Dimuat di Ruang Scripta, Jawa Pos, Radar Malang, Minggu, 27 November 2016. Dapat juga dibaca di http://www.pelangisastramalang.org/menanti-blanggur/
Langit hampir gelap, namun Aliman
dan Yohan masih duduk di salah satu anak tangga di bibir gang kampung. Mata
mereka terpaku menatap lagit, pun mata anak-anak lain yang sebaya dengan
mereka.
Tidak lama, suara ledakan dan
percikan api terdengar bersusulan. Langit yang hampir gelap sekarang dihiasi
percikan api yang mekar mirip kembang.
“Blanggur! Blanggur!” jerit
anak-anak yang sedari dari duduk di sepanjang tangga, termasuk Aliman dan
Yohan.
Mereka berjingkrak dan kemudian
berlarian dengan telanjang kaki sambil masuk ke dalam kampung. Setelahnya,
barulah mereka masuk ke dalam rumah masing-masing.
“Besok lagi ya, Man!” teriak Yohan
sebelum masuk ke dalam rumahnya yang memiliki pagar tinggi.
Belum sempat Aliman mengangguk
mengiyakan, Yohan sudah menghilang dari balik pagar rumahnya. Aliman kemudian
buru-buru masuk dalam rumahnya yang berjarak beberapa rumah saja dari rumah
Yohan.
Sudah waktunya berbuka
puasa, emak pasti sudah menunggu, batin Aliman.
***
Aliman tidak pernah terlalu
mengerti, mengapa dirinya berkulit gelap sedang Yohan
memiliki kulit terang. Yang dia mengerti, emak selalu menempeleng kepalanya,
saat berani memakan makanan yang diberikan teman yang sudah bersama dengannya
sebelum masuk sekolah dasar itu.
“Iman! Kamu sepeti orang yang
kurang makan saja!” jerit emak saat tahu Aliman memakan makanan dari Yohan.
Sebaliknya, Yohan begitu bebas
menerima makanan dari Aliman. Ibunya tidak pernah menempeleng kepalanya saat
tahu dirinya menerima makanan dari Aliman.Padahal, makanan yang Aliman berikan
begitu sederhana, tidak jauh dari roti moho atau lupis dan getas. Sedangkan,
makanan yang didapat Aliman dari Yohan justru makanan yang jarang sekali dia
dapat seperti dimsum daging.
Ibu Yohan yang ramah dan berkulit
terang itu, juga sering melarang putranya berbagi maka dengan Aliman kecuali
beberapa keripik kentang. Aliman tidak pernah mengerti…sungguh-sungguh tidak
mengerti. Namun dia mengerti bahwa mata sipit Yohan dia dapat dari ibu dan
bapaknya yang memiliki mata yang sama, juga nenek dan kakak perempuannya.
***
Blanggur
hanya datang sekali setahun, sebulan penuh ketika bulan puasa. Kembang api yang
menyala sebelum adzan magrib itu, datang dari masjid agung Jami’. Sebuah masjid
besar yang letaknya ada di depan alun-alun kota Malang.
Aliman sore itu menanti blanggur, bersama banyak anak-anak
sebayanya. Seperti sore-sore sebelumnya, dia duduk di samping Yohan di
sepanjang tangga di mulut gang. Nyala blanggur
yang begitu keras dan membumbung sangat tinggi melebihi atap masjid, membuatnya
dapat dilihat dari kampung-kampung yang ada di sekitar masjid.
Selain karena kesenangan, Aliman
tidak pernah mengerti kenapa Yohan juga senang menanti blanggur. Tidak sepertinya yang di bulan puasa tidak makan dan
minum sampai muncul blanggur, Yohan
berkali-kali didapati Aliman makan di siang hari. Berkali-kali pula, ibu Yohan
menegur halus Yohan sambil mengajaknya untuk makan di dalam rumah saja, meski
Aliman sudah terlanjur ngiler.
Meski tidak pernah mengerti, Aliman tidak pernah bertanya. Dia sudah
cukup senang bisa melompat-lompat dan berteriak girang bersama Yohan saat blanggur datang. Bahkan hingga bertahun
kemudian, ketika blanggur tidak lagi
pernah datang, Aliman dan Yohan tetap berlarian bersama di dalam kampung.
***
Lelaki yang ada hadapan Aliman itu
tetap sama. Kulitnya tetap terang dan matanya tetap sipit. Namun kini perutnya
membuncit dan ada seorang gadis berusia enam tahun dalam gendongannya. Yohan
dan putrinya yang ketiga…
“Kamu ingat emakmu dulu tidak, Man?
Dia sering menempelengmu saat menerima makanan dari aku.” Ucap Yohan disusul
gelaknya yang kemudian juga bebaur dengan gelak Aliman.
“Blanggur sayangnya tidak pernah
datang lagi ya, Man?” Yohan kembali berucap lebih kepada dirinya sendiri.
Tidak lama, seorang perempuan
berkulit gelap muncul membawa dua mangkuk makanan. Perempuan itu diperkenalkan
Yohan sebagai istrinya.
Setelah bersalaman singkat dengan
istri Yohan itu, Aliman buru-buru mengintip isi mangkuk yang ada di hadapannya.
Dimsum daging…
“Tenang saja, Man. Itu bikinnya
dari daging ayam kok.” Kata Yohan seolah bisa menebak keraguan Aliman.
Mereka berdua kembali tergelak.
Lepas…
CATATAN:
Untuk Hari Toleransi Internasional, 16 November 2016
Poppy Trisnayanti Puspitasari, merupakan mahasiswa
Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang.
Tambahan Januari 2020:
Sumber: Facebook Syahiduz Zaman |
Sumber: Facebook Syahiduz Zaman |
Terharu, ada yang apresiasi dengan unggah ulang di Facebook begini. Oh iya, membaca perkiraan orang lain tentang sebuah cerpen berasal memang menyenangkan. Demikian serupa api yang selalu menghangatkan ruang antara tulisan dengan imajinasi pembaca. Jadi ramuan hingga cerpen ini terwujud, agaknya lebih baik saya simpan dahulu hingga hari ini.
No comments:
Post a Comment