Nai, menceritakan bagaimana dirinya yang selalu masuk madrasah
hingga Aliyah atau setara dengan SMA. Dia kemudian kaget, mendapati beberapa
kelakuan ganjil teman-temannya yang dulu tidak pernah dia dapati di sekolah,
saat kuliah.
Keganjilan
bagi Nai, justru bukan hal asing bagi saya. Saya sendiri pernah masuk di
sebuah SMK dengan latar belakang campuran para siswanya. Sebagian siswa memang
membawa nama sekolah hingga nasional, sebagian lagi justru kesehariannya
ditemani gosip bahwa profesinya dekat dengan dunia malam.
Nai menyebut kehidupan ganjil dari kampusnya sebagai bagian under cover. Ini juga mengingatkan saya soal seorang teman satu
angkatan, yang pernah jadi bahan pembicaraan teman-teman kampus. Saya jujur
saja mengagumi sikap tanggungjawab dan semangat belajar teman perempuan yang
jadi bahan pembicaraan itu. Namun saya juga merasa ganjil dengan cara
berpakaiannya yang sudah sesuai dengan tata cara beragama, sebaliknya dia
begitu lengket saat berfoto dengan pacarnya.
“Dia
dulu nggak begitu jaman masih di pondok.” Komentar seorang teman.
Saya
juga ingat, bagaimana teman semasa di SMK yang cerdas dan masuk dengan
nilai rata-rata cukup tinggi, berubah selama tiga tahun di SMK. Kesehariannya
jadi sekadar memikirkan lelaki yang dipacarinya.
Saya (paling kiri) bersama beberapa teman sekelas di SMK. |
Pernah
juga teman saya itu curhat pada saya, soal perubahan yang dia rasakan,”Aku
merasa selama ini aku berubah, Pop. Aku nggak kayak SMP dulu. Aku sekarang
melulu mikir cowok. Kamu bisa bantu aku biar nggak gini lagi?” dan sayangnya,
kesadaran teman saya itu hilang cepat-cepat. Dia yang sebenarnya berpotensi
melanjutkan kuliah dan jadi bintang di tempat pekerjaan berjenjang karir, akhirnya
memilih menikah muda dan bekerja di tempat yang tidak memiliki
jenjang karir.
Beberapa
minggu lalu, saya juga bertemu seorang tetangga yang putranya hendak masuk SMA.
Tetangga saya itu bercerita pada ayah saya, soal kekhawatirannya perkara akhlak
di jaman sekarang. Maka dia memutuskan memasukkan putranya di sebuah sekolah
agama. Berharap ahlak putranya terjaga dengan memasukkannya di sekolah
berlandaskan agama.
Kekagetan
Nai, perubahan teman seangkatan saya semasa di pondok hingga kuliah dan juga
si cerdas teman sekelas saya di SMK, menunjukkan bahwa lingkungan abu-abu tidak
bisa dihindari. Kalau pun seperti Nai, dirinya hanya ada di lingkungan ideal
hingga masuk Aliyah atau setara SMA. Tidak bisa dihindari, banyak sisi yang
menurutnya under cover sejak dirinya
masuk kuliah, meski kampusnya juga berlandaskan agama.
Pertemuan
saya dengan Ratih Nur Asih beberapa bulan lalu, teman sekelas di masa SMK yang
tidak juga berubah hingga saat ini, menyadarkan saya, betapa masih ada orang
yang kuat seperti Ratih. Ratih tetap sama, rambutnya tetap sepanjang punggung
dan tetap tekun bekerja di sebuah restoran cepat saji.
Ratih
membawa beberapa cerita sedih, soal teman-teman kami. Salah satunya ditinggal kabur sang
suami setelah melahirkan. Saya ingat, teman itu memang salah satu dari beberapa
teman yang sudah menerima uang belanja dari pacar-pacar mereka di masa SMK.
“Ya…
kamu tahu sendiri lah, Mak[1].
Cowok kalau mau kasih sesuatu, mereka minta apa coba?” ucap Ratih, saat
menanggapi soal uang belanja dari pacar.
Saya dan Ratih Nur Asih saat bertemu di CFD. |
Ratih
sendiri berbaur dengan sangat baik pada siapa saja selama SMK. Namun, saya
tidak mendapati dirinya ikut melulu memikirkan siapa lelaki yang dipacari,
seperti teman-teman yang lain. Dirinya selalu fokus menjadi perempuan yang
setidaknya bisa menghidupi dirinya sendiri.
“Aku
juga ingat kamu dulu waktu SMK, Mak. Kamu selalu bilang ingin sekolah dan
sekolah, pokoknya sekolah.” Gelak Ratih kemudian saat mengenang saya.
Dan
saya memang ada di sini sekarang, sedang menyelesaikan kuliah sambil menyerap
lingkungan produktif di lingkup komunitas. Jadi, perlukah anak-anak diberitahu
soal dunia yang sesungguhnya abu-abu?
[1]
Banyak teman akrab memanggil saya Emak yang artinya ibu, dalam bahasa Jawa.
Catatan: Desember 2019 saya kembali membaca tulisan ini. Dulu, saya ternyata pernah ada pada titik merasa lebih progesif hanya karena tidak memilih nikah muda. Jijik juga melihat saya yang dulu.
Catatan: Desember 2019 saya kembali membaca tulisan ini. Dulu, saya ternyata pernah ada pada titik merasa lebih progesif hanya karena tidak memilih nikah muda. Jijik juga melihat saya yang dulu.
1 comment:
Mungkin perlu kalau konteks ceritanya kayak diatas...
Post a Comment