Saturday, October 22, 2016

Zizi Hefni dan Caranya Menjadi Manusia


Semaunya sendiri, adalah kesan mbak Zizi untuk saya. Saya bocah SD yang kali pertama bertemu dengannya saat dia masih berkuliah di UIN Malang. Tentu saja, di masa itu saya tidak mengetahui bahwa mbak Zizi yang sekarang menjadi editor Diva Press, juga seorang yang dikenal sebagai cerpenis asal Malang.
Mbak Zizi adalah guru mengaji yang sangat berkesan bagi saya. Dia memikat hati saya, gadis kecil yang karena keadaan jadi berkuping tebal dan hanya percaya pada dirinya sendiri juga Tuhan untuk berbicara.
Saya dikenang sebagai murid mengaji yang selalu punya aktifitas sendiri. Saya tentu tidak mengingat kebandelan saya itu. Mbak Zizi yang mengingatkannya saat kami saling bertukar komentar di FB setahun atau dua tahun lalu.
Kemudian, saya jadi teringat masa-masa di mana teman-teman saya menurut, saat mbak Zizi memberi instruksi buat menulis huruf hijaiyah, sedang saya malah sibuk menggambar sendiri. Betul, saya punya dunia sendiri dan hanya percaya pada dunia yang saya bikin sendiri itu.
“Mengajimu bagus sekali, Pop. Kamu belajar di mana?” puji mbak Zizi. Pipi saya tentu saja panas. Saya jarang mendapat pujian hingga sulit berekspresi sebagaimana semestinya ketika mendapat pujian itu. Saya yakin, saat itu saya terus memasang wajah datar meski sungguh ingin tersipu atau tersenyum.
“Aku ngaji di sekolah, Mbak.” Jawab saya.
“Oh iya? SD mana?” tanya mbak Zizi dengan nada suaranya yang selalu ceria dan menyenangkan itu.
“SD Muhammadiyah 1 Malang.” Jawab saya.
“Oh… pantas…” sahut mbak Zizi yang seperti maklum.
Kalimat ‘oh pantas’ seperti mewakili pengetahuan mbak Zizi soal SD islam yang tentu saja banyak porsi pelajaran agama dan mengaji. Ini kali pertama saya menyebut asal alumni saya di hadapanmu, supaya kamu tidak lelah penasaran soal bagaimana latar belakang saya atau menerka apakah saya budha, katolik atau agama lainnya, hanya karena saya menyenangi kutipan-kutipan Yongey Mingyur Rinpoche atau senang memakai display picture BBM wajah ibu Theresa.
“Mbak Zizi, ada yang bilang menggambar itu haram.” Cetus saya satu waktu.
“Siapa bilang? Kamu kan niatnya menggambar, bukan niat meniru ciptaan Tuhan. Ayo, Poppy bikin gambar. Nanti mbak kirim ke majalah.” Sahut mbak Zizi.
Mbak Zizi menyemangati saya buat terus menggambar. Tidak jarang, dirinya juga membikin suatu permainan berkelompok yang memanfaat kemampuan menggambar saya. Saya merasa berharga dan makin tertarik buat mendengarkannya.
“Mbak… aku nggak bisa doa yang seperti teman-teman itu. Aku bisanya doa iftitah.” Ucap saya saat semua teman dan mbak Zizi sendiri, mengucap doa awalan sholat yang beda dengan yang kadung saya hafal dari sekolah.
“Nggak apa-apa, Pop. Kamu pakai doa yang diajarkan di sekolahmu saja.” Sahut mbak Zizi adem.
Jika mengingat bagaimana mbak Zizi dulu menyikapi perbedaan, maka saya ngilu dengan kotak-kotak aliran itu dan ini yang ada di masa sekarang. Mungkin, kamu salah satu orang yang dengan keras saya tegur saat sengaja membagikan artikel terkait islam, namun cenderung menyerang di sosial media milik saya pula. Kamu sekarang paham apa sebabnya bukan? Selain karena pemirsa sosial media saya bukan cuma yang seperti dirimu, yang sudah merasa benar beragama.
Pertemuan saya setahun lalu, saat mbak Zizi pulang ke Malang juga berkesan bagi saya. Mbak Zizi tidak memertanyakan kenapa saya memakai celana jeans atau kaos lengan pendek. Dia juga tidak memertanyakan sudah khatam kah saya mengaji.
“Selama di Malang, kamu kenalan sama siapa saja, Pop?” tanya mbak Zizi.
Loh… dia justru menanyakan pergaulan saya.
“Aku kenal teman-teman diskusi sampeyan jaman kuliah dulu, Mbak. Mas Denny Mizhar salah satunya.” Jawab saya.
Pertanyaan mbak Zizi, justru mengingatkan saya bahwa soal bergaul, juga termasuk dalam beragama. Bergaul, justru letaknya lebih jauh dan tersembunyi ketimbang syariat atau tata cara beragama yang nampak dari luar.
Bagaimana? Sudah terasa belum? Bahwa yang memahami ilmu, justru menyebarkannya lewat cinta.

No comments: