Wednesday, June 3, 2015

Para Maria

-Untuk Mavalda Junia Anu Sahanah. Selamat 43 yang ke-2.
Dapat juga di akses di, http://gwp.co.id/para-maria/

Dimuat dalam antologi Cerpen,  Wanita 5 Musim, MP3 FIP UM (kaming sun).
Para Maria
Oleh: Poppy Trisnayanti Puspitasari
Aku berkali-kali bertanya dalam batin, kenapa semua perempuan kamu panggil sebagai Maria. Berkali-kali juga, aku hampir bertanya pada kamu, mengapa aku pun kamu panggil dengan nama Maria. Tanyaku selalu berakhir dengan kata… hampir…
“Maria…” sapamu dengan mata hangat. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan Maria mana yang kamu panggil. Aku kah?
“Maria...” kamu menyentuh tanganku. Aku mendelik, aku merasa terhina. Sungguh, aku berkali-kali melihat kamu menyentuh tangan dan bibir Maria selain aku. Tapi, jujur saja, aku mendelik dan merasa terhina, bukan karena junjunganku sungguh tinggi pada kulit dan kemaluanku. Aku… hanya merasa cemburu, setelah berulang melihat tanganmu, menyentuh bibir Maria yang selain aku.
“Maria, terimakasih.” Katamu.
“Terimakasih untuk apa?” tanyaku dengan alis kiri yang aku tinggikan.
“Untuk semua hal. Semua hal yang menyoal kamu. Menyoal kamu pada aku.” Kamu menjawab sambil menempelkan ujung hidungmu di keningnya.
Aku mengangguk. Tanganku makin erat kamu genggam. Jantungku detaknya berkejaran, sesak! Badanku lemas. Aku keras berusaha melawan perasaan yang ingin balas menggenggam tanganmu. Akhirnya, aku mandek, berhenti bergerak. Aku takut reaksiku atas genggaman tanganmu terbaca. Namun, aku sendiri sebenarnya begitu susah melawan untuk tidak membalas genggaman tanganmu.
Satu waktu yang lain, sekali lagi aku melihat salah satu Maria yang selain aku, kamu genggam tangannya. Maria itu berambut panjang sebahu, kulitnya coklat dan bibirnya berwarna merah muda. Dia adalah Maria selain yang pernah aku lihat.
“Maria, terimakasih.” Ucapmu.
“Terimakasih untuk apa?” tanyanya.
“Untuk semua hal. Semua hal yang menyoal kamu. Menyoal kamu pada aku.” Kamu menjawab sambil menempelkan ujung hidungmu di keningnya.
Maria itu, balik menggenggam tanganmu. Kamu menyentuh bibirnya. Dia menyerahkan kemaluannya pada kamu.
***
“Kamu menyentuh bibirnya, dia kemudian menyerahkan kemaluannya pada kamu.” Tanganmu berusaha meraih tanganku, berkali-kali. Berkali-kali juga aku mengibaskan usaha tanganmu.
“Kamu selalu menghakimi aku!” jeritmu.
Aku diam. Takut mencakari batinku. Barangkali, setelah sekian kalinya aku menghakimi kamu, kamu bakal pergi. Aku…
Ilustrasi oleh, Windha Dewi Wara
“Aku minta maaf… ini tanganku, boleh kamu sentuh dan genggam semaumu.” Aku menarik paksa tanganmu. Kamu menoleh kearah lain sambil ogah-ogahan menyambut tanganku.
“Maria, terimakasih.”
“Terimakasih untuk apa?”
“Untuk semua hal. Semua hal yang menyoal kamu. Menyoal kamu pada aku.” Pandangan lembutmu selalu sama. Sama pada aku, maupun pada Maria yang lainnya. Ucapanmu selalu sama, padaku, maupun pada Maria yang lainnya.
“Satu dari sekianmu pun, sudah sangat menyenangkan.”
“Kamu salah. Bukan begitu...”
“Aku takut sakit. Maka dari itu, aku tidak berani bermimpi jadi satu-satunya buat kamu…”
“Kamu tidak akan merasa sakit. Semua sakit itu, bohong.”
“Bagaimana aku bisa tahu?” aku mulai mengibaskan tanganmu.
Kamu berdiri menghampiri pintu.  Gagang pintu kamu raih, kamu menoleh,”Masih ada besok, untuk kamu lihat, Maria.”
***
Kamu menyuruh aku menggenggam pisau dapur, kemudian aku bersembuyi di balik almari atas perintahmu. Dari celah almari, aku melihat Maria dengan bibir merah muda itu. Salah satu Maria milikmu. Kamu mengucap terimakasih yang sama untuk aku dan Maria lainnya, pada Maria yang sekarang ada di hadapanmu.
Ucapan terimakasihmu kali ini lebih cepat, Maria yang ada di hadapanmu itu, buru-buru mendorong kamu ke atas kasur. Dia menarik tanganmu untuk menyentuh tangan dan bibirnya, setelahnya, dia menyerahkan kemaluannya pada kamu.
Dia beberapa kali menjerit, sebelum lemas terlentang. Kamu memeluknya,”Maria…” panggilan itu bukan untuk Maria yang ada di pelukanmu, aku tahu, tidak tahu bagaimana caranya. Maria yang kamu sebut baru saja, adalah panggilan untuk aku.
Aku keluar dari almari, pisau dapur aku genggam makin rapat.
“Tusukkan pada sesuatu yang membuat kamu marah.”
Tanganku gemetaran. Pisau itu aku ayun tepat di leher Maria yang ada di pelukanmu. Dia mendelik, kemudian berhenti bernapas. Ya, aku marah pada Maria yang ada dalam pelukanmu itu.
Kamu tersenyum. Kamu mengucap ucapan terimakasih seperti biasa. Ucapan yang jauh lebih cepat kamu ucap ketimbang pada Maria yang aku buat mati itu.
Pisau dapur aku lempar sejauhnya dari kasur. Kamu menyentuh tanganku,”Ini untukmu, Mariaku.” Aku menarik tanganmu untuk menyentuh bibirku. Setelahnya, aku menyerahkan kemaluanku pada kamu.
Aku beberapa kali menjerit, sebelum lemas terlentang. Kamu memeluk aku,”Maria…” panggilan itu bukan untuk aku yang ada di pelukanmu, aku tahu, tidak tahu bagaimana caranya. Maria yang kamu sebut baru saja, adalah panggilan untuk orang selain aku.
Dari dalam almari, muncul seorang perempuan, sepertinya dialah Maria yang kamu maksud. Rambutnya keriting sepinggang, kulitnya putih. Aku pernah melihatmu menyentuh tangan dan bibirnya di satu waktu yang lain.
Maria itu berjalan makin dekat, pisau dapur dia genggam makin rapat.
“Tusukkan pada sesuatu yang membuat kamu marah.” Katamu, pada Maria itu.
Tangan Maria itu gemetaran. Pisau itu dia ayun tepat di leherku yang ada di pelukanmu. Aku mendelik, napasku terputus-putus. Aku memandangi wajahmu dengan marah. Bukan, aku marah bukan dengan Maria-Maria milikmu, tapi sesungguhnya aku marah dengan kamu. Kamu yang sungguh membuat aku dan Maria lainnya saling benci dan berebut memersembahkan kemaluan kami pada kamu.
Mataku nyaris tertutup, namun aku masih bisa melihat Maria yang baru saja mengayunkan pisaunya pada aku, menarik tanganmu untuk menyentuh bibirnya.
Gelap.

Baca juga, Kepada Pacarmu (1)

No comments: