
malas kembali karena permainan jadwal yang disusun sekenanya oleh Akbar. Semua
itu sejalan dengan dua karibnya yang saat itu sama-sama diterima disebuah
perguruan tinggi diluar provinsi. Akbar tidak lagi mampu mengelola kelas
menggambarnya sendiri dengan keadaannya pada saat itu.
“Oleh-sebab-karena apa? Aku mesti
melanjutkan hal-hal yang telah aku lakukan? Jika aku menemukan
oleh-sebab-karena dalam diriku, bukankah dengan demikian, keihklasanku dalam
melakukan sesuatu sudah habis?” gumam Akbar sambil memainkan sendok dalam
cangkir tehnya.
Bunda yang ada di hadapannya cuma
geleng-geleng kepala. Dia tahu, dalam diri Akbar makin tumbuh sesuatu yang
tidak beres. Keriangan putranya itu sudah lenyap. Pikirannya makin rumit dan runcing.
Kelas menggambar yang dia bangun juga bubar lebih cepat daripada lamanya dia
membangun. Tiap malam badan Akbar sering menggeliat ke segala arah. Dia
kesusahan tidur di malam hari. Putranya itu juga makin malas menunjukkan muka
diluar rumah, bahkan hanya di halamannya sekalipun, ia malas.
“Aku malu pada semua orang, Bunda.
Oleh-sebab-karena apa aku melanjutkan hal yang telah aku bangun, tidak mampu
aku jawab. Aku sungguh tidak tahu mengapa aku mesti melanjutkan hal-hal yang
telah aku bangun. Dengan demikian, aku jadi ingin sekali berhenti melanjutkan
semuanya.” Akbar terus menggumam tanpa menyeruput isi cangkirnya sama sekali.
Kantung mata bunda makin penuh
dengan air. Buru-buru dia berdiri menuju dapur, berusaha memunggungi Akbar yang
sekarang gemar duduk di sofa dekat pintu masuk. Lebih sering bunda gelisah
hingga potongan kain dan jahitan baju pesanan orang yang di serahkan padanya
menjadi tidak karuan. Bunda kesusahan menyamakan antara permintaan terkait
ukuran dan potongan kain dengan gerak tangannya yang malah sekenanya.
Tiap malam, Akbar menggumam ditambah
menangis. Dia berkata bahwa dirinya ingin tidur dan bahagia. Sering dia juga
mengeluhkan kepalanya yang makin sakit saban hari.
Bunda juga ingin Akbar tidur nyenyak
dan bahagia.
***
Lepas kuliah, Tirta dan Yudha makin
jarang mengunjungi bunda dan Akbar. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing
yang mereka tekuni. Akbar dapat di pastikan dapat bertemu dua karibnya itu
ketika hari raya saja. Makin hari, cahaya dalam mata Akbar terkikis dengan
pasti. Pada masa itu, bunda menyebut Akbar telah tertidur meski kelopak matanya
terlihat lebih sering terbuka sepanjang hari. Dia tidak lagi menggumamkan
oleh-sebab-karena. Tidurnya dianggap lebih nyenyak meskipun bunda tidak lagi
bisa mengajakanya mengobrol. Akbar hilang dari lingkungan sekitaran rumah.
Bunda sendiri sangsi, apakah anak-anak yang dulunya di asuh oleh Akbar dalam
kelas menggambar, masih mengingat muka putranya itu.
Tirta dan Yudha bukan sekali
menyarankan bunda untuk membawa Akbar ke dokter atau psikiater. Namun, ucapan
bunda tetap sama. Bunda berucap,”Akbar sudah bahagia dan nyenyak dalam
tidurnya. Oleh-sebab-karena tidak lagi mengganggu tidurnya sekarang.”
No comments:
Post a Comment