Friday, December 2, 2016

Perlukah Anak-anak Diberitahu Soal Dunia Yang ‘Abu-abu’?


Nai, menceritakan bagaimana dirinya yang selalu masuk madrasah hingga Aliyah atau setara dengan SMA. Dia kemudian kaget, mendapati beberapa kelakuan ganjil teman-temannya yang dulu tidak pernah dia dapati di sekolah, saat kuliah.
Keganjilan bagi Nai, justru bukan hal asing bagi saya. Saya sendiri pernah masuk di sebuah SMK dengan latar belakang campuran para siswanya. Sebagian siswa memang membawa nama sekolah hingga nasional, sebagian lagi justru kesehariannya ditemani gosip bahwa profesinya dekat dengan dunia malam.
Nai menyebut kehidupan ganjil dari kampusnya sebagai bagian under cover. Ini juga mengingatkan saya soal seorang teman satu angkatan, yang pernah jadi bahan pembicaraan teman-teman kampus. Saya jujur saja mengagumi sikap tanggungjawab dan semangat belajar teman perempuan yang jadi bahan pembicaraan itu. Namun saya juga merasa ganjil dengan cara berpakaiannya yang sudah sesuai dengan tata cara beragama, sebaliknya dia begitu lengket saat berfoto dengan pacarnya.
“Dia dulu nggak begitu jaman masih di pondok.” Komentar seorang teman.
Saya juga ingat, bagaimana teman semasa di SMK yang cerdas dan masuk dengan nilai rata-rata cukup tinggi, berubah selama tiga tahun di SMK. Kesehariannya jadi sekadar memikirkan lelaki yang dipacarinya.
Saya (paling kiri) bersama beberapa teman sekelas di SMK.
Pernah juga teman saya itu curhat pada saya, soal perubahan yang dia rasakan,”Aku merasa selama ini aku berubah, Pop. Aku nggak kayak SMP dulu. Aku sekarang melulu mikir cowok. Kamu bisa bantu aku biar nggak gini lagi?” dan sayangnya, kesadaran teman saya itu hilang cepat-cepat. Dia yang sebenarnya berpotensi melanjutkan kuliah dan jadi bintang di tempat pekerjaan berjenjang karir, akhirnya memilih menikah muda dan bekerja di tempat yang tidak memiliki jenjang karir.
Beberapa minggu lalu, saya juga bertemu seorang tetangga yang putranya hendak masuk SMA. Tetangga saya itu bercerita pada ayah saya, soal kekhawatirannya perkara akhlak di jaman sekarang. Maka dia memutuskan memasukkan putranya di sebuah sekolah agama. Berharap ahlak putranya terjaga dengan memasukkannya di sekolah berlandaskan agama.
Kekagetan Nai, perubahan teman seangkatan saya semasa di pondok hingga kuliah dan juga si cerdas teman sekelas saya di SMK, menunjukkan bahwa lingkungan abu-abu tidak bisa dihindari. Kalau pun seperti Nai, dirinya hanya ada di lingkungan ideal hingga masuk Aliyah atau setara SMA. Tidak bisa dihindari, banyak sisi yang menurutnya under cover sejak dirinya masuk kuliah, meski kampusnya juga berlandaskan agama.
Pertemuan saya dengan Ratih Nur Asih beberapa bulan lalu, teman sekelas di masa SMK yang tidak juga berubah hingga saat ini, menyadarkan saya, betapa masih ada orang yang kuat seperti Ratih. Ratih tetap sama, rambutnya tetap sepanjang punggung dan tetap tekun bekerja di sebuah restoran cepat saji.
Ratih membawa beberapa cerita sedih, soal teman-teman kami. Salah satunya ditinggal kabur sang suami setelah melahirkan. Saya ingat, teman itu memang salah satu dari beberapa teman yang sudah menerima uang belanja dari pacar-pacar mereka di masa SMK.
“Ya… kamu tahu sendiri lah, Mak[1]. Cowok kalau mau kasih sesuatu, mereka minta apa coba?” ucap Ratih, saat menanggapi soal uang belanja dari pacar.
Saya dan Ratih Nur Asih saat bertemu di CFD.
Ratih sendiri berbaur dengan sangat baik pada siapa saja selama SMK. Namun, saya tidak mendapati dirinya ikut melulu memikirkan siapa lelaki yang dipacari, seperti teman-teman yang lain. Dirinya selalu fokus menjadi perempuan yang setidaknya bisa menghidupi dirinya sendiri.
“Aku juga ingat kamu dulu waktu SMK, Mak. Kamu selalu bilang ingin sekolah dan sekolah, pokoknya sekolah.” Gelak Ratih kemudian saat mengenang saya.
Dan saya memang ada di sini sekarang, sedang menyelesaikan kuliah sambil menyerap lingkungan produktif di lingkup komunitas. Jadi, perlukah anak-anak diberitahu soal dunia yang sesungguhnya abu-abu?




[1] Banyak teman akrab memanggil saya Emak yang artinya ibu, dalam bahasa Jawa.

Catatan: Desember 2019 saya kembali membaca tulisan ini. Dulu, saya ternyata pernah ada pada titik merasa lebih progesif hanya karena tidak memilih nikah muda. Jijik juga melihat saya yang dulu.

1 comment:

rm said...

Mungkin perlu kalau konteks ceritanya kayak diatas...