Sumber: Gugel |
Maka,
di hadapan saya sekarang ada kamu. Dengan bibir robek dan pipi biru.
“Hai…”
sapamu dengan mata yang redup.
Dengan
bola mata yang berair, saya malah mengambil jarak beberapa langkah dari
tempatmu tidur.
“Mereka
menghianati saya, kamu tahu kan?” kamu lebih panjang berucap meski kesusahan
mengatur napas.
Saya
justru kembali berjalan mundur beberapa langkah.
“Ya…
kamu sudah tahu tentang itu sejak bertahun-tahun lalu. Saya memang yang terlalu
utopis, ketika melihat mereka yang seolah mau berjalan bersama saya,” kali ini,
kamu bicara sambil berusaha mengangkat kepalamu yang nampak begitu berat bahkan
hanya untuk sedikit digeser.
“Saya
adalah januari, yang berkali disebut salam lagu seperti katamu. Saya adalah
januari, yang juga berkali disebut dalam doa mendiang ibu saya, masih seperti
katamu. Saya adalah januari, yang berkali ada dalam omelanmu, lagi-lagi seperti
katamu. Saatnya saya minta maaf padamu kali ini…”
Saya
mendekati gagang pintu dan mulai memutarnya sambil masih menoleh padamu, yang
makin kesusahan mengatur napas dan berhenti bicara.
“Kamu
butuh istirahat dan bersekapat pada dirimu sendiri buat memaafkan…” ucap saya
sebelum keluar dari ruangan.
No comments:
Post a Comment