Semaunya
sendiri, adalah kesan mbak Zizi untuk saya. Saya bocah SD yang kali pertama
bertemu dengannya saat dia masih berkuliah di UIN Malang. Tentu saja, di masa
itu saya tidak mengetahui bahwa mbak Zizi yang sekarang menjadi editor Diva
Press, juga seorang yang dikenal sebagai cerpenis asal Malang.
Mbak
Zizi adalah guru mengaji yang sangat berkesan bagi saya. Dia memikat hati saya,
gadis kecil yang karena keadaan jadi berkuping tebal dan hanya percaya pada
dirinya sendiri juga Tuhan untuk berbicara.
Saya
dikenang sebagai murid mengaji yang selalu punya aktifitas sendiri. Saya tentu
tidak mengingat kebandelan saya itu. Mbak Zizi yang mengingatkannya saat kami
saling bertukar komentar di FB setahun atau dua tahun lalu.
Kemudian,
saya jadi teringat masa-masa di mana teman-teman saya menurut, saat mbak Zizi
memberi instruksi buat menulis huruf hijaiyah, sedang saya malah sibuk
menggambar sendiri. Betul, saya punya dunia sendiri dan hanya percaya pada
dunia yang saya bikin sendiri itu.
“Mengajimu
bagus sekali, Pop. Kamu belajar di mana?” puji mbak Zizi. Pipi saya tentu saja
panas. Saya jarang mendapat pujian hingga sulit berekspresi sebagaimana
semestinya ketika mendapat pujian itu. Saya yakin, saat itu saya terus memasang
wajah datar meski sungguh ingin tersipu atau tersenyum.
“Aku
ngaji di sekolah, Mbak.” Jawab saya.
“Oh
iya? SD mana?” tanya mbak Zizi dengan nada suaranya yang selalu ceria dan
menyenangkan itu.
“SD
Muhammadiyah 1 Malang.” Jawab saya.
“Oh…
pantas…” sahut mbak Zizi yang seperti maklum.
Kalimat
‘oh pantas’ seperti mewakili pengetahuan mbak Zizi soal SD islam yang tentu
saja banyak porsi pelajaran agama dan mengaji. Ini kali pertama saya menyebut
asal alumni saya di hadapanmu, supaya kamu tidak lelah penasaran soal bagaimana
latar belakang saya atau menerka apakah saya budha, katolik atau agama lainnya,
hanya karena saya menyenangi kutipan-kutipan Yongey Mingyur Rinpoche atau
senang memakai display picture BBM wajah
ibu Theresa.
“Mbak
Zizi, ada yang bilang menggambar itu haram.” Cetus saya satu waktu.
“Siapa
bilang? Kamu kan niatnya menggambar, bukan niat meniru ciptaan Tuhan. Ayo,
Poppy bikin gambar. Nanti mbak kirim ke majalah.” Sahut mbak Zizi.
Mbak
Zizi menyemangati saya buat terus menggambar. Tidak jarang, dirinya juga
membikin suatu permainan berkelompok yang memanfaat kemampuan menggambar saya.
Saya merasa berharga dan makin tertarik buat mendengarkannya.
“Mbak…
aku nggak bisa doa yang seperti teman-teman itu. Aku bisanya doa iftitah.” Ucap
saya saat semua teman dan mbak Zizi sendiri, mengucap doa awalan sholat yang
beda dengan yang kadung saya hafal dari sekolah.
“Nggak
apa-apa, Pop. Kamu pakai doa yang diajarkan di sekolahmu saja.” Sahut mbak Zizi
adem.
Jika
mengingat bagaimana mbak Zizi dulu menyikapi perbedaan, maka saya ngilu dengan
kotak-kotak aliran itu dan ini yang ada di masa sekarang. Mungkin, kamu salah
satu orang yang dengan keras saya tegur saat sengaja membagikan artikel terkait
islam, namun cenderung menyerang di sosial media milik saya pula. Kamu sekarang
paham apa sebabnya bukan? Selain karena pemirsa sosial media saya bukan cuma
yang seperti dirimu, yang sudah merasa benar beragama.
Pertemuan
saya setahun lalu, saat mbak Zizi pulang ke Malang juga berkesan bagi saya.
Mbak Zizi tidak memertanyakan kenapa saya memakai celana jeans atau kaos lengan
pendek. Dia juga tidak memertanyakan sudah khatam kah saya mengaji.
“Selama
di Malang, kamu kenalan sama siapa saja, Pop?” tanya mbak Zizi.
Loh…
dia justru menanyakan pergaulan saya.
“Aku
kenal teman-teman diskusi sampeyan jaman kuliah dulu, Mbak. Mas Denny Mizhar
salah satunya.” Jawab saya.
Pertanyaan
mbak Zizi, justru mengingatkan saya bahwa soal bergaul, juga termasuk dalam
beragama. Bergaul, justru letaknya lebih jauh dan tersembunyi ketimbang syariat
atau tata cara beragama yang nampak dari luar.
Bagaimana?
Sudah terasa belum? Bahwa yang memahami ilmu, justru menyebarkannya lewat
cinta.
No comments:
Post a Comment